Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #32
Sinar mentari hangat mulai menerangi kota. Jendela-jendela kaca yang besar nan elegan di ruang makan itu tampak begitu terang meneruskan cahaya ke meja makan, di mana sepasang suami-istri sedang menikmati sarapan pagi mereka bersama.
Senyuman malu-malu menjadi tanda akan cinta yang senantiasa bersemi dari hari ke hari di antara mereka. Rasanya beban pikiran yang sejak kemarin mengganggu Zara perlahan memudar bagai air yang menguap. Keberadaan sang suami sebagai pendengar benar-benar berhasil menenangkan hatinya meski tak semua masalahnya diceritakan malam itu.
Sayangnya, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Zara menerima pesan dari kedua sahabatnya agar hari ini ia tidak pergi ke kampus dulu, mengingat desas-desus antara dirinya dan Alif semakin mencuat, bahkan merambah sampai ke jurusan lain.
Zara yang biasanya jarang memeriksa grup chat mahasiswa kini terdorong untuk membuka grup tersebut. Betapa terkejutnya wanita itu ketika mendapati begitu banyak hujatan yang ditujukan padanya dan sang suami karena foto yang beredar kemarin.
Dosen killer itu ternyata pria hidung belang.
Dosen tidak bermoral.
Yang ceweknya juga, tuh, kegatelan. Mungkin dia kehabisan cara memperbaiki nilai sampai menggunakan tubuhnya untuk membujuk si dosen killer, tahu, 'kan, dia mahasiswa abadi di kampus kita.
Sangat memalukan!
Mata Zara tanpa sadar mulai berembun menyaksikan semua hujatan itu. Hatinya sungguh sakit dengan semua fitnah tersebut, apalagi sang suami juga tak luput dari cacian mereka.
"Kamu kenapa, Jasmine?" tanya Alif yang menyadari dahi sang istri berkerut dan mata yang berkaca-kaca sejak menatap ponselnya. Berbeda dengan Zara, pria itu tidak mengetahui apa-apa karena memang sejak kemarin berita itu menyebar hanya di kalangan mahasiswa.
"Ah, tidak apa-apa, kok. Saya hanya melihat konten sedih tadi," jawab Zara berbohong.
"Kirain kamu masih memikirkan masalah kemarin," ujar Alif tersenyum lega. "Oh, iya, apa kamu sudah lihat siapa pembimbing skripsimu?" tanya pria itu lagi dan mendapat gelengan kepala dari Zara.
"Coba kamu cek nanti, sepertinya saya adalah salah satu pembimbing skripsimu," ujar Alif, membuat Zara tersedak makanan hingga batuk.
"Makannya pelan-pelan, Jasmine." Alif memberikan segelas air minum kepada sang istri sambil menepuk punggung wanita itu pelan.
Zara kini semakin kebingungan. Jika Alif kembali menjadi pembimbingnya, sudah pasti fitnah yang beredar akan semakin berkobar layaknya api yang disulut minyak tanah. Tak ada pilihan lain, rencana awalnya yang tak ingin pergi ke kampus demi menjaga mentalnya terpaksa harus ia batalkan agar bisa memohon untuk mengganti sang suami dari daftar dosen pembimbingnya.
.
.
.
Benar kata pepatah, dunia luar tak selalu seindah harapan. Jika di rumah Zara merasa lebih tenang, berbeda ketika ia telah tiba di kampus. Tatapan aneh dan bisikan-bisikan tajam mulai mengelilinginya yang telah masuk lebih dulu seperti biasa. Mahasiswa-mahasiswa lain berkerumun dan saling membicarakan topik terpanas yang menyeret namanya dan Alif.
Mau bagaimana lagi? Foto tersebut sudah menjadi bukti tak terbantahkan di mata mereka yang telah termakan prasangka buruk. Kampus yang biasanya menjadi tempatnya menimba ilmu, kini berubah menjadi arena penghakiman tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dulu.
Bagi mereka, cinta suci yang dijalani Zara dan Alif itu adalah sebuah pelanggaran tak termaafkan. Sang suami dituduh sebagai dosen yang tidak bermoral dan mencemari etika akademis. Sementara sang istri, digambarkan sebagai mahasiswi yang tidak tahu malu, menggadaikan harga dirinya demi kelulusan.
"Dasar ayam kampus!" Seruan berisi umpatan kembali harus Zara terima kala ia berjalan menuju papan pengumuman yang berisi pembagian pembimbing skripsi.
"Lihatlah! Aku berani jamin dia tak akan susah revisi sana-sini karena pembimbingnya adalah Pak Alif sendiri." Zara mulai geram dan tangannya pun mengepal karena muak dengan perkataan mereka yang sangat tidak beretika.
"Palingan juga bimbingannya di kasur," celetuk seorang pria yang berdiri di belakang sambil tertawa. Tak tahan dengan celaan itu, Zara langsung berbalik dari papan pengumuman dan menarik kerah baju pria yang baru saja mengatakan hal tersebut.
"Eh, itu mulut dijaga, dong! Memangnya kau tahu apa tentang aku dan Pak Alif sampai berani sekali berkata seperti itu?!" tanya Zara menatap tajam pria tersebut.
"Kenapa? Merasa difitnah?" Pria itu balik bertanya sambil tertawa bersama yang lain. "Jika di depan kamera saja kalian saling berpelukan, bagaimana di belakang kamera ...." Perkataan lelaki itu tak lagi diteruskan karena kepalanya dipukul oleh Ilona yang datang bersama Akira dari belakang.
"Sudahlah, Zar. Kamu tak perlu meladeni cowok bertulang lunak seperti dia," kata Akira menyindir, lalu menarik tangan Zara menjauh, tetapi tangannya malah dicekal oleh pria itu.
"Jangan bicara sembarangan kau. Oh, aku tahu, kalian bertiga pasti pel*cur juga, 'kan? Makanya saling membe—." Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi kiri pria itu hingga membuat perkataannya terhenti.
Tak hanya satu tamparan dari Zara, tamparan susulan serta pukulan pun kini melayang ke tubuh pria itu berkali-kali oleh Ilona dan Akira yang juga geram. Bahkan, hingga pria itu sudah tersungkur di lantai, mereka masih tak berhenti memukuli.
"Berhenti!" ujar Alif yang baru saja tiba dengan suara tinggi hingga menghentikan aksi perkelahian satu banding tiga itu.
.
.
Zara, Akira, Ilona, dan mahasiswa pria tadi kini berada dalam ruang kepala program studi. Keempatnya didamaikan agar tak lagi saling menyakiti. Namun, ketika semuanya telah keluar lebih dulu, sang kaprodi menahan Zara dan memintanya untuk masuk ke dalam ruang rapat bersamanya.
Rupanya di sana sudah ada Alif yang duduk dengan raut wajah sulit diartikan. Keduanya kini didudukkan bersama di hadapan para dosen dan staf prodi bagaikan narapidana yang akan diinterogasi.
"Pak Alif dan Zara, kalian pasti sudah tahu alasan kami mendudukkan kalian di sini," ujar sang kaprodi memulai pembicaraan. Alif yang baru saja mengetahui masalah itu beberapa detik lalu langsung menoleh ke arah Zara yang kini hanya tertunduk tanpa memberikan jawaban.
Entah sejak kapan foto itu sampai di tangan para dosen, tetapi kini Alif menyadari jika ia adalah orang terakhir yang tahu mengenai skandal foto di ruangannya waktu itu.
"Foto ini telah menyebar di seluruh kampus, bahkan sudah ada yang dimuat dalam berita online pagi ini oleh seorang oknum yang tidak diketahui. Sebagai pihak kampus, tentu hal ini sangat mengganggu dan mencoreng nama baik almamater kita."
Zara dan Alif hanya diam menyimak perkataan kaprodi. Rasa terkejut dan takut kini semakin membuat Zara gelisah.
"Pihak kampus ingin meluruskan masalah ini sebelum keadaan semakin memburuk. Jadi, tolong jelaskan, apakah orang yang ada dalam foto ini benar-benar kalian?" tanya sang kaprodi sambil memperlihatkan foto di layar menggunakan LCD.
"Benar, Pak," jawab Alif tegas, membuat Zara langsung menatapnya terkejut. Wanita itu mengira sang suami akan mencari cara agar hubungan mereka tak terendus pihak kampus. Nyatanya, tanpa ragu Alif menjawab jujur pertanyaan itu.
"Aturan di kampus kita jelas melarang dosen dan mahasiswa dari jurusan yang sama untuk menjalin hubungan. Sekarang, apa hubungan di antara kalian saat ini?" tanya sang kaprodi lagi.
Alif menatap Zara beberapa saat, lalu kembali menatap sang kaprodi yang duduk tepat di depan mereka.
"Kami adalah suami-istri. Kami sudah menikah secara sah di mata hukum dan agama beberapa bulan lalu," jawab Alif.
Semua dosen yang berada di hadapan mereka tampak begitu terkejut. Untuk beberapa saat, para dosen itu saling berunding. Suasana terasa hening meski para dosen itu saling berunding.
Alif kembali menoleh ke arah Zara yang tampak gelisah. Ia menggenggam tangan sang istri untuk memberinya ketenangan dan kode bahwa semuanya akan baik-baik saja. Hari itu tiba-tiba terasa panjang bagi zara dan Alif. Setiap langkah terasa berat dan setiap tatapan menjadi beban. Apa pun yang akan terjadi setelah ini, keduanya hanya bisa pasrah dan berharap diberikan jalan keluar terbaik.
"Pak Alif dan Zara Jasmine Aksara. Kami sudah melakukan perundingan, bagaimana pun aturan tetaplah aturan yang harus ditaati. Jika ada yang melanggar, maka sudah sepantasnya mereka menerima sanksi."
"Pertama, kalian harus membuat pernyataan klarifikasi atas apa yang terjadi. Kedua, salah satu dari kalian harus keluar dari kampus ini."
.
.
.
#bersambung#