mengikuti perjalanan Kaelan, seorang remaja yang terjebak dalam rutinitas membosankan kehidupan sehari-hari. Dikelilingi oleh teman-teman yang tidak memahami hasratnya akan petualangan, Kaelan merasa hampa dan terasing. Dia menghabiskan waktu membayangkan dunia yang penuh dengan tantangan dan kekacauan dunia di mana dia bisa menjadi sosok yang lebih dari sekadar remaja biasa.
Kehidupan Kaelan berakhir tragis setelah tersambar petir misterius saat dia mencoba menyelamatkan seseorang. Namun, kematiannya justru membawanya ke dalam tubuh baru yang memiliki kekuatan luar biasa. Kini, dia terbangun di dunia yang gelap dan misterius, dipenuhi makhluk aneh dan kekuatan yang tak terbayangkan.
Diberkahi dengan kemampuan mengendalikan petir dan regenerasi yang luar biasa, Kaelan menemukan dirinya terjebak dalam konflik antara kebaikan dan kejahatan, bertempur melawan makhluk-makhluk menakutkan dari dimensi lain. Setiap pertarungan mempertemukan dirinya dengan tantangan yang mengerikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raven Blackwood, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3 Hari Menjelang Final
Pagi yang cerah menyelimuti kota dengan kegaduhan yang tak biasa. Di pusat kota, sebuah papan pengumuman besar berdiri kokoh, menarik perhatian ratusan orang yang berbondong-bondong datang untuk melihat siapa saja yang berhasil lolos ke babak final turnamen. Sorak-sorai dan bisikan antusias menggema di udara, menciptakan suasana penuh ketegangan yang membuat detak jantung setiap orang berdetak lebih cepat.
Kaelan berdiri di pinggir kerumunan, matanya yang tajam memperhatikan dari jauh. Tidak ada perasaan cemas atau ragu di wajahnya, hanya sebuah senyum tipis yang menunjukkan rasa percaya diri. Sejak awal, dia sudah tahu bahwa namanya akan ada di sana. Dia tak butuh bukti untuk menguatkan keyakinan itu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya ingin melihat sendiri daftar nama petarung yang akan bertarung di final bersamanya.
Setelah menunggu kerumunan sedikit menipis, Kaelan melangkah mendekat. Tatapannya segera jatuh pada papan besar yang tertulis dengan huruf-huruf tebal dan rapi. Di sana, daftar 10 petarung yang lolos ke babak final terpampang jelas:
Kaelan “Petir Merah Abadi”
Darius “The Stormbreaker”
Sylvaine “Shadow Fang”
Razen “The Earth Shaker”
Elios “Phoenix of the Flames”
Maeve “The Silent Wind”
Tharos “Iron Heart”
Eira “Frost Maiden”
Volen “The Blade King”
Zephyr “Lightning Spear”
Kaelan menatap nama-nama itu dengan penuh minat. Mereka semua adalah petarung terbaik yang pernah dia dengar, bahkan beberapa dari mereka memiliki reputasi yang jauh lebih besar daripada dirinya. Tapi itu tidak menggetarkan hatinya justru sebaliknya, hal itu membuatnya semakin bersemangat. Semakin hebat musuh, semakin besar tantangan yang dihadapi, dan semakin seru pertarungan yang akan terjadi.
“Darius, Razen, Elios... mereka semua nama besar,” pikir Kaelan sambil menyeringai. “Tapi aku tak peduli. Aku tak sabar menghancurkan mereka satu per satu.”
Perasaan antusias yang membara di dalam dadanya semakin kuat. Tiga hari lagi, ia akan berdiri di hadapan mereka di sebuah tempat yang lebih megah, lebih besar, dan lebih legendaris, Colosseum Besar. Tempat itu bukan sembarang arena. Colosseum Besar adalah arena legendaris yang menjadi saksi pertarungan para juara dan petarung terkuat dari seluruh kerajaan. Di sana, raja-raja, bangsawan, dan ribuan penonton akan berkumpul untuk menyaksikan final yang paling dinantikan dalam sejarah turnamen ini.
Setelah puas melihat jadwal itu, Kaelan berbalik dan meninggalkan kerumunan. Dia berjalan santai menuju penginapan yang telah menjadi tempat tinggal sementaranya selama beberapa minggu terakhir. Di setiap langkahnya, senyum kecil masih terukir di bibirnya. Tiga hari yang tersisa ini akan menjadi masa-masa menunggu yang penuh kegembiraan bagi Kaelan, karena semakin dekat hari final, semakin besar hasratnya untuk bertarung.
Saat dia tiba di penginapan, ruangan kecil yang biasa terlihat sunyi menjadi tempat perenungan Kaelan. Dia duduk di tepi ranjang, menatap dinding dengan mata yang kosong, sementara pikirannya berkelana. “Final ini akan menjadi pertarungan terbaik yang pernah aku alami,” pikirnya. “Ini bukan hanya soal menang atau kalah. Ini tentang merasakan bahaya di ambang kematian, merasakan luka-luka yang mengiris tubuhku, dan menikmati setiap detik dari itu.”
Rasa sakit bagi Kaelan bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Baginya, luka dan darah adalah bagian dari kesenangan dalam pertarungan. Ia tahu, tak peduli seberapa parah lukanya, tubuhnya akan sembuh dengan cepat, memberikan dia keuntungan yang tak dimiliki petarung lain. Keistimewaannya itu membuatnya semakin tak sabar untuk bertarung di Colosseum Besar.
“Tiga hari... hanya tiga hari lagi,” gumamnya sambil menutup mata, membayangkan dirinya di tengah-tengah arena besar itu, dikelilingi oleh ribuan penonton yang bersorak-sorai.
Keesokan harinya, Kaelan memutuskan untuk keluar dan menjelajahi kota. Dia berjalan melalui jalan-jalan yang penuh sesak oleh penduduk dan pengunjung yang datang dari berbagai kerajaan untuk menyaksikan final turnamen. Kota ini semakin hidup dengan kedatangan para pedagang, penjaja makanan, dan penonton yang siap meramaikan hari-hari terakhir sebelum final. Meski begitu, perhatian Kaelan tidak tertuju pada keramaian tersebut. Dia lebih tertarik memikirkan strategi dan teknik yang akan dia gunakan di pertarungan nanti.
Dalam hatinya, Kaelan merasa dirinya berbeda dari petarung lain. Bagi mereka, pertarungan ini mungkin tentang kemenangan, kejayaan, atau hadiah yang dijanjikan. Namun, bagi Kaelan, pertarungan ini adalah pengalaman hidup yang luar biasa, sebuah pengalaman yang mendekatkannya pada rasa sakit, kematian, dan regenerasi yang tanpa batas. Itulah yang dia cari, itulah yang membuat darahnya mendidih setiap kali bertarung.
Di sore hari, Kaelan kembali ke penginapan. Tubuhnya terasa segar, tetapi pikirannya masih dipenuhi dengan antusiasme yang tak terbendung. Dia memutuskan untuk melanjutkan latihannya, meski tahu bahwa sebagian besar petarung lain mungkin memilih untuk beristirahat dan memulihkan diri sebelum final. Tapi Kaelan bukan mereka. Dia tidak butuh istirahat seperti mereka.
Di dalam kamar penginapan yang sempit, Kaelan melatih gerakan pedang dan bela diri yang telah dia pelajari dari Takashi. Suara “Wusss... ctarr... wusss!” terdengar setiap kali dia bergerak, membelah udara dengan kekuatan petir yang mengelilingi tubuhnya. Setiap gerakan begitu cepat, begitu kuat, dan penuh dengan energi yang mematikan. Petir merah menyala di sekitar tangannya, menciptakan kilatan cahaya yang menyilaukan di dalam ruangan yang sempit.
Kaelan terus melatih dirinya tanpa henti, memukul, menendang, dan menebas dengan gerakan yang semakin cepat. Setiap kali dia terluka atau tubuhnya terasa lelah, regenerasinya bekerja dengan sempurna, memperbaiki setiap sel yang rusak dalam sekejap mata. Tubuhnya pulih dengan cepat, seolah tidak pernah mengalami rasa sakit atau cedera.
Waktu terus berjalan, dan sebelum dia menyadarinya, dua hari telah berlalu. Kini, hanya tersisa satu hari lagi sebelum final.
Di malam terakhir sebelum pertarungan besar, Kaelan berdiri di jendela kamarnya, memandangi bintang-bintang di langit yang gelap. Di kejauhan, siluet Colosseum Besar menjulang, tampak megah dan menantang. Tempat itu akan menjadi medan pertempuran yang sesungguhnya bagi Kaelan dan para finalis lainnya. Namun, di dalam hatinya, Kaelan tidak merasa gentar sedikitpun. Sebaliknya, rasa gembira dan antusias semakin membakar dirinya.
“Aku akan memberikan mereka pertarungan yang tak akan pernah mereka lupakan,” pikirnya. “Dan aku akan keluar dari sana sebagai satu-satunya pemenang.”
Di tengah malam yang sunyi, Kaelan menutup matanya dan membayangkan darah, luka, dan sorakan penonton yang memenuhi Colosseum. Sebuah senyum lebar terukir di wajahnya.
“Tunggu saja, tiga hari ini akan berlalu dalam sekejap. Dan ketika saatnya tiba, aku akan menjadi legenda.”
Colosseum Besar menunggu Kaelan dan sembilan finalis lainnya. Dan di sana, Kaelan akan membuktikan bahwa dia memang layak menyandang julukan “Petir Merah Abadi.”
coba cari novel lain trus cek buat nambah referensi 🙏