NovelToon NovelToon
Tomodachi To Ai : Vampir Dan Serigala

Tomodachi To Ai : Vampir Dan Serigala

Status: sedang berlangsung
Genre:Akademi Sihir / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: BellaBiyah

Masih belajar, jangan dibuli 🤌

Kisah ini bermula saat aku mengetahui bahwa kekasihku bukan manusia. Makhluk penghisap darah itu menyeretku ke dalam masalah antara kaumnya dan manusia serigala.

Aku yang tidak tahu apa-apa, terpaksa untuk mempelajari ilmu sihir agar bisa menakhlukkan semua masalah yang ada.

Tapi itu semua tidak segampang yang kutulia saat ini. Karena sekarang para Vampir dan Manusia Serigala mengincarku. Sedangkan aku tidak tahu apa tujuan mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24

Kalen dan aku duduk berhadapan, dan dia mulai menyatukan pikiran kami, sama seperti yang pernah Aleister lakukan sebelumnya. Sensasi aneh menyelimuti diriku saat aku mulai merasakan pikirannya mengalir masuk ke dalam kesadaranku. Pandangan di sekelilingku mulai kabur, dan tiba-tiba aku terbawa ke dalam kenangan masa kecil Kalen.

Aku melihat dua anak laki-laki kecil—Kalen dan Aleister, versi yang jauh lebih muda. Mereka duduk di sebuah meja kayu sederhana di sebuah rumah yang hangat dengan perapian besar menyala di sudut. Dinding rumah itu terbuat dari kayu tua, memberikan kesan rumah desa yang kuno. Di samping meja, terpajang sebuah salib, yang tampaknya memiliki tempat istimewa di keluarga itu. Mata kedua anak itu, sama seperti mata yang mereka miliki sekarang, penuh cahaya dan kepolosan masa kecil.

Seorang wanita muda yang cantik—ibu mereka—berdiri di samping meja. Wajahnya penuh kehangatan, cinta, dan kelembutan. Aku bisa melihat dari mana mereka mewarisi mata indah mereka, karena mata sang ibu sangat mirip dengan mata mereka. Dia terlihat sangat damai, mengatur makanan di atas meja dengan hati-hati.

Mereka memberkati makanan sebelum mulai makan. Suara lembut sang ibu terdengar di seantero ruangan, memimpin doa dengan penuh hormat. Aku bisa merasakan ikatan keluarga yang kuat di antara mereka, sebuah kenangan yang hangat dan damai. Namun, di balik semua itu, ada rasa duka yang mendalam, seolah-olah bayang-bayang takdir kelam sudah membayang di belakang.

Kalen memindahkan pikiranku lebih dalam ke dalam memori itu. Tiba-tiba, suasana berubah. Aku melihat seorang gadis muda—Ana. Dia muncul di kenangan itu dengan rambut pirang panjang yang indah, terlihat mirip dengan diriku. Matanya, bibirnya, bahkan gerak-geriknya, semuanya mengingatkanku pada pantulan diriku sendiri. Dia tersenyum kepada Aleister dan Kalen, terutama kepada Aleister. Hubungan mereka terasa mendalam, cinta yang tidak pernah dikatakan namun jelas terlihat di mata mereka. Di antara mereka, ada sesuatu yang murni, namun juga terpendam.

Aku merasakan gelombang emosi menghantamku. Kalen menyimpan rasa cinta yang tersembunyi pada Ana, namun dia tahu bahwa Ana mencintai Aleister. Kecemburuan, rasa sakit, dan penyesalan mendominasi perasaan Kalen. Setiap kali dia melihat Ana bersama Aleister, dia terjebak dalam perasaan bahwa dia tidak pernah bisa menjadi seperti saudaranya—tidak bisa memiliki cinta yang sama.

Kemudian, kenangan itu berakhir dengan kejadian tragis. Aku bisa merasakan kepedihan yang mendalam ketika Ana meninggal, meninggalkan luka yang tidak pernah sembuh dalam hati mereka, terutama dalam diri Kalen. Kesedihan itu menjadi bagian dari dirinya, terus hidup di dalamnya selama berabad-abad, menghantui setiap keputusan yang diambilnya.

Aku menarik napas dalam-dalam ketika koneksi itu terputus, kembali ke realitas di kabin Kalen. Emosiku bercampur aduk.

“Kamu melihatnya sendiri,” kata Kalen dengan suara pelan. "Setiap hari aku harus menghadapi kenyataan bahwa kamu adalah bayangan dari masa lalu yang tidak pernah bisa kumiliki."

Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Jadi, kamu tidak pernah bisa benar-benar mencintai siapa pun karena terjebak dalam bayang-bayang Ana… dan aku?”

Kalen mengangguk pelan. “Aku mencoba melupakannya, Zara. Aku benar-benar mencoba. Tapi melihatmu setiap hari... itu seperti melihat hantu masa lalu.”

Aku terdiam, berusaha memproses semua yang baru saja aku lihat dan rasakan. Cinta, kecemburuan, rasa sakit yang sudah berusia ratusan tahun, semuanya terbungkus dalam kenangan itu. Dan kini aku menyadari bahwa semua ini lebih dalam daripada sekadar kemiripan fisik. Ini tentang luka yang belum pernah sembuh.

"Apa yang kamu inginkan dari hidupmu sekarang, Kalen?" tanyaku pelan, mencari tahu apakah ada jalan bagi kami semua untuk melanjutkan hidup.

Kalen terdiam lama sebelum menjawab, "Aku tidak tahu, Zara. Aku tidak tahu."

Saat Kalen menyatukan pikiranku dengan miliknya, dunia di sekeliling kami memudar, dan aku segera terseret ke dalam aliran kenangannya. Sensasi aneh menyelimuti tubuhku, lalu pemandangan berganti menjadi sebuah rumah tua yang tenang, dikelilingi oleh aroma kayu dan api unggun. Aku merasakan kehangatan yang aneh di sini—kenangan yang lama, namun begitu hidup dan nyata.

Aku melihat dua anak laki-laki, jelas sekali bahwa mereka adalah versi muda Kalen dan Aleister. Mereka duduk di meja makan sederhana di rumah kayu yang kecil, penuh kehangatan dan kasih sayang. Seorang wanita muda—ibu mereka—memimpin doa sebelum makan. Wajahnya lembut, penuh kasih, dengan mata yang begitu mirip dengan mata Kalen dan Aleister. Ada harmoni dalam momen itu, namun ada juga perasaan kehilangan yang samar.

Kemudian, kenangan berubah. Kami berada di luar rumah. Di taman yang dikelilingi oleh pepohonan, seorang gadis muda berjalan masuk ke dalam ingatan ini. Rambutnya pirang panjang, wajahnya bersinar dengan kepolosan dan kemurnian. Gadis itu—Ana—adalah sosok yang sama persis dengan yang Kalen jelaskan. Dia tidak hanya mirip denganku, tetapi dalam beberapa aspek, dia adalah bayanganku yang lebih muda. Dia tertawa lembut, matanya berkilauan ketika dia berbicara dengan Aleister. Di antara mereka ada cinta yang mendalam, cinta yang tak perlu diucapkan untuk bisa dirasakan.

Namun, Kalen, di samping mereka, selalu berada di pinggiran. Kecemburuan melintas di wajahnya, begitu jelas dalam kenangannya. Dia mencintai Ana, tetapi dia tahu dia tidak akan pernah memiliki hatinya. Setiap kali dia melihat Ana dan Aleister bersama, hatinya hancur sedikit demi sedikit. Cinta yang tidak terbalas, campuran rasa frustrasi dan penyesalan yang tak bisa dia lepaskan.

Kenangan berikutnya menghantamku dengan keras. Ana jatuh sakit, dan kematiannya yang mendadak mengubah segalanya. Kepedihan itu tak terucapkan, dan aku bisa merasakan betapa hancurnya hati Kalen dan Aleister. Kehilangan Ana meninggalkan luka yang dalam di dalam diri mereka berdua—luka yang, bahkan setelah berabad-abad, belum pernah sembuh. Mereka kehilangan lebih dari sekadar seorang gadis; mereka kehilangan harapan, cinta pertama, dan bagian dari diri mereka sendiri.

Saat koneksi itu terputus, aku kembali ke kenyataan, masih duduk di kabin Kalen. Aku terengah-engah, mencoba memproses semua yang baru saja aku lihat. Perasaan campur aduk, antara marah, bingung, dan kasihan, memenuhi dadaku.

Kalen menatapku dengan wajah penuh penyesalan. “Kamu melihatnya sendiri, Zara. Setiap kali aku melihatmu, aku diingatkan akan masa lalu yang tidak pernah bisa kubiarkan pergi.”

Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Jadi, kamu hidup dalam bayangan Ana… Dan aku adalah cerminan dari masa lalu itu?”

Dia mengangguk perlahan. “Aku mencoba, Zara. Aku mencoba untuk melupakannya, tetapi setiap hari aku melihatmu, aku diingatkan akan cinta yang hilang.”

Aku terdiam. “Dan bagaimana dengan Aleister? Apakah cintanya padaku juga hanya karena aku mirip dengan Ana?”

Kalen tampak ragu-ragu sebelum menjawab. “Aleister… dia mencintaimu dengan cara yang berbeda. Ya, pada awalnya, dia mungkin melihat Ana dalam dirimu. Tapi, seiring waktu, dia mencintaimu sebagai dirimu sendiri, bukan sebagai bayangan masa lalu.”

Rasa lega bercampur dengan kesedihan. “Tapi kamu, Kalen… kamu masih terjebak di masa lalu.”

Dia menundukkan kepalanya. “Aku tahu. Dan aku tidak tahu bagaimana cara melepaskannya.”

Aku berdiri, pandanganku masih tertuju padanya. “Kamu harus melepaskannya, Kalen. Bukan hanya untuk dirimu, tapi juga untuk kami semua. Ini bukan hanya tentang masa lalu, ini tentang bagaimana kamu hidup sekarang.”

Kalen menatapku dengan mata penuh harapan yang rapuh, seolah-olah mencari jalan keluar dari lingkaran rasa sakit yang dia ciptakan sendiri. Namun, dalam diamnya, aku tahu ini bukan sesuatu yang mudah diselesaikan.

Aku berbalik menuju pintu. Sebelum pergi, aku berkata, “Kamu harus menemukan cara untuk hidup tanpa bayang-bayang itu, Kalen. Kalau tidak, kamu tidak akan pernah benar-benar bebas.”

Kemudian aku pergi, meninggalkannya di kabin, berharap dia akan menemukan cara untuk berdamai dengan masa lalunya—dan membiarkan kami semua melanjutkan hidup.

Saat aku berhasil mendorong Kalen menjauh, tubuhku gemetar karena ketegangan dan rasa takut. Aku tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi—perasaan campur aduk antara simpati atas kisah masa lalunya dan ketidakpercayaan atas tindakannya yang begitu tiba-tiba dan tidak terduga. Dadaku sesak, dan pikiranku kacau, terjebak antara perasaan kasihan dan marah.

“Kalen, kau tidak bisa terus-menerus terperangkap dalam bayangan masa lalu!” Aku berteriak dengan nada tegas sambil mengambil langkah mundur, tetap waspada. “Ini bukan tentang balas dendam. Ini tentangmu yang tidak bisa melepaskan masa lalu!”

Kalen berdiri diam, napasnya terengah-engah, wajahnya dipenuhi kebingungan dan kesakitan. Tapi dia tidak mendekat lagi. Sepertinya, sebagian dari dirinya sadar akan kesalahan besar yang baru saja dia lakukan, tetapi dia tidak tahu bagaimana harus bertindak selanjutnya. Matanya mencari sesuatu—mungkin pengampunan, atau pengertian—namun aku tidak punya apa pun untuk diberikan saat itu.

“Aku tidak tahu apakah Aleister sengaja melakukan ini padamu atau tidak,” lanjutku, suaraku kini lebih tenang, namun tetap penuh amarah. “Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan menjadi bagian dari permainanmu, Kalen. Kau tidak bisa memanfaatkan aku untuk membalas dendam padanya.”

Aku melihat wajahnya berubah, kesadaran mulai menyusup ke dalam dirinya. Perlahan-lahan, dia menundukkan kepalanya, seolah-olah beban kenyataan akhirnya menghantamnya.

“Aku... aku minta maaf,” katanya akhirnya dengan suara yang penuh penyesalan. “Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan...”

Aku tidak mengatakan apa-apa lagi. Dengan langkah cepat, aku berjalan menuju pintu, keluar dari kabin itu dengan perasaan yang masih bercampur aduk. Udara dingin di luar menyentuh kulitku, memberikan sedikit kesadaran dan kelegaan setelah kejadian yang begitu menyesakkan di dalam.

Setelah beberapa langkah menjauh dari kabin, aku berhenti sejenak, mengatur napas dan berusaha menenangkan diri. Pikiranku kacau. Hubungan antara Aleister, Kalen, dan aku semakin membingungkan, dan aku tidak tahu bagaimana menyikapinya. Tapi satu hal yang pasti—aku tidak bisa membiarkan masa lalu terus membayangi masa kini. Kalen harus menemukan cara untuk berdamai dengan kenyataannya sendiri, dan aku harus melindungi diriku dari perang yang tidak pernah kuminta untuk terlibat di dalamnya.

Langkah-langkahku terasa berat, tapi aku tahu, aku harus kembali ke Aleister, meski dengan perasaan yang kini lebih dipenuhi keraguan daripada sebelumnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!