SIPNOSIS:
Kenneth Bernardo adalah pria sederhana yang terjebak dalam ambisi istrinya, Agnes Cleopatra. demi memenuhi gaya hidupnya yang boros, Agnes menjual Kenneth kepada sahabatnya bernama, Alexa Shannove. wanita kaya raya yang rela membeli 'stastus' suami orang demi keuntungan.
Bagi Agnes, Kenneth adalah suami yang gagal memenuhi tuntutan hidupnya yang serba mewah, ia tidak mau hidup miskin ditengah marak nya kota Brasil, São Paulo. sementara Alexa memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan suami demi memenuhi syarat warisan sang kakek.
Namun, kenyataan tak berjalan seperti yang Agnes bayangkan, setelah kehilangan suaminya. ia juga harus menghadapi kehancuran hidupnya sendiri-dihina orang sekitarnya, ditinggalkan kekasih gelapnya uang nya habis di garap selingkuhan nya yang pergi entah kemana, ia kembali jatuh miskin. sementara Alexa yang memiliki segalanya, justru semakin dipuja sebagai wanita yang anggun dan sukses dalam mencari pasangan hidup.
Kehidupan Baru Kenneth bersama Alexa perlahan memulihkan luka hati nya, sementara Agnes diliputi rasa marah dan iri merancang balas dendam, Agnes bertekad merebut kembali Kenneth bukan karena haus cinta tetapi ingin menghancurkan kebahagiaan Alexa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HMYT-31
Pagi itu, rumah Kenneth terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari sudah mulai menyinari kamar kecilnya yang sederhana, namun suasana tetap terasa kelam. Kenneth bangun dengan malas, rambutnya sedikit berantakan. Saat ia melangkah keluar dari kamar, hening menyambutnya. Tidak ada suara derit langkah, tidak ada bau kopi atau makanan yang biasa dibuat Agnes.
Kenneth mengerutkan kening. Ada sesuatu yang berbeda. Ia berhenti di depan kamar sebelah, kamar yang dulunya mereka gunakan bersama sebelum pernikahan mereka mulai retak. Perlahan, ia membuka pintu yang tidak terkunci.
Di dalam, kamar itu kosong. Lemari terbuka, dan semua barang-barang Agnes lenyap, hanya menyisakan beberapa gantungan kosong. Tidak ada lagi jejak wanita itu, bahkan selimut dan sprei yang biasanya ia pilih sendiri sudah tidak ada.
Kenneth berdiri di sana beberapa saat, matanya menyapu kamar yang kini terasa lebih dingin daripada sebelumnya. Fiks. Agnes sudah pergi.
Ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan.
"Yah... akhirnya pergi juga," gumamnya lirih.
Tapi tak ada rasa sakit di hatinya. Tidak ada air mata. Ia tahu ini sudah lama akan terjadi. Ia dan Agnes sudah tidak bisa lagi berjalan di jalan yang sama.
Kenneth menyiapkan sarapan sendiri di dapur yang kecil namun rapi. Tidak ada suara Agnes mengomel, tidak ada pertengkaran pagi tentang uang atau tagihan yang harus dibayar. Semuanya terasa sepi... bahkan terlalu sepi.
Sambil menyeruput kopi yang ia buat sendiri, matanya melirik ke luar jendela. Rumah di sebelah, rumah yang belakangan ini ditempati oleh penghuni baru, tampak kosong.
"Mungkin sudah pergi bekerja," pikir Kenneth sambil mengangkat bahu.
Setelah selesai, Kenneth mengenakan jaket kulit lusuhnya, menyambar helm di gantungan, dan menyalakan motor tuanya. Suara knalpot motor yang berisik memecah kesunyian pagi sebelum ia melaju menuju bengkel tempatnya bekerja.
Sesampainya di bengkel, Kenneth segera menyibukkan diri. Tangannya cekatan mengganti oli, memeriksa mesin, dan membersihkan bagian-bagian kendaraan yang datang dari pelanggan. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia adalah pria yang baru saja ditinggalkan oleh istrinya.
Namun, di dalam hatinya, ada ruang kosong yang sulit dijelaskan. Kenapa pernikahan harus berakhir seperti ini? Ia berharap pernikahannya bisa bertahan hingga maut memisahkan, tapi kenyataan berkata lain.
Saat ia sedang memeriksa mesin mobil yang mogok, Kelvin, teman dekatnya sekaligus rekan kerja, menghampirinya. Kelvin adalah pria berbadan kekar dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
"Kemana kamu semalam? Tiba-tiba izin kerja, padahal bengkel lagi ramai," tanya Kelvin sambil menyandarkan diri pada kap mobil yang terbuka.
Kenneth berhenti sebentar, mengelap tangannya dengan kain.
"Nggak ada apa-apa sih. Cuma urusan pribadi aja," jawabnya dengan nada datar.
Kelvin memicingkan mata, tidak puas dengan jawaban Kenneth. Dia mendekat dan berbisik pelan.
"Masalah hutang lagi, ya? Aku tahu kok Agnes sering bikin ribut." Bisik Kelvin yang mengetahui seluk beluk pernikahan Kenneth dan Agnes.
Kenneth tersenyum kecil, getir.
"Ya, begitulah. Udah makanan sehari-hari."
Kelvin mengangguk-angguk, menepuk pundak Kenneth beberapa kali.
"Tapi gue salut sama mu Ken. Kau tuh sabar banget. Gak banyak pria yang bisa tahan hidup kayak kamu, apalagi sama istri yang begitu. Semoga aja, suatu hari nanti dia sadar betapa besar perjuangan mu buat dia."
Kenneth hanya diam, pandangannya kosong, menatap mesin mobil di depannya. Ia tahu Kelvin bermaksud baik, tapi kalimat itu terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. Agnes sudah pergi, dan tidak ada tanda-tanda dia akan kembali.
"Gue nggak ngarepin dia sadar, Vin," Kenneth akhirnya menjawab dengan suara pelan.
"Gue cuma pengen semuanya selesai. Tanpa drama, tanpa keributan."
Kelvin tertegun mendengar nada suara Kenneth. Ada luka yang dalam di sana, yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata-kata semangat.
Setelah seharian bekerja, Kenneth kembali ke rumah. Malam itu, ia duduk di sofa kecilnya sambil menyalakan televisi, meski tidak benar-benar menonton. Rumah itu terasa semakin sunyi, hanya suara kipas angin yang berputar pelan menemani kesendiriannya.
Pikiran Kenneth melayang ke masa lalu—hari pernikahannya dengan Agnes, janji-janji yang dulu mereka ucapkan, dan semua kenangan manis yang perlahan terkubur oleh masalah dan pertengkaran.
"Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?" pikir Kenneth sambil memejamkan mata. Tapi kali ini, dia tidak menangis. Dia sudah terlalu lelah untuk menangisi sesuatu yang tidak bisa dia ubah.
...➰➰➰➰...
Pagi itu, hujan rintik-rintik turun perlahan. Suasana di bengkel cukup tenang, hanya suara mesin yang sedang bekerja dan obrolan sesekali dari teman-teman Kenneth. Hari itu, ia sibuk dengan beberapa mobil pelanggan yang datang untuk diperbaiki. Kenneth tidak terburu-buru, seperti biasanya, tapi dia memang tidak terlalu menyukai gangguan.
Ketika seorang mobil hitam berhenti di depan bengkel, ia mendengar suara mesin yang berhenti dan pintu mobil terbuka. Alexa keluar dengan langkah angkuh, mengenakan jaket hitam dan kacamata hitam, meskipun cuaca mendung. Kenneth sedikit mengernyit, mengenalinya sebagai tetangga—tetapi mereka tidak pernah lebih dekat dari itu.
Alexa berjalan mendekat dengan ekspresi datar, tidak terburu-buru, dan langsung bertanya begitu sampai.
"Pak mobil saya ada masalah lagi. Bisa lihatkan?"
Kenneth mengangguk pelan, tidak menunjukkan ekspresi terlalu tertarik.
"Apa masalahnya?" tanyanya datar, tanpa mengalihkan pandangan dari mesin mobil yang sedang dia perbaiki.
Alexa membuka mulut untuk menjawab, tetapi sepertinya menahan diri. Ia tidak suka jika harus menjelaskan terlalu rinci kepada seseorang seperti Kenneth.
"Bunyi aneh di bagian depan mobil dan setirnya geter. Saya rasa ada yang rusak."
Kenneth tidak menjawab banyak, melainkan segera bergerak untuk memeriksa bagian depan mobil. Alexa berdiri agak jauh dari bengkel, memandangi pria itu dengan tatapan kosong. Bukan karena tertarik, tapi lebih karena ia sudah terbiasa melihat Kenneth bekerja.
Kenneth membuka kap mesin dan mulai memeriksa dengan cekatan. Dengan ekspresi datar, ia tampak sangat fokus. Alexa memperhatikan dengan sedikit rasa bosan, tetapi pandangannya tetap tidak bisa terlepas dari cara Kenneth bekerja yang begitu tenang dan terarah. Ada sesuatu yang menarik tentangnya—meskipun Kenneth tidak berusaha tampil memikat, kepribadiannya yang sederhana dan cara dia bekerja seolah berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
" Apa, masalahnya parah, ya?" Alexa bertanya lagi, suaranya terdengar sedikit acuh tak acuh.
Kenneth mengangkat bahu tanpa berhenti bekerja, sambil memberi penilaian singkat.
"Nggak parah banget, cuma ball joint-nya agak longgar. Setir yang geter juga bisa karena itu."
Alexa menatapnya sejenak.
"Sepertinya sering banget masalahnya, ya?" tanyanya lagi dengan nada sinis, meskipun sepertinya tidak terlalu peduli.
Kenneth berhenti sejenak, menatap Alexa dengan pandangan datar. "Mobil tua, pasti sering rewel."
Alexa terkekeh pelan, tetapi tetap tidak terlihat begitu terkesan.
"Tua? Mobil ini baru beberapa tahun. Kalau dibandingkan dengan mobil lain, mobil saya masih muda."
Kenneth tidak membalas, hanya melanjutkan pekerjaannya dengan gerakan cepat dan tenang. Ia terkesan tidak terpengaruh dengan komentar Alexa, bahkan sedikit mengabaikannya.