**Meskipun cerita ini beberapa diantaranya ada berlatar di kota dan daerah yang nyata, namun semua karakter, kejadian, dan cerita dalam buku ini adalah hasil imajinasi penulis. Nama-nama tempat yang digunakan adalah *fiksi* dan tidak berkaitan dengan kejadian nyata.**
Di tengah kepanikan akibat wabah penyakit yang menyerang Desa Batu, Larasati dan Harry, dua anak belia, harus menelan pil pahit kehilangan orang tua dan kampung halaman. Keduanya terpisah dari keluarga saat mengungsi dan terjebak dalam kesendirian di hutan lebat.
Takdir mempertemukan mereka dalam balutan rasa takut dan kehilangan. Saling menguatkan, Larasati dan Harry memutuskan untuk bersama-sama menghadapi masa depan yang tak pasti.
Namun, takdir memiliki rencana besar bagi mereka. Pertemuan mereka bukanlah kebetulan, karena keduanya ditakdirkan untuk memikul tanggung jawab yang jauh lebih besar. Menjadi Penjaga Gerbang Semesta. Dan pelindung dunia dari kehancuran!. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ansus tri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Dokter Rina.
Malam ini sangat indah..bulan bersinar terang, dalam kamar Tidur, Laras meringkuk manja dan lelah dalam pelukan Harry, Pakaian yang berserakan di lantai menjadi saksi bisu pertemuan yang penuh gairah.mereka baru saja selesai, Larasati telah sampai puncak beberapa kali . Sedangkan Harry baru sekali.
Beberapa saat kemudian Laras bangun dan dia duduk di sisi Harry dengan tatapan serius. Selama lima belas tahun terakhir, Harry dan Larasati telah berbagi setiap momen hidup bersama.
Mereka pertama kali bertemu sebagai remaja kecil yang berpetualang di hutan, dan takdir membawa mereka berdua dalam perjalanan yang tak terduga.
Setelah bertahun-tahun hidup berdampingan, menghadapi segala macam ujian kehidupan, Harry dan Larasati akhirnya memutuskan untuk mengikat janji.
Dua tahun yang lalu, di tengah amukan hujan dan badai, mereka saling berjanji, mengukir ikatan yang tak terpisahkan dalam hati masing-masing.
Alam pun seakan menjadi saksi bisu, mencatat janji suci yang terucap di bawah langit yang menggelegar. Tetapi meskipun hubungan mereka sangat kuat, ada sesuatu yang selalu mengganjal di pikiran Larasati.
Meskipun cinta mereka sekuat baja yang ditempa api, ada seberkas keraguan yang sesekali menyelinap di hati Larasati. Keraguan yang berbisik lirih, mengingatkannya akan kekuatan Harry yang begitu besar, hasrat yang membara seperti api. Mungkinkah ia... walau dengan segenap jiwa dan ragapun rasanya tak mampu menandinginya?
“Harry,” ujar Larasati, suaranya lembut namun sarat emosi. Matanya yang bening menatap Harry dengan penuh cinta. “Aku merasa kamu memiliki energi yang besar dan hasrat yang kuat, lebih dari yang bisa aku berikan.”
Jemarinya mengusap lembut pipi Harry, mencoba meredam debaran di dadanya sendiri. “Aku sangat mencintaimu, dan justru karena itu… aku ingin kamu merasa sepenuhnya puas, sepenuhnya bahagia.”
Ia menarik napas dalam, mencoba mengatasi gejolak di hatinya sebelum melanjutkan. “Bagaimana jika… kita mempertimbangkan untuk menambahkan teman wanita lain dalam hubungan kita?”
Kata-kata itu terlontar begitu saja, meninggalkan jejak hening di antara mereka. Harry terpaku, matanya melebar tak percaya. Rahangnya ternganga, seolah kata-kata Larasati adalah hantaman yang tak terduga.
“Te… teman wanita lain?” akhirnya ia berhasil mengucapkan, suaranya terbata dan penuh kekagetan. Larasati mengangguk pelan, menatap Harry dengan tatapan tulus yang selalu mampu meluluhkan hatinya. “Aku tahu ini
mungkin terdengar aneh, tapi… aku ingin kita tetap jujur satu sama lain.”
“Aku… aku tak ingin menyembunyikan perasaanku, Harry,” lanjut Larasati, suaranya bergetar ringan. “Dan… aku ingin kamu merasa puas dalam hubungan kita.”
Ia menunduk, jemarinya memelintir ujung bajunya dengan gugup. “Aku tahu… semakin tinggi kekuatan kita, semakin besar pula hasrat yang kita miliki. Terutama… khususnya kaum laki-laki.”
Ia menatap Harry, ada seberkas kekhawatiran di mata beningnya. “Aku bisa merasakannya, Harry. Kamu… kamu tak akan pernah puas denganku sendiri. Hasratmu… tak akan pernah terpuaskan hanya dengan satu wanita.”
Suaranya lirih, hampir berbisik. “Karena itu… aku rela… berbagi dengan wanita lain untukmu.”
Hening kembali menyelimuti mereka, kali ini lebih pekat, lebih berat. Harry menatap Larasati, wajahnya penuh konflik. Di satu sisi, ia mengerti kekhawatiran Larasati, dia merasakan ketulusan di balik permintaannya yang tak biasa. Namun di sisi lain, ada sebagian dirinya yang merasa ragu, gamang. Bisakah ia benar-benar melakukannya?
“Laras…” ucapnya akhirnya, suaranya serak. “Aku… aku menghargai kejujuranmu. Tapi… ide ini… masih terlalu asing bagiku.”
Harry menjangkau tangan Larasati, menggenggamnya erat. “Bisakah… bisakah kita bicarakan lebih lanjut tentang hal ini? Aku… aku butuh waktu untuk memahaminya.”
Larasati mengangguk perlahan, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Ia tahu ini bukanlah permintaan yang mudah. Namun, melihat Harry yang bersedia mendengarkan, bersedia membuka pikirannya, memberinya seberkas harapan.
Mereka pun larut dalam percakapan yang panjang dan intens. Mengulik perasaan masing-masing, menimbang konsekuensi, dan mencoba mencari titik temu di antara keinginan dan ketakutan mereka.
***
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Percakapan-percakapan kecil dan penuh makna terus terjalin di antara Harry dan Larasati. Keraguan Harry perlahan mencair, digantikan oleh pemahaman yang mendalam akan keinginan Larasati dan keberaniannya untuk mencari kebahagiaan bersama.
Ia mulai menyadari, bahwa kebutuhan dan hasratnya yang begitu besar, yang kadang datang bergelombang-gelombang laksana ombak di tengah badai, mungkin memang tak akan terbendung hanya oleh Larasati sendiri. Dan bahwa memperluas lingkaran cinta mereka, menambahkan warna baru dalam kanvas hubungan mereka, bisa jadi adalah jawaban yang selama ini ia cari.
“Laras…” ucapnya suatu malam, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku… aku mengerti sekarang. Aku benar-benar mencintaimu, dan aku percaya… kita bisa menjalani hubungan yang lebih dalam, lebih berarti… dengan kehadiran seseorang yang baru dalam hidup kita.”
Senyum Larasati mekar sempurna, seindah bunga yang baru saja bersemi. Kelegaan dan cinta terpancar dari mata beningnya. Mereka berdua, tanpa perlu diucapkan, tahu bahwa keputusan ini adalah sebuah langkah besar yang akan semakin mempererat ikatan cinta mereka.
Maka\, dimulainya perjalanan baru mereka. Mencari\, bukan pengganti\, melainkan sebuah **pelengkap.** Seseorang yang bisa berbagi cinta dan kebahagiaan bersama mereka\, menorehkan kisah yang indah dalam bingkai hubungan yang tak biasa.
Dan pilihan mereka jatuh pada Dokter Rina. Seorang wanita yang mereka kenal ketika bekerja sama dalam kasus “Wabah Misterius”. Kecerdasan, keceriaan, dan energi positif Rina telah menarik perhatian mereka sejak awal. Mungkinkah ia adalah potongan puzzle yang melengkapi bingkai cinta mereka?
**********
Telepon genggam Larasati bergetar pelan. Sebuah pesan singkat dari Rina: “Sore ini aku free, Laras. Ada apa?”. Senyum tipis mengembang di bibir Larasati. Waktunya telah tiba.
“Rina, bagaimana kalau kita bertemu? Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Mengenai Harry…” balasnya, mencoba untuk tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang.
Tak lama kemudian, sebuah balasan masuk. “Mengenai Harry? Baiklah, aku ke tempatmu sebentar lagi.”
Larasati menatap pantulan dirinya di cermin. Ada seberkas kekhawatiran di mata beningnya, namun juga keteguhan hati yang tak tergoyahkan. Ia telah membicarakan semuanya dengan Harry, dan mereka sepakat
untuk membuka hati mereka lebar-lebar untuk Rina.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Masuk, Rin!” serunya, mencoba menenangkan debaran di dadanya.
Rina melangkah masuk, raut wajahnya menampilkan sekelumit kebingungan. “Ada apa, Laras? Kenapa tiba-tiba ingin membicarakan Harry?”
Larasati menarik napas dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Begini, Rin… ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu. Sesuatu yang… cukup pribadi dan sensitif.”
Kernyitan kecil muncul di dahi Rina. “Pribadi dan sensitif? Sebenarnya ada apa, Laras? Kamu membuatku khawatir.”
Larasati menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan. “Begini, Rin… kamu tahu kan, hubungan kami dengan Harry sangatlah kuat dan terbuka. Kami selalu berusaha untuk saling jujur dalam segala hal.”
Rina mengangguk perlahan, masih menunggu penjelasan lebih lanjut. Ia mengenal Larasati dan Harry dengan baik, dan ia tahu bahwa pasangan itu memiliki ikatan batin dan cinta yang sangat erat.
“Nah,” lanjut Larasati, “ada sesuatu yang ingin kami tawarkan padamu, Rin. Sesuatu yang mungkin terdengar… tidak biasa.”
Jantung Rina berdetak lebih cepat. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang besar akan diungkapkan Larasati. “Tawaran? Tawaran apa?” tanyanya penuh penasaran.
Larasati dan Harry bertukar pandangan sejenak. “Kami… kami ingin kamu menjadi bagian dari hubungan kami, Rin,” ucap Larasati akhirnya, suaranya lirih namun tegas.
Sejenak, Rina terdiam. Kata-kata Larasati terngiang-ngiang di telinganya seperti petir yang baru saja menyambar. “Menjadi… bagian dari hubungan kalian?” ulang Rina perlahan, masih mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.
Larasati mengangguk, ekspresinya penuh ketulusan. “Kami mengerti kalau kamu terkejut, Rin. Ini mungkin terdengar aneh dan tidak biasa. Tapi, kami sudah memikirkan ini matang-matang.”
Harry, yang sedari tadi diam mengamati, akhirnya turut berbicara. “Kami menjalani hubungan yang berbeda, Rin. Kami percaya dengan konsep Poliamori, di mana kami bisa mencintai dan dicintai oleh lebih dari satu orang dengan penuh kesadaran dan persetujuan dari semua pihak.”