Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan dan Hadiah Kecil
Kelas Levin berakhir lebih cepat dari pada waktu yang seharusnya. Sang dosen pamit mengakhiri jam ajarnya karena dia perlu melakukan sesuatu dengan kesehatannya, entahlah dari yang Levin ingat dia mau pergi untuk check up atau sesuatu yang mirip dengan itu. Levin tidak begitu memperhatikan juga. Isi pikirannya berkelana pada moment dimana dia melepas Dizza mendekati Edzhar yang sedang sendiri pagi kemarin. Apalagi hari ini Dizza punya kelas pagi lagi sementara kelasnya hanya satu dan itu juga di jam sepuluh. Makanya dia tidak menjemput gadis itu seperti biasa karena mereka beda kelas. Dizza juga tidak mengatakan apa-apa soal kemarin. Dia menghilang bagai ditelan bumi. Kebetulan pula kemarin Levin cukup sibuk sampai dia tidak sempat bertukar kata dengan gadis itu.
Levin agak resah sedikit, tetapi mencoba untuk tenang. Memang sih, pikirannya beberapa kali terdistraksi karena ada Kimber yang kebetulan masuk kelas yang sama dengannya. Jadinya, disela-sela kelas gadis itu mengajaknya bicara meski ditanggapi seadanya. Levin dan Kimber juga sahabat masa kecil, hubungan persahabatan mereka terjalin karena Dizza yang mengenalkan Kimber pada Levin. Tidak seperti Dizza, pembawaan Kimber lebih kalem. Jadi, Levin tidak terlalu sering bercanda dengannya.
Setelah kelas usai, dia berpisah dengan Kimber karena gadis itu menghadiri kelas lain. Sementara Levin sendiri sudah tidak punya kelas hari ini. Makanya dia melangkah dengan cepat menuju ke loker tempat dia menaruh barang-barangnya. Dia memang bukan tipe orang yang repot belajar di rumah. Makanya kebanyakan buku catatan dan hal-hal yang berkaitan dengan kampus dia pilih simpan di loker saja. Beberapa kali dia disapa oleh mahasiswa lain, dan Levin membalas mereka dengan anggukan singkat jika sapaan ramah itu berasal dari mahasiswi adik tingkatnya. Dia mengecek ponselnya, dan menyadari bahwa Dizza belum akan pulang. Jadi kemungkinannya dia mungkin akan pulang dengan Edzhar hari ini lantaran mereka punya kelas yang sama. Ya, mungkin hari ini Levin harus pulang sendirian.
Langkahnya kembali tergesa begitu dia sampai di tempat lokernya berada. Dia merasa ingin segera pulang dan mengisi kepalanya dengan sesuatu yang lebih baik. Misal main game sampai pagi atau hal-hal menyenangkan lain yang bisa membantunya mendistraksi pemikiran-pemikiran liar. Tiba di lokernya, lelaki itu merogoh saku tempat dimana kuncinya dia letakan bersamaan dengan kunci motornya. Dia segera membuka pintu yang terbuat dari kaleng tersebut dan meletakan buku yang dia bawa di tangan kiri. Namun gerakannya segera terhenti saat dia menemukan adanya benda asing disana. Benda asing itu berupa sebuah paperbag.
Senyum Levin langsung terbit saat menemukan sebuah potongan kertas yang ditempel asal di paper bag tersebut. Segera dia meraih kertas itu dan membaca tulisan yang tertera disana.
Good morning, atau mungkin selamat siang kali ya?
Meski kelasmu siang, tapi aku bisa menebak kalau kau belum sarapan kan? kau benar-benar selalu kelaparan kalau kita tidak berangkat pagi bersama.
Jadi aku siapkan doping untukmu.
Selamat menikmati, dan sampai jumpa lagi nanti.
Tanpa perlu menebak pun dia sudah tahu siapa pelakunya, mulai dari tulisan tangannya yang rapi di atas kertas itu juga karena ada satu lagi kemungkinan besarnya yakni fakta bahwa selain Levin hanya gadis itu yang memegang kunci cadangan lokernya. Hal ini karena dulu sekali Levin pernah menghilangkan kuncinya, jadi sebagai keamanan Dizza menawarkan untuk menduplikasi kunci loker Levin dan menyimpan salah satunya di Dizza supaya kalau ada situasi serupa dia tidak lagi kelabakan.
Levin kemudian segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor telepon yang paling dia sering hubungi. Panggilan tersebut langsung di jawab setelah nada sambung pertama terdengar.
“Ada apa?”
“Selamat siang,” ujar Levin menyapa gadis itu dengan nada main-main.
Ada tawa kecil disana. “Tumben sekali kau menyapaku seperti itu,” kata suara si gadis dari sebrang line telepon.
“Aku akan menjadikannya kebiasan kalau kau membiasakan dirimu juga membuatkanku sarapan setiap pagi,” ujar Levin sambil mengeluarkan paper bag tersebut dari dalam lokernya, mengintip isinya sebelum kembali senyum pria itu merekah. Melihat isinya adalah kotak bekal yang berarti gadis itu membuatkannya sendiri untuk Levin. “Terima kasih untuk makanannya, Sis.”
“Hei, kau tahu kan aku tidak suka dipanggil begitu? Itu membuatku merinding.”
Levin tertawa. “Baiklah, Nona Dizza, terima kasih untuk makanannya ya,” ralat Levin.
“Aku mengirimkannya sebagai tanda terima kasih, btw,” kata Dizza lagi sana.
Sesaat Levin terdiam, dia mengerti kemana arah pembicaraan ini akan berakhir. “Ah, ya tentu saja. Kau memang harus banyak-banyak berterima kasih padaku. Kau kan memang kadang oon, kalau dibiarkan sendiri,” sahut Levin.
“Sialan! Sudahlah langsung hap saja sarapanmu. Kelasku mau dimulai sekarang.”
“Tapi nanti kita pulang bersama ya?” kata Levin lagi yang langsung ditanggapi decakan dari Dizza.
“Kelas kita berbeda hari ini. Kau yakin mau menungguku? Aku sibuk sekali loh hari ini. Sudahlah kau pulang saja. Lagipula hari ini aku bersama Edzhar,” jelas Dizza.
“Oh iya, aku lupa kau punya kelas bersama si ganteng. Ya sudahlah kalau begitu.”
“Hei, aku minta balasan untuk itu.”
“Apa-apaan? Bukannya tadi kau bilang ini sebagai bentuk dari rasa terima kasihmu? Kenapa tiba-tiba minta balasan?” Levin tebahak sengaja mempermainkan Dizza. Sebenarnya dia tidak ingin mematikan teleponnya. Levin ingin lebih lama mendengar suara gadis itu. Akan lebih baik kalau dosen gadis itu sakit hari ini, jadi dia bisa pulang bareng dengannya sekarang.
“Ah sudahlah, cepat pulang dan habiskan makanannya. Dosenku sudah masuk kelas.”
Lalu terdengar bunyi ‘tut! tut!’ panjang tanda sambungan telah diputuskan.
Levin memandangi layar ponselnya yang cahanya sekarang sudah meredup. “Kau bahkan tidak menungguku menjawab yang terakhir. Dasar perempuan emosian,” ujar lelaki itu geli.
Dia memasukan kembali ponselnya ke dalam saku lalu menutup pintu loker dan menguncinya seperti semula. Rona di wajah pemuda itu berseri-seri. Dia tidak sabar mencicipi masakan Dizza yang selalu lezat. Kuenya saja sudah seenak itu apalagi masakan biasanya? Levin benar-benar dibuat tersenyum-senyum sendiri sejak dia meninggalkan kampus hingga ke pelataran parkir. Bahkan sebelum benar-benar menaiki motornya, lelaki itu menata kotak bekal itu dan membukanya di atas motor hanya untuk sekadar mengambil fotonya.
“Dua hal istimewa dalam satu frame, indah sekali,” gumam pria itu setelah berhasil memotret semuanya beberapa kali. Motor adalah benda yang kebanggaannya, dan makanan buatan Dizza adalah sesuatu yang berharga buatnya. Tentu saja hal itu harus dia abadikan bukan?
“Okay, mari kita pulang sekarang. Makanan ini menantikan untuk disantap,” kata Levin lagi kepada dirinya sendiri. Dan langsung bersiap menaiki motor dan memacu motornya dengan kccepatan penuh.
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱