Kejadian pilu pun tak terduga menimpa Bjorn, para polisi menuduh dia sebagai kaki tangan seorang kriminal dan akhirnya ditembak mati secara tragis.
Bjorn yang tidak tahu alasannya mengapa dirinya harus mati pun terbangun dari kematiannya, tetapi ini bukanlah Akhirat.. Melainkan dunia Kayangan tempat berkumpulnya legenda-legenda mitologi dunia.
Walau sulit menerima kenyataan kalau dirinya telah mati dan berada di dunia yang berbeda, Bjorn mulai membiasakan hidup baru nya dirumah sederhana bersama orang-orang yang menerima nya dengan hangat. Mencoba melupakan masa lalunya sebagai seorang petarung.
Sampai saat desa yang ia tinggali, dibantai habis oleh tentara bezirah hitam misterius. Bjorn yang mengutuk tindakan tersebut menjadi menggila, dan memutuskan untuk berkelana memecahkan teka-teki dunia ini.
Perjalanan panjangnya pun dimulai ketika dia bertemu dengan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dengan dirinya.
(REVISI BERLANJUT)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudha Lavera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Langkah kaki
Amoria menyeret Januza cukup jauh, dan berhenti di sebuah bangunan tua yang tak berpenghuni diantara semak hutan jauh dipinggir kota "Kalian semua ingin membawa ku kemana" tanya Januza tidak terima dengan keadaan.
"Banyak tanya. Kau sudah menjadi salah satu dari kami, jadi jangan banyak bicara" jawab Amoria yang telunjuknya menekan-nekan dahi Januza.
"Sudah, cukup" Bjorn dan yang lainnya menyusul dari belakang mereka.
"Januza.. Berdiri" Sambung Bjorn.
"Jangan perintah aku!" hentak pria kekar itu.
Kaki Bjorn menyambar lengan Januza dengan keras, tanpa sempat dihindari dan ditangkis, dia yang menerima serangan itu hanya bisa terbatuk dengan beberapa percakan darah.
"Apa yang kau lakukan pada pasien ku yang baru sembuh!" Amoria melerai cerewet.
"Kau! Aku akan menghajarmu, sialan!" ucap Januza telungkup memegangi lengan.
"Hentikan, kau tidak akan bisa memukulku" Sela Bjorn menatap dingin matanya.
Bjorn menatap rendah "Lupakanlah.. maaf saja, aku membenci orang yang mudah marah. Oleh karena itu aku senang menyiksamu, terlihat seperti menyiksa diriku dimasa lalu"
Januza meraih tombaknya yang tergeletak ditanah, "Sungguh, kau.." lalu menancapkan batang besi kokoh itu membantunya berdiri, sepintas ia mencoba untuk mengayunkan tombaknya kearah Bjorn dengan kesal "Jangan bicara seolah kau tahu diriku!"
Tombak yang tadinya mengarah leher Bjorn, tertangkis oleh sebuah kapak kecil, Neil menahan serangannya dengan tatapan tajam.
Pria kekar itu terkejut dengan reflek Neil yang mampu menahan tombaknya "Aku akan coba bicara baik-baik, jadi jauhkan senjatamu dari paman" aura Neil sangat menusuk, sampai-sampai tangan Januza yang memegang tombak gemetar.
"Sudah cukup, perkenalan seperti ini tidaklah harmonis" Sahut Sulpha sambil menggaruk lehernya yang duduk diatas tumpukan kayu.
Januza yang menoleh Sulpha, langsung mengubah arah tombaknya dan melemparkannya dengan kencang. Saat tombak itu berada 5inci dari mata Sulpha, tombaknya berhenti dan terdiam dengan posisi yang sama sekali tidak bergeming. Hal itu terjadi karena Sulpha mengendalikan angin disekitarnya hingga tombaknya tidak bisa bergerak.
"Oh, ternyata kau kuat juga. Maaf, aku hanya mengetes mu" ucap Januza.
Tombaknya terjatuh dan menancap tanah, Sulpha mengangkat sebelah alisnya bingung, "Setidaknya, aku bisa mengakui, kalau kalian semua memang kuat, jadi aku tidak akan keberatan jika bergabung bersama kalian" Amoria yang mendengar kalimat itu, mengambil batu kecil dan melemparinya dengan kerikil "Aduh!"
"Bodoh! kau bahkan sudah hampir dibuat mati, bisa-bisanya kau berkata seperti itu" omel Amoria.
"Berisik!" balas Januza, Amoria mengambil batu lebih banyak dan melemparinya sebanyak mungkin "Oi oi oi! Sakit!" menutupi kepala dan tubuhnya dengan tangan meringkal.
Bjorn sadar, sikut dan kakinya yang dipakai untuk memukul Januza sebelumnya menjadi agak memar, ini pertama kalinya dia melancarkan serangan ke lawan tapi tubuhnya ikut terkena dampak setelah memukul, mungkin keras tubuh Januza melebihi batu. Mengingat Bjorn yang memukul logam zirah tidak terkena efek samping apapun.
"Jadi? Kau pasti bukan berasal dari sini" Tanya Bjorn yang berjalan mendekatinya.
"Aku berasal dari Timur"
"Oh~ jadi kau beneran dari ras Monzo" Sahut Amoria.
^^^Ras Monzo, adalah ras dari keturunan antara pangeran Bwerge yang memiliki berkah keturunan dengan elemen petir di langit, dan istrinya Elazsoa, yaitu seorang putri dari ras yang tinggal di tebing, menjauhkan diri dari ras lain. Mereka yang anak cucu dari keluarga Bwerge dan Elazsoa disebut sebagai Ras Monzo. memiliki ketahanan tubuh yang tidak normal dan otot sekeras baja, tinggi badan mereka juga berbeda dari rata-rata manusia pada umumnya. Mereka adalah ahli dalam menggunakan tombak, namun karena Januza adalah tipikal tempramen. Fokus bertarungnya sangatlah rendah dan mudah terbaca. Tetapi, meskipun berbadan bongsor, mereka sebenarnya memiliki kecepatan agresif. Itu karena mereka bisa mengendalikan elemen petir.^^^
"Hei! Bagaimana kau bisa tahu" Januza kebingungan.
"Aku hanya menebak" sebenarnya Amoria sudah menyadari hal itu, karena saat melempar tombak kearah Sulpha, terlihat secercah kilat petir di kakinya.
Sulpha bangun dari duduknya dan mendekati Januza "Jika kau sudah sejauh ini dari desa-mu, itu artinya kau memiliki alasan 'kan?"
"Ya, aku di usir dari desa ku" jawab Januza.
"Di usir??" tanya Neil.
"Benar, itu bermula saat aku sedang berburu di selatan, perbatasan wilayah Elf, aku merasakan ada kejanggalan yang berasal dari desa itu, dengan munculnya asap tebal. Aku-pun beranggapan desa itu sedang ter-invasi oleh suku lain, merasa ada yang tak beres, aku bergegas kembali ke timur untuk melaporkan hal itu kepada kepala suku, dan meminta izin padanya membawa setidaknya 50 orang pasukan untuk memastikan peristiwa tersebut, tetapi kepala suku menolak tegas dengan alasan tidak ingin terlibat perang dengan ras lain. Aku yang marah dengan penolakan pecundangnya, langsung merubuhkan rumahnya dan berakhir di usir dari desa"
"Tu-Tunggu.. Merubuhkan, katamu?!" mereka berempat yang mendengar cerita Januza tercengang dengan sifat buruknya. Tidak ada yang perlu dikasihani, ia memang layak di usir.
Sulpha yang terharu dengan tindakan Januza, menepuk pundaknya "Terimakasih, sudah mengkhawatirkan desaku"
"Begitu.. Baiklah, kita akan tinggal di rumah bobrok ini sebagai markas, dan kami akan melatihmu agar bisa mengendalikan kebodohanmu" ucap Amoria.
"Yeay! Kita akan menjadi keluarga sekarang" sorak Neil.
"Hei.. Bjorn" panggil Januza berjalan mencabut tombaknya yang tertancap di tanah.
"Apa?" Bjorn menoleh.
"Aku belum tahu posisi kalian semua"
"Posisi? Apa maksudmu?"
"Kami para petualang memiliki identitas bertarung, seperti aku.. Pemegang tombak, disebut sebagai Lancer, Sulpha memiliki busur dan panah disebut Archer, Amoria yang menguasai sihir kuno biasanya disebut Mage, dan Neil dengan kelincahan tubuhnya sudah pasti dijuluki Assassin"
"Tapi, kau bahkan tidak menggunakan senjata apapun, dan tidak menguasai sihir. Julukanmu itu apa?"
"Kalau begitu, aku adalah Fighter"
"Tidak, tidak.. Itu norak" Januza menggelengkan kepala.
"Heii!" sahut Bjorn
"Benar juga, paman tidak pernah memakai senjata apapun, lagipula senjata nya adalah dirinya sendiri, tidak mencolok seperti orang kebanyakan" ucap Neil.
Bjorn sejenak memikirkan sebuah kata di kepala-nya, dan muncul sebuah ide "Hmm.. Sebut saja Leader" angin-angin meniup rambutnya.
Januza berdecak, orang yang ada dihadapannya ini memantulkan cahaya keperkasaan, sosok Bjorn begitu berkilauan dimatanya. Tanpa dia sadari dia telah mengagumi Bjorn "Baik! Itu tidak terlalu buruk"
...****************...
Beberapa hari setelah mereka mengenal satu sama lain dan mengakrabkan diri. Neil dan Januza melakukan latih tanding di depan halaman markas mereka.
"Kak Januza! Kau tidak ada lelahnya!" sambil melancarkan beberapa serangan yang ditangkis oleh tombak Januza.
"Hahaha! Aku bisa melakukan ini sepanjang hari"
Mengayunkan serangan kapak kecilnya sekuat tanaga dan ditangkis dengan tombak berkilat petir, kilat itu membutakan pandangan Neil sampai membuatnya terpeleset jatuh. Januza menghunus tombak kewajahnya menggertak, dan menghentikan mata tombak lengkung itu tepat didepan mata Neil.
"Kau sangat lincah, tetapi kau suka lupa untuk melakukan pertahanan" ucap Januza sambil menarik Tombaknya.
"Aku juga sudah sering mengingatkannya" sahut Bjorn yang menonton dari kejauhan.
"Berisik paman!"
"Ngomong-ngomong, aku dari tadi tidak melihat Sulpha dan Amoria" tanya Januza.
"Mereka sedang ke serikat, mereka bilang mau mengambil misi pertama kita" jawab Bjorn dengan tangan menopang dagu.
"Oh? Aku sedang bersemangat. Bjorn! Bagaimana kalau kita menunggu mereka sambil latih tanding" ajak Januza dengan percaya diri.
"Kau yakin?" balasnya.
"Jadi kau takut ya?" ejek Januza.
"Hei, hentikan.. Kau bisa membuat paman marah" Sela Neil yang duduk meluruskan kaki nya beristirahat direrumputan.
"Oh, jadi orang sepenakut dirimu bisa marah ya? HAHAHA!" lanjut mengejek.
Bjorn berdiri dari duduknya, dan menghampiri Januza "Bagus, kemari. Aku akan membuatmu koma" Januza sambil mempersiapkan kuda-kuda Tombak.
*****
"Menurutmu, kita akan mengambil yang mana?" tanya Amoria yang sedang memperhatikan banyaknya kertas permintaan misi di papan besar yang menempel di dinding ruangan serikat.
"Aku tertarik dengan ini" menarik sehelai kertas misi yang tertempel. Mereka berdua membaca kertas itu
...Operasi : Murder...
...Tingkatan : Adamantine...
...Imbalan : 900 koin emas...
...Misi : Membunuh Ular Axetail Raksasa di Timur.....
Mereka berdua yang membaca kertas itu, langsung mencoba menempelkannya kembali ke dinding dengan tergesa-gesa.
"Hoi Sulpha! Tempel yang benar!" Amoria berbisik panik.
"Ini sudah kutempelkan dengan benar, kertas ini tidak mau menempel" mencoba berulang kali dengan panik.
Misi itu terlalu berat untuk mereka yang regunya baru berumur jagung, Amoria dan Sulpha juga tidak mau melibatkan diri dengan misi yang merepotkan seperti ini. Meskipun imbalannya sangat menggiurkan, tetap saja, misi seperti ini terlalu cepat untuk mereka.
Thena menghampiri mereka yang nampak kesulitan "Maaf? Ada yang bisa kubantu?" tanya nya.
"Ah, tidak.. Kebetulan saja kertas ini terjatuh dan kami mencoba untuk menempelkannya kembali" jawab Amoria dengan senyum keringat.
"Lembaran Misi tidak akan bisa tercabut jika bukan seorang petualang berlisensi yang mencabutnya, dan tidak ada cara untuk menempelkannya lagi, karena sebuah misi harus segera diterima bagi yang mencabutnya"
"Sudah kubilang! Kami tidak mencabutnya" balas Amoria.
"Tapi.. Kertas itu ditangan temanmu" mereka berdua menoleh kearah Sulpha.
"Ti-Tidak, kau salah paham" sambung Sulpha dengan gemetar.
....
Dengan jalan gontai lesu, Amoria dan Sulpha kembali menuju markas "Hei, Sulpha. Kaki ku lemas setelah menerima kertas ini" keluh Amoria. "Kau pikir aku tidak?" balas Sulpha.
Sesampainya dimarkas, mereka disajikan pemandangan Januza yang sedang terkapar pingsan dihadapan Bjorn "Oh, kalian sudah kembali, tolong sembuhkan luka Januza" ucap Bjorn dengan santainya.
"Bajingan kau Bjorn! Aku ini sedang pusing!"
"Apa yang terjadi?" tanya Sulpha.
"Kak Januza mengajak paman untuk latih tanding, tapi karena dia memprovokasinya, paman menjadi tidak segan-segan" jawab Neil.
"Bjorn, ini misinya" Sulpha sambil menyerahkan selembar kertas.
Membaca misi itu dengan singkat.. Tak lama dia melipat kertas misi itu lalu memasukan kedalam kantung celananya "Ayo pergi"
"Kemana?" tanya Sulpha
"Menyelesaikan misi"
"Menyelesaikan misi pala-mu! Januza bahkan baru siuman dari pingsannya" Sela Amoria yang tangannya sedang mempompa jantung Januza.
"Kami juga mendapat informasi, kalau ular itu bukanlah monster biasa, dia adalah spesies kuno. Kita tidak tahu apa yang akan ular itu lakukan saat kita berhadapan dengannya langsung, setidaknya kondisikan tubuh kalian dalam keadaan prima"
"Aku sedang prima" balas Bjorn.
"Tidak.. aku gemetar, jantungku mau copot, aku mau tidur siang agar wajah ku jauh dari kerutan karena stress" jawab Amoria meninggalkan Januza.
"Tunggu! Pasienmu belum sembuh total!" ucap melambai Januza yang masih terbaring lemas.
"Tidak, aku tidak dengar" lanjut berjalan memasuki markas sambil menutupi kedua telinganya.
....
Langit pun sudah gelap padam, beberapa suara serangga dan hembusan angin yang meniup dedaunan terbentang di sekeliling mereka, mereka berlima bermalam memutari api unggun di halaman markas, seraya menikmati dan berbagi makan malam "Kak Amoria, aku mau tambah ikan bakarnya" pinta Neil.
"Sini, kamu boleh makan sebanyak mungkin"
"Aku mau tambah juga" sahut Januza
"Tidak boleh"
"Sudah kuputuskan, besok pagi kita akan menjalankan misi pertama kita" ucap Bjorn. Mereka berempat yang mendengar kalimat itu cuma terdiam sambil menatapnya, kemudian Bjorn berdiri.
"Aku mau tidur duluan, kalian semua jangan tidur larut malam" sambil meninggalkan api unggun dan memasuki markas.
Amoria mendesah kesal "Duh, dasar kepala batu" keluhnya.
"Aku memang menganggap dia sebagai sosok yang ku kagumi, tapi.. Aku bahkan belum memahami tentang drinya" ucap Januza dengan tangan memegangi ikan bakar.
"Kau tidak akan bisa memahaminya, begini-begini aku itu ratu laut selatan, tetapi dia sudah menarikku dari air dan melemparku ke seberang daratan" Ucap Amoria
Sulpha meletakan mangkuknya "Aku juga pernah memanahnya, dengan busur yang kutambahkan sihir angin, bahkan aku sendiri tak bisa melihat kecepatan busurku, tetapi dia menangkapnya dengan tangan satu"
"Ehm.. Kalau aku sih, sebenarnya dilatih olehnya selama dua tahun.. Dia memberikan pengalaman yang pahit bagi tubuhku. Tapi, berkat dia aku bisa bertarung dan menggunakan kapak-ku dengan benar" sambung Neil.
Januza yang mendengarkan cerita mereka, terdorong hatinya untuk menjadi seseorang yang lebih kuat lagi. Sekarang dia paham kalau dia sedang mengikuti orang yang hebat dan tak salah kalau dia sampai mengaguminya "Baiklah, ayo kita semua masuk.. Jangan sampai ada yang bangun kesiangan" ajak Januza.
****
Cuaca cerah penuh api semangat itu memperlihatkan markas ditengah hutan yang kondisi bangunan nya memprihatinkan, pintu markas bobrok itu terbuka lebar "Baiklah, dengan begini kita akan memulai misi pertama kita, dan biar kuingatkan lagi kepada kalian. Alasan kita ikut campur kedalam petualangan ini untuk mencari kebenaran, teka-teki dan sangkut paut yang tidak kita ketahui dibalik semua kesialan yang menimpa kita. Ini awal kita, awal perjalanan panjang kita" ucap Bjorn yang merenggangkan tubuhnya.
Mereka semua melangkahkan kaki keluar dari markas "Nama regu kita tidak dangkal, berjanjilah kita akan memberantas semua ketidak-adilan, di dunia ini, kita adalah para penghukum" Bjorn memotivasi seluruh rekannya.
"YAAA!!" Sorak mereka dipenuhi semangat, berlima dengan tampang sangar, dan percaya diri, mereka sudah melangkahkan kaki, melangkah untuk memulai suatu perjalanan panjang yang tak akan berakhir.