"Rangga, gue suka sama lo!"
Mencintai dalam diam tak selamanya efektif, terkadang kita harus sedikit memberi ruang bagi cinta itu untuk bersemi menjadi satu.
•
Rangga Dinata, sosok pemuda tampan idola sekolah & merupakan kapten tim basket di sekolahnya, berhasil memikat hati sosok wanita cantik yang pintar dan manis—Fira. Ya itulah namanya, Fira si imut yang selama ini memendam perasaannya kepada kapten basket tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Pilihan diantara dua hati
Hari-hari berlalu, dan meski suasana sekolah mulai kembali normal, di dalam hati Fira, masih berkecamuk badai. Ia tahu waktunya hampir habis. Ezra dan Rangga sudah memberinya cukup ruang untuk berpikir, tapi ketidakpastian ini tidak bisa berlangsung selamanya. Dia harus membuat keputusan, namun semakin lama ia menunda, semakin ia merasa tertekan oleh harapan-harapan yang melekat pada kedua pria itu.
Suatu pagi, saat Fira sedang duduk di taman sekolah sendirian, teleponnya berdering. Itu Ezra. Selama beberapa hari terakhir, Ezra tidak banyak menghubunginya, memberi Fira ruang yang ia minta. Tapi hari ini, suara Ezra terdengar penuh ketegasan.
"Fira, kita harus bicara," kata Ezra tanpa basa-basi. "Gue nggak bisa terus kayak gini. Lo udah punya jawaban?"
Fira menatap langit biru yang cerah, tapi hatinya terasa berat. "Ezra, gue masih bingung. Gue butuh waktu."
Ezra terdiam sebentar di seberang sana, sebelum akhirnya menjawab dengan nada lebih lembut. "Gue ngerti. Tapi gue juga nggak bisa terus nunggu. Gue sayang sama lo, Fir. Tapi gue nggak mau hubungan kita cuma terombang-ambing tanpa kejelasan."
Setelah percakapan singkat itu berakhir, Fira semakin merasa tersudut. Bukan karena Ezra menekannya, tapi karena ia sadar bahwa ini bukan hanya tentang mereka bertiga. Ini tentang dirinya—tentang apa yang sebenarnya ia inginkan. Bagaimana jika dia salah dalam membuat keputusan? Bagaimana jika dia mengecewakan seseorang yang dia sayangi?
•••
Di tengah kebingungannya, Fira memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Ia butuh waktu untuk sendirian, jauh dari hiruk pikuk sekolah dan segala konflik yang terus menghantuinya. Namun, ketika ia sedang berjalan melewati koridor, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di ujung lorong, ia melihat seseorang yang tak terduga—Rangga.
Rangga sedang berbicara dengan seseorang yang tampaknya bukan siswa dari sekolah mereka. Pria itu terlihat lebih tua, mengenakan jaket kulit hitam dan tampak sedikit mencurigakan. Meskipun percakapan mereka terdengar pelan, Fira bisa melihat raut wajah Rangga yang serius, seolah ada sesuatu yang berat sedang dibicarakan.
Ketika Fira melihat Rangga menoleh ke arahnya, wajahnya sedikit berubah. Pria yang sedang bersamanya langsung pergi begitu saja, meninggalkan Rangga dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Fira?” panggil Rangga, mendekat padanya. “Lo ngapain di sini?”
Fira merasa canggung, tapi rasa penasaran di hatinya lebih besar. "Gue... cuma kebetulan lewat. Lo ngobrol sama siapa tadi?"
Rangga tampak sedikit gelisah, tetapi ia berusaha tersenyum. “Nggak ada apa-apa, cuma temen lama.”
Fira tahu Rangga tidak sepenuhnya jujur. Ia mengenal Rangga cukup baik untuk menyadari ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi ia tidak menekan lebih jauh. Saat ini, ia punya masalah sendiri yang belum selesai. Ia hanya mengangguk pelan dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Gue masih mikirin soal kita. Gue bingung, Rangga,” Fira berkata dengan nada pelan, merasa seolah ingin membuka hatinya. "Setiap kali gue mikir, gue takut bikin keputusan yang salah."
Rangga terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. “Lo nggak perlu buru-buru, Fir. Gue bilang gue bakal nunggu, dan itu nggak berubah. Gue cuma pengen lo tau kalau gue ada buat lo, apapun keputusan lo nanti.”
Kata-kata Rangga itu seharusnya melegakan, tapi justru membuat Fira semakin bingung. Di satu sisi, ia merasa diberi kebebasan. Namun, di sisi lain, ia merasa seperti semakin jauh dari jawaban yang ia cari.
•••
Beberapa hari setelah pertemuan dengan Rangga, Fira masih belum bisa menghilangkan perasaan aneh tentang percakapan yang ia saksikan di lorong. Siapa pria yang berbicara dengan Rangga? Kenapa Rangga terlihat begitu gelisah?
Keinginannya untuk mengetahui lebih lanjut membawa Fira pada keputusan yang ia sendiri tidak yakini. Suatu sore, ketika Rangga mengirim pesan kepadanya untuk bertemu di taman sekolah, Fira setuju. Namun, sebelum itu, ia memutuskan untuk datang lebih awal. Ia berharap bisa melihat sesuatu yang menjelaskan kegelisahan Rangga.
Ketika Fira tiba di taman, ia melihat Rangga sudah ada di sana, tetapi dia tidak sendirian. Pria yang sama—pria dengan jaket kulit hitam—sedang berbicara dengan Rangga. Kali ini, percakapan mereka terdengar sedikit lebih keras, meski Fira tidak bisa mendengar semuanya.
Satu kalimat terdengar jelas di telinga Fira: “Lo nggak bisa terus lari, Rangga. Lo harus bayar hutang lo.”
Hati Fira berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? Hutang? Apa yang Rangga sembunyikan?
Setelah pria itu pergi, Fira mendekati Rangga, merasa lebih yakin bahwa ia harus tahu yang sebenarnya.
"Rangga, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Fira, tanpa bisa menyembunyikan rasa cemasnya.
Rangga terlihat terkejut, tetapi ia mencoba tersenyum. "Nggak ada apa-apa, Fir. Lo nggak perlu khawatir."
"Tapi gue denger lo ngomong soal hutang. Apa maksudnya?"
Rangga terdiam, seolah sedang berjuang di dalam dirinya sendiri untuk memutuskan apakah ia harus jujur atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia akhirnya menghela napas berat dan berkata, “Gue nggak bisa terus sembunyi dari lo, Fir. Lo berhak tau."
Rangga kemudian bercerita bahwa beberapa waktu lalu, setelah putus dengan Fira, hidupnya sempat berantakan. Ia terlibat dalam masalah finansial yang cukup serius, berurusan dengan orang-orang yang bukan tipe orang baik. Pria yang Fira lihat adalah salah satu dari mereka, menagih hutang yang Rangga belum bisa lunasi.
Fira terkejut mendengar pengakuan Rangga. Ia tak pernah menyangka bahwa Rangga, yang selalu terlihat tenang dan kuat, ternyata menyimpan masalah sebesar ini. "Kenapa lo nggak bilang dari awal?" tanya Fira dengan suara pelan.
Rangga menunduk, tampak malu. "Gue nggak pengen lo ngelihat gue lemah, Fir. Gue selalu pengen jadi orang yang bisa lo andelin, bukan orang yang bikin lo khawatir."
Fira merasakan simpati yang dalam untuk Rangga, tetapi juga ada perasaan kecewa. "Lo nggak perlu sempurna buat gue, Rangga. Gue cuma pengen lo jujur. Kalau lo ada masalah, kita bisa hadapin bareng."
Rangga menatap Fira dengan mata penuh rasa bersalah. "Gue tau, Fir. Dan gue nyesel nggak cerita lebih awal. Tapi sekarang, gue nggak mau lo ikut terlibat dalam masalah ini. Gue bisa selesain sendiri."
Fira tahu bahwa Rangga adalah tipe orang yang selalu ingin melindungi orang-orang di sekitarnya, tetapi kali ini, ia tidak bisa membiarkan Rangga menanggung semuanya sendirian. "Lo nggak sendiri, Rangga. Gue di sini buat lo, apa pun yang terjadi."
•••
Setelah mendengar pengakuan Rangga, Fira merasa beban di hatinya sedikit terangkat. Ia mulai menyadari bahwa masalah-masalah yang dihadapi Rangga tidak mengurangi perasaannya terhadap pria itu. Namun, di saat yang sama, ia juga sadar bahwa ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar memilih antara dua pria.
Malam itu, Fira merenung sendirian di kamarnya. Ia memikirkan Ezra, Rangga, dan semua yang telah terjadi. Keduanya adalah pria yang luar biasa dengan caranya masing-masing. Ezra, meskipun memiliki masa lalu yang kelam, telah menunjukkan keinginan yang kuat untuk berubah dan menjadi lebih baik. Sementara Rangga, meskipun terjebak dalam masalah besar, selalu berusaha melindungi orang-orang yang ia cintai.
Namun, di balik semua itu, Fira menyadari sesuatu yang penting—bahwa kebahagiaannya tidak bisa bergantung pada orang lain. Cinta itu penting, tapi lebih dari itu, ia harus mencintai dan menghargai dirinya sendiri terlebih dahulu. Ia tak ingin terburu-buru dalam membuat keputusan yang akan mempengaruhi hidupnya ke depan.
Pada akhirnya, Fira memutuskan bahwa ia butuh waktu untuk dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk tidak memilih Ezra ataupun Rangga untuk saat ini. Ia butuh ruang untuk memahami siapa dirinya sebenarnya, tanpa tekanan dari orang lain.
Keesokan harinya, Fira bertemu dengan Ezra dan Rangga secara terpisah, dan dengan hati-hati, ia menjelaskan keputusannya. Meskipun keduanya tampak kecewa, mereka juga menghargai keputusan Fira.