Sepasang Suami Istri Alan dan Anna yang awal nya Harmonis seketika berubah menjadi tidak harmonis, karena mereka berdua berbeda komitmen, Alan yang sejak awal ingin memiliki anak tapi berbading terbalik dengan Anna yang ingin Fokus dulu di karir, sehingga ini menjadi titik awal kehancuran pernikahan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang Tak Terlihat
Malam masih diselimuti keheningan, hanya suara jam di ruang tamu yang mengisi kekosongan. Anna duduk termenung di ruang makan, cangkir teh yang sudah dingin tergeletak di depannya. Matanya sembab, lingkaran hitam di bawah kelopak matanya menjadi bukti bahwa ia jarang tidur nyenyak. Sepeninggal Alan dari rumah, ada perasaan lega, tetapi juga ada ruang kosong yang begitu sulit diisi.
Setiap sudut rumah ini mengingatkannya pada Alan. Sofa di ruang tamu tempat mereka dulu bercanda, dapur di mana ia memasak makanan favorit Alan, dan kamar tidur yang kini terasa begitu dingin. Kenangan-kenangan itu menghantui, seperti bayangan yang tak mau pergi. Anna merasa terjebak dalam labirin emosinya sendiri, tak tahu bagaimana caranya keluar.
Namun, hidup tak pernah berhenti meski hati terluka. Esok paginya, Anna mencoba menjalani rutinitas seperti biasa. Ia pergi bekerja, tersenyum pada rekan-rekannya, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan nada ramah. Tapi, di balik senyuman itu, ada kesedihan yang mendalam, luka yang tak terlihat.
---
Di tempat lain, Alan duduk di sebuah bar, menatap kosong gelas whiskey di tangannya. Hidupnya terasa begitu hampa tanpa Anna. Ia mencoba melarikan diri dari rasa bersalahnya dengan minuman keras dan percakapan singkat dengan orang-orang asing, tetapi semuanya terasa sia-sia.
"Bro, lu oke nggak?" suara Revan membuyarkan lamunannya.
Alan menoleh perlahan, melihat sahabatnya dengan ekspresi prihatin. "Apa gue kelihatan oke, Van?" jawabnya sinis.
Revan menghela napas, duduk di samping Alan. "Gue tahu lu lagi kacau, tapi ini bukan solusi, Lan. Minuman nggak bakal nyelesaikan apa-apa."
"Terus apa? Apa yang bisa gue lakukan sekarang? Gue udah kehilangan Anna. Gue kehilangan segalanya."
Revan terdiam, lalu menepuk bahu Alan pelan. "Mungkin yang bisa lu lakukan sekarang adalah memperbaiki diri, bro. Bukan buat dia, tapi buat lu sendiri. Kalau lu terus kayak gini, nggak ada yang bakal berubah."
Kata-kata Revan membuat Alan termenung. Ia tahu sahabatnya benar, tetapi rasa bersalah yang menumpuk di hatinya terlalu sulit untuk dihapus begitu saja.
---
Sementara itu, Anna mulai merasakan beratnya menjalani hari-hari tanpa kehadiran Alan. Meski ia tahu bahwa berpisah adalah keputusan yang tepat, tetap saja ada bagian dari dirinya yang merindukan pria itu. Ada kenangan-kenangan manis yang tiba-tiba muncul tanpa diundang, seperti film yang terus diputar ulang di kepalanya.
Namun, ia juga tahu bahwa kembali ke Alan bukanlah pilihan. Luka yang telah ditorehkan terlalu dalam, dan meskipun Alan berjanji untuk berubah, Anna ragu apakah ia benar-benar bisa mempercayainya lagi.
Suatu malam, ketika Anna sedang membaca buku di ruang tamu, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya terkejut—Alan.
Ia ragu untuk mengangkatnya, tetapi setelah beberapa detik, ia akhirnya memutuskan untuk menjawab.
"Halo," suaranya terdengar lemah.
"Anna... aku hanya ingin tahu, apa kabarmu?" suara Alan di ujung telepon terdengar ragu, seolah takut ia akan menutup telepon itu sewaktu-waktu.
"Aku baik," jawab Anna singkat.
Mereka terdiam sejenak, hanya suara napas masing-masing yang terdengar.
"Anna," Alan akhirnya berbicara lagi, "aku tahu aku tidak pantas untuk minta maaf lagi, tapi aku benar-benar menyesal. Aku... aku hanya ingin kamu tahu itu."
Air mata mulai menggenang di mata Anna. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Alan, maaf saja tidak cukup. Kamu tahu itu, kan?"
"Aku tahu," jawab Alan pelan. "Tapi aku ingin mencoba memperbaiki segalanya, Anna. Aku ingin menjadi pria yang lebih baik, meskipun aku tahu mungkin kamu tidak akan pernah mau menerimaku kembali."
Kata-kata itu membuat hati Anna bergetar. Ia bisa merasakan ketulusan di balik suara Alan, tetapi ia juga tahu bahwa ketulusan itu tidak akan menghapus semua luka yang telah ia rasakan.
"Alan, aku butuh waktu. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri," kata Anna akhirnya.
"Aku mengerti," jawab Alan. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan menunggu, berapa lama pun itu."
Telepon pun berakhir, meninggalkan Anna dengan perasaan campur aduk.
---
Hari-hari berlalu, dan baik Anna maupun Alan mencoba menjalani hidup masing-masing. Anna fokus pada pekerjaannya, mencoba menemukan kebahagiaan kecil dalam rutinitasnya. Ia mulai mengikuti kelas yoga, berjalan-jalan di taman, dan menghabiskan waktu dengan teman-temannya.
Alan, di sisi lain, mulai menghadiri sesi terapi untuk mengatasi emosinya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa memperbaiki hubungan mereka jika ia tidak memperbaiki dirinya sendiri terlebih dahulu. Proses itu tidak mudah, tetapi ia bertekad untuk berubah—bukan hanya untuk Anna, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Meskipun mereka berdua hidup terpisah, ada satu hal yang tidak pernah hilang: cinta. Cinta itu mungkin sudah berbeda dari sebelumnya, tetapi tetap ada, tersembunyi di balik luka-luka yang perlahan mulai sembuh.
Malam itu, ketika Anna duduk sendirian di balkon, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit, ia merasa bahwa meskipun hidupnya penuh dengan rasa sakit dan kehilangan, masih ada harapan.
Dan dengan harapan itu, ia tahu bahwa ia akan terus melangkah maju, apa pun yang terjadi.