"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Penjaga Pertama
Kelompok Rangga tiba di Leuweung Manjang, sebuah desa kecil yang terpencil dan tampak diliputi kekhawatiran. Di sana, mereka bertemu Ki Rajendra, seorang penjaga Tapak Angin Kendan yang telah lama menyendiri. Namun, Ki Rajendra menolak membantu, membuat Rangga harus membuktikan dirinya dengan melindungi desa dari serangan bandit.
Langkah kaki Rangga terasa berat saat mereka akhirnya keluar dari hutan yang gelap menuju sebuah jalan kecil yang mengarah ke Leuweung Manjang. Desa itu tersembunyi di lembah yang dikelilingi bukit-bukit tinggi, dengan sawah dan kebun sederhana menghiasi lanskapnya. Matahari sore yang hangat menyinari atap-atap rumah yang terbuat dari kayu dan jerami.
“Ini Leuweung Manjang?” Larasati bertanya, menatap desa itu dengan rasa ingin tahu.
“Benar,” jawab Ki Jayeng, tongkatnya mengetuk tanah saat ia melangkah maju. “Di sinilah salah satu penjaga terakhir tinggal. Tapi jangan berharap sambutan hangat. Orang-orang di sini mungkin sudah lama melupakan dunia persilatan.”
Rangga memperhatikan suasana desa. Tidak ada aktivitas yang ramai, hanya beberapa orang tua yang duduk di beranda rumah mereka, menatap mereka dengan pandangan curiga. Anak-anak yang bermain di jalanan langsung berlari masuk ke dalam rumah begitu melihat kedatangan mereka.
“Mereka terlihat takut,” gumam Rangga.
Ki Jayeng mengangguk pelan. “Leuweung Manjang sering menjadi sasaran para bandit. Warga di sini mungkin mengira kita bagian dari mereka.”
Larasati mendesah. “Bagaimana kita bisa menemukan Ki Rajendra kalau mereka bahkan tidak mau bicara dengan kita?”
“Kita harus tetap tenang,” kata Ki Jayeng. “Ikuti aku.”
Mereka tiba di sebuah rumah kecil di ujung desa, dikelilingi pohon bambu yang rindang. Rumah itu terlihat sederhana, dengan dinding kayu tua yang mulai lapuk. Ki Jayeng mengetuk pintu kayu itu dengan perlahan, lalu menunggu.
Setelah beberapa saat, pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria tua dengan janggut panjang berwarna putih. Matanya tajam, tetapi wajahnya penuh dengan kerutan yang menandakan usia dan pengalaman.
“Jayeng Larang,” kata pria itu dengan suara berat. “Sudah lama kau tidak muncul di sini.”
“Rajendra,” balas Ki Jayeng sambil tersenyum tipis. “Kau masih hidup. Itu kabar baik.”
Ki Rajendra tidak membalas senyum itu. Pandangannya beralih ke Rangga dan Larasati, menatap mereka dengan curiga. “Siapa mereka?”
“Ini Rangga Wisesa,” kata Ki Jayeng, mendorong Rangga maju. “Dia penerus Tapak Angin Kendan.”
Ki Rajendra mengangkat alis. “Penerus? Dan kau membawanya ke sini, ke desa ini? Apa kau lupa bagaimana dunia persilatan telah menghancurkan tempat ini?”
“Aku tidak lupa,” jawab Ki Jayeng dengan nada serius. “Tapi ini penting. Dia butuh bimbinganmu.”
Ki Rajendra menggeleng. “Aku sudah meninggalkan dunia itu, Jayeng. Aku tidak ingin terlibat lagi.”
“Tapi kau adalah salah satu penjaga,” kata Rangga, suaranya penuh semangat. “Kau memiliki bagian dari ilmu ini. Kalau kau tidak membantu, bagaimana aku bisa melindungi ilmu ini dari aliran hitam?”
Ki Rajendra menatap Rangga dalam diam, lalu menghela napas panjang. “Anak muda, dunia ini tidak bisa diselamatkan hanya dengan ilmu silat. Kau pikir kau berbeda dari yang lain? Bahwa kau tidak akan jatuh pada godaan kekuasaan?”
Rangga tidak menjawab, tetapi matanya tidak beralih dari tatapan tajam Ki Rajendra.
“Sudah cukup,” kata Ki Rajendra akhirnya. “Aku tidak akan membantumu.”
Ia berbalik masuk ke dalam rumah, menutup pintunya dengan keras. Rangga berdiri terpaku, merasakan campuran antara kekecewaan dan frustrasi.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki?” tanya Larasati, menatap Ki Jayeng dengan cemas.
Ki Jayeng menghela napas. “Kita tidak bisa memaksa dia. Tapi mungkin ada cara lain untuk membuktikan diri.”
Sore itu, mereka berjalan kembali ke tengah desa. Rangga merasa hatinya berat, tetapi ia mencoba menenangkan pikirannya. Namun, suasana desa yang sunyi tiba-tiba berubah ketika suara jeritan terdengar dari arah pasar.
“Bandit!” teriak salah satu warga, berlari dengan panik. “Bandit menyerang!”
Rangga dan Larasati langsung berlari menuju pasar, diikuti oleh Ki Jayeng. Mereka tiba di sebuah lapangan terbuka di mana sekelompok pria bersenjata sedang merampas barang-barang dari pedagang. Warga desa hanya bisa menonton dengan ketakutan, tidak berani melawan.
“Ini saatnya, Rangga,” kata Ki Jayeng pelan. “Tunjukkan pada mereka siapa kau.”
Rangga mengangguk, menggenggam tongkat kayunya dengan erat. Ia maju dengan langkah tegas, berdiri di depan salah satu bandit. “Hentikan ini sekarang.”
Bandit itu tertawa, menatap Rangga dengan pandangan meremehkan. “Siapa kau, bocah? Kau pikir bisa menghentikan kami?”
“Aku akan mencoba,” jawab Rangga, matanya penuh dengan tekad.
Pertarungan pun dimulai. Bandit itu menyerang Rangga dengan senjata tajam, tetapi Rangga berhasil menghindari serangan itu dengan lincah. Ia mengingat ajaran Ki Jayeng, membiarkan tubuhnya mengikuti irama angin.
Dengan satu gerakan cepat, Rangga memukul bandit itu di perut, membuatnya terjatuh. Namun, bandit lainnya segera menyerang, memaksa Rangga untuk bertarung dengan lebih keras.
Larasati, yang berdiri di dekat warga desa, melihat salah satu bandit mendekat ke arahnya. Dengan keberanian yang tiba-tiba muncul, ia mengambil tongkat kayu dari tanah dan memukul bandit itu dengan keras, cukup untuk membuatnya mundur.
“Aku juga bisa membantu!” seru Larasati sambil mengangkat tongkatnya lagi.
Ki Jayeng melawan dua bandit sekaligus, tongkat kayunya bergerak dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Dalam waktu singkat, ia berhasil melumpuhkan kedua lawannya.
Ketika pertarungan usai, para bandit melarikan diri, meninggalkan barang rampasan mereka. Warga desa mulai keluar dari tempat persembunyian, menatap Rangga dan kelompoknya dengan rasa kagum.
“Terima kasih,” kata salah satu warga, seorang pria tua dengan pakaian sederhana. “Kami tidak tahu bagaimana kami bisa melawan mereka tanpa kalian.”
Rangga tersenyum kecil, meskipun tubuhnya terasa lelah. “Kami hanya melakukan apa yang harus dilakukan.”
Saat malam tiba, Ki Rajendra datang ke tempat mereka menginap. Ia menatap Rangga dengan ekspresi yang lebih lembut dibanding sebelumnya.
“Kau membuktikan sesuatu hari ini,” katanya pelan. “Tapi perjalananmu masih panjang.”
“Apa itu berarti kau akan membantu kami?” tanya Rangga.
Ki Rajendra mengangguk. “Aku akan mengajarimu bagian dari ilmu ini. Tapi ingat, Tapak Angin Kendan adalah tentang keseimbangan. Jika kau kehilangan itu, kau akan kehilangan segalanya.”
Rangga tersenyum, merasa bahwa satu langkah besar telah tercapai. Tetapi ia juga tahu bahwa tantangan yang lebih besar menunggunya di depan.
Rangga berhasil mendapatkan kepercayaan Ki Rajendra, tetapi ia mulai menyadari bahwa beban menjadi penjaga Tapak Angin Kendan lebih berat dari yang ia bayangkan.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya