Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisi Gelap Marlon
Tubuh Zanya terdiam, sementara otaknya bekerja keras, ia memikirkan bagaimana ia harus merespon sentuhan Marlon. Kalau dia mencium aku, apakah aku harus pasrah atau menolak? Kalau aku pasrah nanti dikira murahan, kalau aku menolak, sikapnya kepadaku akan berubah atau tidak nantinya? Pikir Zanya.
"Gak usah di lap, kan kamu tinggal ambil baju gantiku di bagasi?" Ujar Marlon sambil mendorong pelan tubuh Zanya.
Wajah Zanya merah padam, ia malu pada dirinya sendiri, untungnya tempat itu gelap, sehingga Marlon tidak melihat perubahan warna kulitnya itu. Zanya segera keluar dari mobil, lalu berlari ke bagasi, mengambilkan baju ganti untuk Marlon sambil mengutuk dirinya sendiri, bisa-bisanya ia berpikir Marlon akan menciumnya.
"Inilah jadinya kalau keseringan nonton drakor, kebanyakan halu!" Bisik Zanya pada diri sendiri.
"Bangunin aku besok pagi jam 06:00, jangan telat! Kode akses pintuku 981101, jangan sampai salah, dan bangunin aku sampai benar-benar bangun. Oke?" Ujar Marlon.
"Maaf, Pak, Kode aksesnya 981101?" tanya Zanya.
"Iya, jangan sampai lupa. Catat kalau perlu!" Tegas Marlon.
Zanya mengangguk, mana mungkin ia lupa, itu kan tanggal lahirnya, tahun 1998, bulan November, tanggal 1. Tapi kenapa Marlon memakai angka itu untuk kode akses pintunya? Mungkinkah Marlon sebenarnya ingat dirinya? Pikir Zanya.
Zanya terdiam di depan pintunya, menatap Marlon yang terus berjalan menuju kediamannya. Zanya penasaran apa yang sebenarnya sedang terjadi, apakah Marlon mengingatnya dan sengaja memperkerjakan dirinya? Ia ingat, saat mereka berteman, Hendika atau Marlon pernah berkata, ia akan selalu bersama Zanya seperti Zanya yang selalu berada di sisinya.
***
Zanya membuka pintu, dan masuk ke kediaman Marlon. Ini adalah kali pertama Zanya mendapat tugas membangunkan Marlon, karena sebelum-sebelumnya Radit yang selalu membangunkan serta membantu Marlon bersiap di pagi hari.
Zanya masuk ke dalam kamar Marlon, kamar itu sangat gelap. Zanya ingat pesan Radit agar tidak menyalakan lampu kamar terlebih dahulu, melainkan lampu tidur terlebih dahulu. Zanya pun melangkah mendekati lampu tidur yang berada di sisi ranjang dan menyalakannya. Setelah lampu menyala, Zanya menemukan banyak obat di nakas, karena berteman dengan Khaifa yang seorang dokter, Zanya bisa tahu itu adalah obat tidur dosis tinggi yang hanya bisa dibeli dengan resep dokter. Rupanya Marlon meminumnya agar bisa tidur, pantas saja ia bilang iri pada Zanya yang bisa tidur kapanpun.
Zanya menghadap ranjang untuk membangunkan Marlon, Zanya terlonjak saat melihat ke arah kasur itu, ia sangat terkejut melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Marlon tidur tanpa memakai baju, dan Zanya tidak ingin menebak apakah di dalam selimut itu Marlon masih mengenakan celana atau tidak. Mengapa Radit tidak memperingatkannya tentang ini? Justru ini adalah hal pertama yang seharusnya Radit beritahu padanya. Dasar Radit! Umpat Zanya dalam hati.
Zanya menghela napas, harus profesional, ujar Zanya dalam hati. Inilah mengapa dalam kontrak kerjanya harus menjaga rahasia atasan. Ia pun menunduk untuk membangunkan Marlon, kemarin Radit memberitahunya agar mengguncang bahu Marlon agar ia terbangun. Namun bahu Marlon tidak di lapisi kain itu membuat Zanya agak ragu untuk menyentuhnya.
"Pak, Bangun...! Bangun, Pak!" ujar Zanya sambil mengguncang bahu Marlon.
Marlon menggeliat, lalu membuka matanya perlahan. Kemudian ia memicingkan matanya menatap Zanya.
"Anda mau Kopi, Pak?" Tanya Zanya, Radit memberitahunya untuk bertanya pada Marlon apakah ia ingin kopi atau tidak, karena terkadang Marlon minum kopi di wisma, tapi terkadang ia minum kopi di kantor.
"iya, dan siapkan baju olahraga, aku mau jogging di taman." ujarnya.
Zanya mengangguk dan keluar dari kamar Marlon. Tak lama kemudian, ia kembali ke kamar Marlon dengan membawa pakaian Marlon. Zanya melihat ternyata tempat tidur sudah Marlon rapihkan sendiri. Kebiasaan-kebiasaan Marlon terkadang membingungkan, ia minta disiapkan baju, namun ia bisa merapihkan tempat tidurnya sendiri. Zanya menggeleng-gelengkan kepala sambil keluar untuk membuatkan Marlon kopi.
Marlon keluar dari kamarnya bersamaan dengan Zanya selesai menyiapkan kopi dan roti telur untuknya.
"Kamu ganti baju olahraga, ya! Kita jogging bareng." Ajak Marlon.
Zanya mengangguk. "Silahkan sarapan dulu, Pak, sambil menunggu saya berganti pakaian." ujar Zanya, lalu ia keluar dari kediaman Marlon.
Zanya dan Marlon berjogging di taman setelah sebelumnya mereka melakukan pemanasan. Jika saat berjalan Zanya sering kalah dari Marlon, tapi tidak saat lari, Zanya adalah atlet lari sejak ia SMP.
"Waah, kamu hebat juga ya!" puji Marlon sambil terengah-engah.
"Mau istirahat dulu, Pak?" tanya Zanya, karena Marlon seperti kehabisan napas.
Marlon mengangguk, ia mengatur napasnya agar kembali teratur.
"Kok kamu bisa jago lari?" tanya Marlon.
Zanya tertegun, jika memang Marlon ingat padanya, ia pasti tahu Zanya adalah seorang atlet lari, bahkan dulu Marlon kerap kali menemani Zanya latihan lari di stadion dekat rumah mereka.
"Saya dulunya atlet lari, Pak." Jawab Zanya.
Marlon agak terkejut, tapi ekspresi terkejutnya segera berubah menjadi ekspresi kagum.
"Hebat! Lama-lama aku jadi tertarik sama kisah hidup kamu. Coba ceritakan yang lainnya!" Ujar Marlon sambil berjalan santai.
"Hmm... Saya gak tau harus cerita apa, Anda mau saya ceritakan tentang apa?" Zanya berniat menceritakan tentang dirinya, agar nantinya ia bisa minta Marlon menceritakan tentang dirinya juga, karena ada banyak hal yang sangat Zanya ingin tahu.
"Tentang keluarga kamu?" Tanya Marlon.
"Hmm... Bisa dibilang saya ini yatim piatu, ayah saya pergi meninggalkan saya dan ibu saya sejak kecil. Dan ibu saya sudah meninggal saat saya berusia 20 tahun." Ujar Zanya.
"Oh, Maaf, aku gak bermaksud mengorek kesedihan kamu..." ujar Marlon dengan wajah menyesal.
Itu artinya Marlon tidak tahu sama sekali cerita tentang ayah dan ibu, pikir Zanya.
"Saya udah gak merasa sedih tentang itu, Pak. Untungnya saya punya keluarga pengganti, sahabat yang saya ceritakan kemarin itu sudah seperti saudara saya sendiri, dan orangtuanya juga seperti orangtua saya sendiri." Jawab Zanya sambil tersenyum.
"Itu artinya mereka memperlakukan kamu dengan sangat baik?" tanya Marlon.
Zanya mengangguk. "Sangat baik! Lebih baik dari yang saya harapkan. Keluarga itu juga yang membuat saya bisa bertahan hidup sampai sekarang." Jawab Zanya sambil tersenyum simpul.
"Kamu beruntung, masih ada orang yang tulus memperlakukan kamu dengan baik. Setidaknya dari sekian juta manusia yang hanya memikirkan diri sendiri, kamu tau bahwa di antaranya masih ada yang tulus." Ujar Marlon serius.
"Bahkan sampai sekarang ini aku tidak bisa tahu orang-orang di sekitarku tulus atau tidak, semua orang sepertinya hanya mementingkan diri sendiri." Lanjutnya muram.
"Saya pernah mendengar kalimat 'Uang bisa membeli kebahagiaan, tapi tidak dengan ketulusan' apa benar, Pak?" Zanya menatap wajah Marlon yang tanpa ekspresi.
Marlon menarik satu sudut bibirnya ke atas. "Bahkan kebahagiaan yang dibeli itu adalah kebahagiaan semu." Ujarnya.
"Aku semakin iri pada kamu." Lanjutnya sambil tersenyum lemah.
Zanya tiba-tiba teringat kode akses pintu Marlon, sepertinya tidak ada salahnya jika ia menanyakan itu pada Marlon sekarang.
"Ngomong-ngomong, kode akses pintu bapak kenapa pakai nomor itu?" Tanya Zanya.
Marlon mengedikkan bahunya. "Gak tau, terlintas begitu aja, dan aku mudah menghafal nomor-nomor itu." Jawabnya.
"Memang kenapa?" Tanyanya kemudian.
Zanya menggeleng sambil tertawa kecil.
"Gak kenapa-napa, Pak. Cuma kebetulan aja itu tanggal ulang tahun saya." Jawabnya.
"Wah kebetulan yang agak aneh." Ujar Marlon sambil tertawa.
"Bagaimana dengan obat tidur? Apa Anda mengidap gangguan tidur, sehingga harus mengkonsumsi obat tidur itu?" Tanya Zanya tiba-tiba, ia sendiri menyesali pertanyaan yang baru saja keluar dari mulutnya.
Marlon berhenti melangkah, lalu menatap Zanya, dan dengan kedua tangannya, Marlon menarik tubuh Zanya mendekat kepadanya.