"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KETIKA AYAH MENEMUKAN KEBENARAN
Malam itu sunyi di rumah Pak Falah. Lampu-lampu di ruang tamu sudah redup, menyisakan ketenangan yang hanya diselingi bunyi jarum jam yang berdetak pelan. Pak Falah duduk di kursi kayu, menatap ponselnya yang sejak tadi tidak dia lepaskan dari genggamannya. Pesan dari ustadz di pesantren, tempat anaknya menuntut ilmu, masih terpampang di layar. Pesan yang menghantam hatinya lebih keras.
"Pak Falah, kemarin Zilfi kami bawa ke rumah sakit dikarenakan operdosis obat tidur,kami khawatir dengan zilfi. Kami menemukan beberapa tanda bahwa dia sering menyakiti dirinya sendiri. Sepertinya dia membutuhkan bantuan psikologis."
Pak Falah menjawab, tangannya bergetar. Sulit baginya menerima kenyataan itu. Zilfi, anak yang selalu dia banggakan, santri yang rajin dan taat, ternyata menyimpan rahasia yang begitu gelap. Selama ini, Pak Falah berpikir Ali baik-baik saja di pesantren ,berteman dengan santri lain, belajar agama dengan tekun, dan menjadi anak yang salehah. Namun, kenyataan yang baru saja dia ketahui membuyarkan semua asumsi itu.
Dia mencoba mengingat-ingat tanda-tanda yang mungkin terlewatkan selama ini. Zilfi memang sering pulang dengan wajah yang tampak lelah, tapi dia selalu tersenyum saat ditanya tentang kegiatan di pesantren. "Semua baik, Yah," adalah jawaban yang selalu keluar dari mulut Zilfi. Tidak ada yang mencurigakan, atau setidaknya itulah yang dipikirkan Pak Falah. Namun sekarang, semua senyum dan jawaban itu terasa seperti kepalsuan .
Setelah percakapan itu, Pak Falah tidak bisa tidur dengan tenang. Di kepalanya, dia terus memikirkan cara untuk membantu anaknya. Dia tahu dia tidak bisa menangani masalah ini sendirian. Zilfi butuh lebih dari sekadar dukungan emosional, dia membutuhkan bantuan profesional. Namun, membawa anaknya ke psikologi tidaklah mudah bagi Pak Falah. Dalam lingkungan pesantren dan masyarakat sekitar, berbicara tentang kesehatan mental sering kali dianggap tabu atau bahkan dianggap sebagai tanda kelemahan iman.
Namun Pak Falah tidak peduli dengan stigma itu. Baginya, keselamatan dan kesehatan Zilfi lebih penting daripada pandangan orang lain. Dia memutuskan untuk mencari psikolog yang bisa membantu anaknya, seseorang yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi, yang bisa membimbing Zilfi menemukan jalan keluar dari rasa sakitnya.
Pagi itu, Pak Falah bersama istrinya yaitu ibu tirinya Zilfi langsung menjemput Zilfi di asrama,,,Pak Falah memberitahu Zilfi bahwa ada sebuah acara keluarga yang harus Zilfi hadiri...Zilfi pun mengangguk pelan...
Sesampai nya di rumah,,Pak Falah mendekati Ali yang sedang duduk di ruang tamu, menggulung lengan bajunya dengan hati-hati, seolah-olah dia tidak ingin ada yang melihat bekas luka di lengan. Pak Falah berlutut di depan anaknya, menatap mata yang kini penuh kebingungan dan rasa bersalah.
“Nak, Ayah tahu ini tidak mudah untukmu, tapi Ayah ingin kau tahu bahwa kau tidak sendirian. Kita bisa melewati ini bersama,” kata Pak Falah lembut. "Ayah sudah mencari tahu, dan Ayah ingin membawamu ke psikologi. Mereka bisa membantu kita memahami apa yang sedang kau alami."
Zilfi tampak ragu sesaat. Matanya berkaca-kaca, dan dia menunduk, tidak sanggup menatap ayahnya langsung. "Apa aku benar-benar perlu pergi, Yah? Apa aku seburuk itu?"
Pak Falah mantap kepala, memegang tangan anaknya dengan lembut. "Kau tidak buruk, Nak. Kau hanya sedang kesulitan, dan tidak ada yang salah dengan itu. Ayah hanya ingin kau sembuh. Kita akan melalui ini bersama."
Zilfi menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mendidih. Mengapa ayahnya begitu memaksa? Mengapa dia merasa harus membawa Zilfi ke psikologi seolah-olah dia sakit? Zilfi tidak membutuhkan itu. Yang dia butuhkan hanyalah kembali ke pesantren.
Pesantren adalah tempat di mana dia bisa bersembunyi, bukan hanya dari orang lain, tapi juga dari dirinya sendiri, dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Pak Rahman mengoordinasikan kepala. “Zilfi, kau tidak bisa lari dari masalahmu."
Mata Zilfi memerah karena menahan amarah. Dia sudah cukup mendengar. Dengan cepat, dia berdiri dari kursinya, membuat teh di cangkirnya sedikit bergoyang.
"Aku sudah bilang,Aku ingin kembali ke pesantren!!!" Zilfi memaksa.
"Zilfi, dengarkan Ayah. Ini bukan tentang apa yang kau inginkan sekarang. Ini tentang apa yang kau butuhkan. Ayah tahu kau mencintai pesantren, tapi ada hal-hal yang lebih dalam dari itu yang perlu kita hadapi."
Zilfi terdiam, namun tubuhnya kaku, seperti ingin melarikan diri. Dia tidak ingin mendengarkan lebih jauh, dia tidak ingin mengakui bahwa ada sesuatu yang salah dengannya. Pesantren adalah jawabannya, bukan psikolog yang dia anggap hanya akan membuatnya merasa lebih buruk.
“Ayah…” Zilfi mulai berbicara lagi, kali ini suaranya lebih lembut, hampir seperti memohon. "Biarkan aku kembali ke pesantren. Aku bisa belajar lebih banyak di sana, aku bisa lebih dekat dengan Allah. Semua masalah ini akan hilang jika aku kembali. Aku tidak membutuhkan psikolog. Aku hanya butuh waktu."
Pak Falah merasa hatinya teriris. Sebagai seorang ayah, dia bisa merasakan ketakutan yang disembunyikan Zilfi di balik kata-katanya. Tapi dia juga tahu bahwa ini bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan lari kembali ke pesantren.
“Zilfi,” katanya pelan, “mencintai Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya memang hal yang baik, tapi itu tidak berarti kau harus mengabaikan apa yang terjadi di dalam dirimu. Allah juga memberikan kita jalan untuk mencari bantuan ketika kita mendesak.”
Namun, Zilfi sudah memutuskan. “Saya tetap ingin kembali ke pesantren,” tegasnya. "Jika Ayah tidak mengizinkan, aku akan pergi sendiri."