Pada mulanya, sebuah payung kecil yang melindunginya dari tetesan hujan, kini berubah menjadi sebuah sangkar. Kapankah ia akan terlepas dari itu semua?
Credits:
Cover from Naver
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYZY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Act Nice Like a Baby
Ini aneh. Aku selalu merasa ada yang tidak beres dengan apa yang ada di dalam diriku. Meskipun aku sudah mulai terbiasa hidup sendirian, akan tetapi aku tidak bisa berbohong bahwa aku masih suka memikirkan kehidupan lampau jauh saat kedua orang tuaku masih ada. Kenangan masa kecil itu masih ada, sangat indah, dan kerap kali membuatku sesak napas setiap kali aku memikirkannya.
Terkadang, saat menjelang pergantian tahun, aku dan Paman akan pergi ke pemakaman ayah di lereng bukit. Itu adalah saat-saat titik terendah dalam hidupku. Aku tidak bisa menolong selain menangis. Dan saat ini adalah bulan Desember, kemungkinan sebentar lagi aku akan mengunjunginya.
Namun, pagi hari ini aku mendapatkan pesan elektronik dari paman bahwa ia tidak bisa mengantarku kali ini. Paman sedang berlibur di kampung halaman bersama seluruh keluarganya. Sebelum itu, paman meminta maaf atas keadaannya dan berjanji akan mengantarku begitu mereka sudah pulang. Aku dengan segan menolaknya. Wajar jika paman ingin melakukan suatu hal bersama keluarganya. Jadi aku berniat untuk pergi ke pemakaman seorang diri.
"Andrew, silakan. Pancake madu dan kopi."
Aku membawa sebuah piring berisi tumpukan pancake hangat berlapis madu dan secangkir kopi hitam yang masih panas, kemudian meletakkannya di atas meja. Andrew duduk di depan sana, sudah rapi dengan setelan kemeja barunya yang ia simpan di mobil setelah mandi di tempatku.
Andrew belum memakai jasnya, jadi ia dapat menggulung lengan kemejanya.
"Kau yang membuatnya?"
Aku hanya menganggukkan kepala, melihatnya mulai meraih sendok kecil bewarna perak.
Sedangkan aku juga melakukan hal yang sama, duduk di kursi yang berbeda sembari memotong pancake dengan sendok logam.
"Oh iya, Andrew," Aku baru tersadar akan sesuatu. Aku melirik sebentar ke arah jam dinding berbentuk lingkaran di atas dinding sana sebelum melanjutkan, "pulanglah sebelum jam 7 pagi. Kalau tidak orang-orang di sekitar sini akan melihatmu."
Andrew menatapku setelah itu, tapi ia tidak berkata apapun.
Aku buru-buru menambahkan, "Kau kan tidak mau ada orang lain yang mengetahui hubungan kita, selain...."
"Ya, aku tahu."
Aku menghela napas. Syukurlah ... sebenarnya aku hanya takut jika ibu pemilik kondominium ini tiba-tiba datang untuk menagih biaya kontrak.
Jika itu terjadi, maka semua itu hanya akan memperburuk keadaan. Dan, jika ibu itu tahu tentangnya, maka sudah dipastikan tentang apa yang akan terjadi.
"Apa kegiatanmu hari ini?" tanyanya tiba-tiba.
"Oh?"
Andrew meletakkan sendoknya di atas piring, dan mulai meraih secangkir kopi yang masih mengeluarkan kepulan asap. Ia menyilangkan kaki, sembari menatap lurus ke arahku.
Sekali lagi, aku tidak berhasil untuk menghilangkan rasa gugup dan berakhir membuang pandangan ke tempat lain.
"Tidak ada hal yang spesial. Mungkin setelah ini aku akan pergi ke pemakaman."
"Bersama paman?"
"Tidak, aku sendirian." Aku mendongakkan kepala—menatapnya.
"Mau aku antar? Sekalian, aku juga ada keperluan di dekat sana."
"Tidak-tidak! Jika begitu kau akan telat! Lagipula aku harus membeli bunga dulu baru ke sana...."
Aku menundukkan kepala. "Lagipula kan tidak ada toko bunga yang buka sepagi ini," lanjutku.
"Bunga apa yang kau maksud?"
" ... Bunga Krisan, ayah suka bunga Krisan."
Andrew menegak kopinya sembari menganggukkan kepala. "Bunga Krisan ya, itu sulit dijumpai pada saat musim hujan begini. Mengapa tidak mencari bunga yang lain?"
"Entahlah ...."
"Begini saja," ucapnya sembari meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja, "ikutlah denganku setelah ini, di sana ada banyak bunga yang tumbuh. Jika kamu mau, kau bisa memetiknya."
"Andrew ...," Membayangkannya saja sudah tidak bisa. Tempat yang Andrew maksud itu pasti adalah tempat dengan banyak orang dan koleganya. Bagaimana bisa aku datang di tempat semacam itu hanya untuk memetik bunga? Itu lebih terdengar seperti memungut sesuatu daripada memetik, "aku tidak bisa."
Aku mendengarnya menghela napas. "Aku paham apa yang kau khawatirkan. Tidak usah khawatir. Tidak akan ada banyak orang di sana. Itu hanya semacam pembicaraan tentang pekerjaan. Kau juga akan dipandu oleh seseorang nanti," katanya sembari meluruskan kedua kakinya. Ia kembali membungkukkan punggung untuk meraih secangkir kopi, "jadi, kita bisa pergi ke pemakaman sepulang dari sana. Bagaimana?"
"Tapi tetap saja—"
"Tetap saja bagaimana?"
Sebenarnya itu adalah penawaran yang baik. Pergi ke pemakaman juga bukanlah suatu hal yang mudah. Perjalanannya jauh, karena itu berada di lereng bukit. Jauh dari pusat perkotaan.
"Itu jauh...."
"That's why. Instead of going alone, wouldn't it be better to go with me? Or– do you want to repeat the incident when we went to the restaurant?"
Dan aku khawatir ia akan meninggalkanku seperti waktu itu. Meskipun waktu itu keadaannya sedang buruk. Berbeda dengan yang ini.
Dia benar-benar tidak akan mengulangi hal yang sama 'kan?
Aku menyendok lalu memasukkan sepotong pancake ke dalam mulut secara terburu-buru. Aku mengunyahnya secara perlahan, merasakan rasa manis dan adonan kue yang lembut. Andrew juga melakukan hal yang sama—mengunyah pancake buatanku.
"Baiklah, aku ikut denganmu!"
~*~
Aku benci berada di dalam mobil bersamanya seperti ini. Ini sudah lewat setengah jam perjalanan dan bahkan tidak ada dari kami yang memulai pembicaraan.
Sepatutnya yang disalahkan adalah aku. Aku paham bahwa Andrew mungkin sedang fokus menyetir, sedangkan aku hanya duduk manis di sampingnya seraya memandangi jalanan yang mulai sepi semenjak kami memasuki area hutan.
Dan, hey! Lihatlah di depan sana adalah pemandangan yang begitu indah! Sebuah gunung bewarna biru pucat terlihat besar dan jelas sekali dilihat dengan mata telanjang. Apalagi, tidak ada gedung-gedung pencakar langit yang menghalangi pemandangan tersebut selain pohon-pohon pinus dan cemara yang menjulang tinggi. Di samping kanan dan kiri jalan juga terdapat pohon Pinus yang tumbuh. Jalannya mulai berkelok-kelok. Sesekali aku menahan napas saat berada di kelokan jalan dan berpapasan dengan jurang yang dibawahnya adalah pemandangan hutan dan pemukiman penduduk. Itu sangat indah. Aku tidak bisa berhenti melihatnya dan tersenyum spontan.
Ini adalah saat yang tepat untuk mulai menggambar di buku sketsa.
"Kau terlihat senang. Pemandangannya indah sekali ya?"
Aku menoleh ke arahnya yang sedang menatap lurus ke depan.
"Iya, di sini indah sekali!" jawabku seraya mulai menggambar pemandangan yang kulihat di dalam buku sketsa yang biasanya memang sering kubawa kemana-mana.
"Omong-omong, bunga Krisan biasa tumbuh di dataran tinggi. Mungkin kau bisa menjumpainya di sana meskipun sedang musim hujan." Andrew berkata setelah beberapa saat.
"Sepertinya kau tahu banyak ya?"
"Tidak juga ...," sahutnya, "dulu sekali, seseorang pernah memberitahuku."
Seseorang? Siapa dia?
"Boleh aku bertanya?" tanyaku kemudian. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya sepanjang malam, dan tentu saja ini adalah saat yang tepat.
"Boleh. Tanya saja, apa?"
"Apa ... apakah kamu ada masalah akhir-akhir ini? Ma-maksudku, di rumahmu mungkin ... jadi kau datang ke rumahku kemarin ...?"
Andrew tidak langsung menjawab, melainkan sedikit mengerutkan keningnya namun tatapannya masih fokus ke depan jalan—nampak sedang berpikir.
Sebenarnya, bertanya hal seperti itu membuatku gugup setengah mati. Aku hanya takut dia tidak suka dengan pertanyaanku.
Tentu saja....
Dia pasti merasa tidak nyaman saat ini.
"Memang ada, tapi itu bukanlah masalah yang besar ...," jawabnya.
"Tapi kamu punya banyak tempat tinggal lain—"
Andrew tersenyum tipis. "Yes... but I came to give you something too. Isn't that reason enough?"
"Kau benar ...," jawabku seraya meraba anting mutiara yang terpasang di telingaku. Aku seketika tersipu saat membayangkan kejadian kemarin malam.
Setelah itu, tidak ada percakapan lagi di antara kami. Sepanjang perjalanan, aku hanya fokus menggambar. Sedangkan Andrew mulai menyalakan musik country.
"Kita sudah sampai," katanya. Tak terasa, perjalanan yang membutuhkan waktu lama berlalu begitu saja. Saat turun dari mobil, aku mendapati mobil ini terparkir di sebuah halaman yang luas, bersama mobil-mobil lainnya. Hanya ada sebuah bangunan di depan sana. Bangunan itu di kelilingi oleh hutan.
Udara di pegunungan selalu terasa dingin dan sejuk. Di sini aku bisa dengan mudah menghirup udara segar. Berbeda dengan udara kota yang pengap.
Menurutku, bangunan itu tampak seperti aula istana. Banyak sekali lorong tanpa dinding dan jendela terbuka. Meskipun bangunan bewarna putih itu hanya terdiri dari satu lantai, sebenarnya itu sangatlah luas. Di tengah-tengah bangunan itu adalah lobi, sementara kanan kirinya adalah lorong yang disangga oleh pilar-pilar yang ditumbuhi oleh tanaman merambat yang saat ini tengah berbunga. Bunganya bewarna merah muda. Dan itu yang membuat bangunannya tampak lebih hidup.
"Selamat pagi, Tuan Muda Davis," sapa seorang pria muda berkacamata yang berdiri di belakang seorang pria paruh baya yang memakai jas formal begitu kami sudah sampai di depan pintu masuk.
"Selamat pagi, Tuan Davis!" Barulah sang pria paruh baya itu menyapanya dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. Pria itu tampak ramah. Dan tepat di sebelahnya berdiri seorang wanita muda yang memakai gaun sebatas lutut bewarna coklat pastel. Wanita itu merangkul pergelangan tangan pria yang ada di sampingnya.
"Dan ini ...."
Pria itu melihat ke arahku, begitupula dengan wanita yang berdiri di sebelahnya. Sedangkan pria berkacamata itu tampak acuh tak acuh.
Sebelum menjawab, aku menatap Andrew dan melihatnya memberikan isyarat dengan menganggukkan kepala beberapa kali.
"Nama saya Stella. Stella Aleena Evans. Senang bertemu dengan Anda!"
Wanita itu menyambut uluran tanganku dengan wajah bersahabat.
"Saya Violet Graham, dan ini—suami saya."
A-apa? Pria itu suaminya? Apa aku tidak salah dengar?
Yang benar saja? Pria itu terlihat sudah tua. Meskipun rambutnya tidak beruban, tapi aku dapat melihat kerutan samar di dekat sudut matanya.
Pria itu tersenyum padaku dan ikut mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu, Nona Evans. Saya Noah Graham. Jadi ..., Apakah Nona dan Tuan Davis adalah—"
Violet Graham tertawa kecil. "Hah, tentu saja Nona Evans adalah pacarnya! Gadis ini begitu cantik, tidak heran menjadi kekasih Tuan Davis." Violet Graham tertawa kecil sembari mengangkat tangannya.
...CHAPTER END...
tapi sukaaa.. gimana dong..
boleh banyak2 dong up nya..
/Kiss//Kiss/
saran aja nih.. kalau buat cerita misteri, updatenya sehari 3 x.. supaya pembacanya ga kentang.. /Chuckle//Kiss/