RanggaDinata
Di sudut tribun yang tak terlalu ramai, Fira duduk di bangku yang hampir selalu kosong. Sudah menjadi rutinitasnya untuk datang ke sini, tepat setelah bel pulang sekolah. Ini adalah tempat favoritnya—sebuah sudut di mana dia bisa melihat seluruh lapangan basket tanpa menarik perhatian. Fira bukanlah tipe orang yang ingin menonjol, apalagi di depan orang-orang yang aktif di tim olahraga. Namun, di balik ketenangannya, ada satu alasan mengapa dia tak pernah absen dari tribun ini: Rangga Dinata, kapten tim basket tersebut.
Rangga adalah sosok yang tak terjangkau di mata Fira. Bukan hanya karena ia populer, tampan, dan penuh karisma, tetapi juga karena dia adalah pusat perhatian hampir semua orang di sekolah. Ketika Rangga berlari di lapangan, tampak begitu percaya diri dengan gerakannya, Fira selalu merasa ada jarak yang tak terukur di antara mereka. Sementara Fira hanyalah seorang siswi biasa yang lebih suka berdiam diri di perpustakaan, Rangga adalah kebalikan dari itu—bercahaya dan dikelilingi banyak teman.
Fira tidak pernah berencana untuk menyukai Rangga. Awalnya, dia hanya sesekali melihat latihan basket sepulang sekolah karena tribun adalah tempat yang tenang untuk menyendiri. Namun, seiring berjalannya waktu, matanya selalu tertarik pada satu orang. Entah kenapa, tiap kali Rangga mengambil bola dan berlari menuju keranjang, Fira merasakan debaran halus di dadanya. Dia tak pernah memberitahu siapa pun tentang perasaannya. Bahkan sahabat terdekatnya, Dinda, tak tahu apa-apa soal ini.
"Fira, lo enggak bosan tiap hari di sini?" Dinda pernah bertanya sambil mengerutkan dahi. Sahabatnya itu tidak mengerti kenapa Fira selalu memilih duduk sendiri di tribun.
"Enggak, gue suka suasananya," jawab Fira singkat sambil tersenyum kecil. Tentu saja, dia tidak mungkin mengakui alasan sebenarnya.
Namun, hari itu berbeda. Fira duduk di bangku biasa, tetapi ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya. Sejak pagi, dia merasakan ketegangan di udara. Hari itu adalah latihan penting bagi tim basket, karena mereka akan bertanding melawan sekolah lain minggu depan. Rangga, seperti biasa, memimpin dengan penuh semangat. Suara sepatu yang berderit di lapangan dan bola yang memantul terdengar jelas di telinga Fira, tetapi fokusnya hanya pada satu orang—Rangga, dengan kaos basketnya yang basah oleh keringat, tetapi tetap terlihat mempesona.
"Ayo, semangat! Kita enggak boleh kalah di pertandingan ini!" seru Rangga, suaranya lantang dan tegas. Setiap kali dia berbicara, semua anggota tim mendengarkan dengan serius. Di matanya, ada tekad yang tak bisa diabaikan.
Fira menatapnya tanpa berkedip. Dia tahu, perasaannya terhadap Rangga bukan sekadar kekaguman. Itu lebih dari itu. Tapi bagaimana mungkin dia bisa mendekati seseorang seperti Rangga? Bagaimana mungkin Rangga akan memperhatikan seseorang seperti dirinya, yang bahkan jarang berbicara dengan orang lain di luar lingkaran kecilnya?
Saat latihan berakhir, Fira menyiapkan tasnya untuk pulang. Biasanya, dia akan cepat-cepat pergi sebelum Rangga atau teman-temannya menyadari kehadirannya. Namun, kali ini, sesuatu yang tak terduga terjadi.
“Fira, kan?” Sebuah suara memanggil namanya dari arah lapangan.
Jantung Fira seakan berhenti berdetak. Suara itu… Rangga. Dengan cepat, Fira memutar tubuhnya, dan benar saja, Rangga sedang berjalan ke arahnya. Ia tersenyum, senyum yang selama ini Fira lihat dari kejauhan.
“Iya?” Fira menjawab pelan, hampir tak terdengar.
“Gue sering lihat lo di sini. Lo suka basket?” tanya Rangga, masih dengan senyum yang sama.
Fira tergagap. Kenapa Rangga tiba-tiba bicara padanya? Bukankah selama ini dia selalu menghindar agar tak terlihat?
“Ah… enggak juga. Gue cuma… suka lihat aja,” jawab Fira. Dia berharap suaranya terdengar normal, meski jantungnya berdegup kencang.
Rangga tertawa pelan. “Ya, semoga lo enggak bosan ya. Gue senang ada yang suka lihat tim kita latihan. Mungkin suatu hari kita bisa ngobrol-ngobrol soal basket, kalau lo tertarik.”
Fira tersenyum kecil, tak tahu harus menjawab apa. Di kepalanya, ribuan pikiran berlomba-lomba untuk muncul ke permukaan, tetapi mulutnya terkunci rapat. Rangga melambai, lalu kembali ke lapangan untuk berkumpul dengan teman-temannya. Fira masih berdiri di tempat yang sama, terpaku, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Setelah kejadian itu, perasaan Fira semakin sulit ia kendalikan. Tiap kali ia datang ke latihan, ia berharap Rangga akan bicara lagi dengannya, tapi ia juga takut akan hal itu. Ketika mereka berbicara untuk pertama kalinya, Fira merasa seperti ada dinding yang runtuh di antara mereka. Tapi ia tahu, dinding itu belum sepenuhnya hilang. Masih ada jarak yang harus ia tempuh, dan dia tidak yakin bagaimana cara melewatinya.
Beberapa hari kemudian, di sela-sela latihan, Rangga kembali menghampiri Fira. Kali ini, dia lebih santai, seolah percakapan mereka sebelumnya adalah hal biasa. “Gue baru sadar, lo sekelas sama gue di fisika, kan?” katanya.
Fira mengangguk, sedikit gugup. “Iya, tapi gue duduk di belakang.”
Rangga tersenyum. “Pantesan gue jarang lihat lo. Lo pendiam banget ya di kelas. Gue biasanya lebih fokus ke depan.”
Fira tertawa kecil. “Gue memang enggak banyak bicara.”
“Apa lo tertarik sama basket, atau cuma kebetulan aja suka lihat?” tanya Rangga dengan nada ramah.
Fira berpikir sejenak. “Sebenernya, gue enggak ngerti banyak soal basket. Tapi gue suka cara lo main, cara lo mimpin tim.”
Mata Rangga sedikit membesar, seolah tidak menyangka mendapat pujian seperti itu. “Makasih. Gue enggak nyangka ada yang merhatiin sampai segitunya.”
Mereka berbicara lebih lama hari itu, dan percakapan mereka terasa lebih mengalir. Fira merasa, sedikit demi sedikit, dia mulai bisa merasa nyaman di dekat Rangga. Meskipun masih ada keraguan di hatinya, keberanian kecil ini mulai membuka jalan bagi hubungan yang lebih dekat di masa depan.
Setelah latihan selesai dan Fira pulang dengan langkah ringan, ia merenung. Mungkin, perasaannya yang selama ini ia simpan diam-diam tak perlu selalu tersembunyi. Ada harapan di dalam hatinya bahwa suatu hari nanti, dia bisa lebih dari sekadar penonton di tribun—mungkin, dia bisa menjadi seseorang yang berarti bagi Rangga.
--- Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments