Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Berjarak
Yeon berjalan pelan dengan langkah anggun, tampak sedikit manja tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya.
"Yeon!"
Bel pulang sekolah berbunyi saat hari beranjak sore. Yeon tersenyum lebar karena sejak Abigail berpacaran dengan Justin, jarang sekali mereka bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini.
Baru saja keluar kelas, Yeon langsung menggandeng tangan Abigail. Namun, Justin segera menepisnya agar ia bisa pulang bersama Abigail.
"Abigail pulang dengan aku, dia pacarku!" ujarnya. Justin lalu menyerahkan sebuah helm untuk dikenakan Abigail di atas motornya.
Yeon hanya bisa menghela napas, sebelum berteriak kepada Justin yang mulai melaju, meninggalkan pelataran parkir sekolah. "Abi, jangan lupa pesan dari Kak Clara nanti!" Namun, teriakannya tak dihiraukan.
Di tempat lain, di rumah Abigail, Clara sudah menanti kepulangan Abigail dan Yeon. Tampaknya ibunya sedang keluar.
"Abi!" panggil Clara sambil melirik Abigail yang baru saja masuk rumah, kedua tangannya menggenggam tali tas dengan erat.
"Yeon mana? Ganti baju dulu ya, habis ini bantu Kakak antar dress ke rumah pelanggan!" pinta Clara. "Kakak tadi sudah mengabari Yeon juga."
"Kapan, Kak?" tanya Abigail sambil melangkah masuk. Pintu rumah yang terbuka lebar memungkinkan Clara untuk melihat Abigail dari kejauhan, sambil terus fokus pada mesin jahitnya. "Kenapa Yeon tidak memberitahuku?"
Clara berhenti sejenak dan menoleh ke arah Abigail. "Kalian sedang bertengkar, ya? Sekarang kalian jarang pulang bareng. Yeon juga jarang terlihat bersama kamu lagi."
"Sama-sama sibuk, Kak," jawab Abigail dengan helaan napas pelan.
"Itu Yeon!" Clara menunjuk ke arah Yeon yang baru saja muncul di pintu. Namun, matanya tetap terfokus pada mesin jahit.
"Abi, boleh aku duduk di sini sebentar, ya?" tanya Yeon, disertai tawa kecil di akhir kalimatnya.
"Biasanya juga kamu duduk, makan, ngemil, bahkan tidur di sini," balas Abigail, sambil ikut tertawa kecil.
Tanpa memperhatikan Yeon lebih lanjut, Abigail berjalan pelan menuju kamarnya untuk berganti pakaian. "Aku ganti baju dulu, ya!"
"Santai, aman, Abi!" jawab Yeon dengan nada riang.
"Eh, kita punya tamu nih," ucap Eliza, ibu Abigail, yang baru saja masuk ke dalam rumah. "Clara, tamunya kok tidak disuguhi camilan?"
"Wkwk, biarin saja, Bu. Sepertinya sudah biasa begini," jawab Clara sambil tertawa.
Sementara itu, pikiran Yeon kembali pada kejadian di sekolah tadi. Abigail memang memiliki aura yang memikat, membuat banyak lawan jenis tertarik padanya.
"Tante, tante, tahu nggak?" tanya Yeon penuh semangat.
Eliza tersenyum sebelum tertawa kecil. "Belum tahu, Yeon, kan kamu belum cerita!"
"Abigail ituー" namun kalimatnya terpotong saat Abigail muncul kembali dari kamar.
"Ayo, katanya mau antar pesanan," ujar Abigail.
"Tunggu sebentar, Abi. Aku mau titip dasi!"
"Oke, aman!" Abigail mengambil dua kantong berisi kain hasil jahitan untuk para pelanggan. Clara memberi pesan terakhir sebelum mereka berangkat.
"Ini antarkan ke blok paling ujung di kompleks perumahan, ya. Nanti Kakak kasih uang jajan setelah semuanya selesai."
"Siap, Bu Bos!" jawab Abigail, sambil tertawa kecil.
"Makasih, Kak!" tambah Yeon.
"Iya, hati-hati di jalan."
Sambil tersenyum, Eliza mengamati putrinya yang tampak ceria saat bersama Yeon. Di balik keceriaan Yeon, Eliza melihat sosok gadis yang polos dan penuh cerita. Sifat riang Yeon tampak seperti anak kecil yang tenang, namun selalu membawa kebahagiaan di sekitarnya.
Mereka pun bergegas ke mobil, menaruh barang-barang di bagasi. Namun, Yeon menyadari ada masalah kecil: ban mobilnya sedikit kempes.
"Duduk di depan, Abi?" tanya Yeon.
"Boleh. Tapi, ngomong-ngomong, ban mobilmu kelihatannya kurang angin, Yeon," jawab Abigail.
"Iya, nanti setelah selesai mengantar pesanan, aku akan mampir ke tempat tambal ban. Rumahnya di kompleks paling ujung, kan?" tanya Yeon, dan Abigail mengangguk.
Tanpa mereka sadari, Justin ternyata membuntuti mereka sejak tadi. Sikapnya yang posesif membuatnya mengikuti Abigail ke mana pun dia pergi. Justin memiliki aturan ketat untuk siapa pun yang menjadi pasangannya dan tidak segan mengendalikan segala interaksi Abigail dengan orang lain.
"Wah, mau ke mana sih Abigail?" gerutunya dalam hati sambil mempercepat laju motornya, terus mengawasi dari jauh.
Sesampainya di rumah pelanggan, Yeon menurunkan Abigail untuk mengantarkan pesanan dari Clara.
"Abi, aku ke tambal ban sebentar ya! Nanti aku balik lagi."
Abigail mengangguk. "Terima kasih, Yeon, sudah repot-repot mau bantu."
Yeon tertawa kecil. "Santai saja, bukan masalah kok," jawabnya sebelum melajukan mobil menuju tambal ban.
Hari semakin sore, Abigail menunggu di depan pintu rumah pelanggan, memencet bel beberapa kali. Tak lama, seorang pemuda tinggi berperawakan rapi keluar dan duduk di samping Abigail, menerima kantong pesanan dengan senyuman.
"Iya, ini pesanan dari Kak Clara. Maaf, apakah ini pesanan Kakak?" tanya Abigail dengan ramah.
Pemuda itu tertawa. "Oh, bukan, ini pesanan ibuku. Terima kasih ya!"
Abigail tersenyum. "Sama-sama."
"Ngomong-ngomong, Yeon mana? Biasanya dia yang mengantarmu," tanya pemuda itu.
"Kamu kenal Yeon?" Abigail sedikit terkejut, dan pemuda itu mengangguk.
"Tadi dia sempat mengantar, tapi harus mengisi angin karena ban mobilnya agak kempes," jelas Abigail.
Pemuda itu tersenyum lagi sebelum masuk ke rumah, membawa pesanan ibunya. Abigail lalu berdiri di pinggir jalan, menunggu Yeon untuk menjemputnya.
Di satu sisi, Justin yang melihat dari jauh mulai terbakar cemburu. Dengan perasaan kalut, ia segera menghampiri Abigail, mempercepat motornya dari kejauhan.
"Lho, Justin!" Abigail terkejut.
"Ngapain di sini?" tanyanya dengan nada agak tinggi. "Jangan berpura-pura jadi cewek menarik!"
Abigail hanya diam, menatap Justin dengan bingung. Rupanya, Justin membuntutinya sejak tadi.
"Sudah kubilang, jangan sok cantik. Kamu itu cewek biasa, tanpa prestasi di olimpiade, kamu tidak akan dianggap apa-apa!"
"Iya, Justin. Aku minta maaf. Aku tidak akanー"
"Pikirkan dulu perbuatanmu!" perintah Justin.
"Iya, aku mengerti. Maafkan aku, Justin," ucap Abigail lirih.