Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 12
Senyum lebar Zura perlihatkan. Tangannya juga tak lupa memberikan isyarat pada kedua pengawalnya untuk melepaskan tante juga sepupunya itu.
"Ingat, tante. Jangan permainkan aku lagi sekarang. Karena aku yang sekarang, bukan aku yang dulu yang bisa tante bohongi. Satu minggu lagi, aku akan kembali. Rumah itu harus sudah kembali ke tanganku ketika aku datang satu minggu lagi."
"Sekarang. Bereskan barang-barang pamanku atau barang-barang kalian yang akan aku bereskan. Kalian tinggal pilih yang mana yang kalian inginkan."
"Baiklah. Baik. Aku akan bereskan barang-barang pamanmu yang tidak berharga itu."
"Tidak berharga menurut tante, tapi sangat berharga menurut aku."
"Lakukan dengan cepat! Jangan buat aku berubah pikiran."
Dengan wajah yang sangat kesal, mama Mirna meninggalkan ruang tamu rumahnya menuju kamar. Sedangkan Mirna mengikuti dia dari belakang.
Niatnya, Mirna akan menghubungi Reno untuk meminta bantuan. Tapi nyatanya, Zura tidak mengizinkan Mirna melakukan hal tersebut. Karena Zura sudah cukup hafal siapa tante juga sepupunya ini.
"Mirna! Kamu tetap saja di sini. Jangan buat aku semakin kesal padamu."
"Apa maksud kamu, Zura? Kenapa kamu harus kesal padaku, ha? Seharusnya, aku yang kesal padamu karena kamu sudah menampar aku."
"Oh, kalau begitu, kau ingin aku tampar lagi sekarang? Boleh. Tinggal aku suruh saja dua temanku itu melakukannya lagi untuk yang kali ini. Aku tidak perlu turun tangan."
Mirna melihat ke arah dua pria yang saat ini sedang berdiri tak jauh darinya. Ia langsung meneguk saliva dengan susah payah. Rasa ngeri menyelinap ke dalam hatinya. Jangankan tangan kekar itu yang memberikan tamparan. Tangan mulus Zura saja sangat sakit rasanya. Bahkan, rasa sakit akibat bekas tamparan itu saja masih terasa hingga detik ini.
'Kurang ajar kamu, Azzura. Tunggu dan lihat saja nanti. Aku akan pastikan kamu tidak akan pernah bisa lolos dariku. Akan aku kembalikan padamu tamparan ini berkali-kali lipat. Dasar perempuan yang dibuang suami belum genap satu menit berstatus sebagai istri. Siapa yang tertarik padamu dengan statusmu itu. Cih!' Mirna berkata dalam hati sambil menahan perasaan kesal.
Beberapa saat menunggu, akhirnya muncul juga mama Mirna dengan koper kecil di tangannya. Dia menyerahkan koper itu dengan malas.
"Itu semua barang-barang pamanmu. Harusnya, jika kami benar-benar sudah jadi orang kaya, tidak perlu mengambil barang-barang rongsokan ini, bukan? Tinggal beli yang baru saja apa susahnya."
Zura langsung bangun dari duduknya.
"Terima kasih, tante. Tapi sepertinya, aku tidak membutuhkan kata-kata tante barusan itu untuk menasehati ku. Karena kelak, aku tidak ingin sedikitpun milik paman tertinggal di tempat yang tidak jelas seperti kalian ini."
Membulat mata mama Mirna mendengar perkataan Zura. Tapi sepertinya, Zura sama sekali tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia langsung mengajak dua anak buahnya itu pergi meninggalkan rumah si paman.
Ibu dan anak itu terus menatap kepergian Zura. Rasa kesal tentu saja tidak bisa mereka hilangkan. Setelah Zura memasuki mobil mewah miliknya, ibu dan anak itu tidak bisa menahan lagi.
"Benar-benar kurang ajar itu si Zura. Ssshhh ... sakit sekali wajahku, Ma."
"Iya. Mama tahu. Kamu harus segera menghubungi Reno untuk mengadukan semua yang terjadi hari ini padanya. Minta dia membantu kamu untuk menyelidiki latar belakang Zura sekarang. Dengan begitu, kita akan mudah untuk membalas perlakuannya hari ini, Mirna."
"Tentu saja, Ma. Aku yakin, Zura pasti sudah menjadi simpanan pria tajir sekarang. Jika tidak, dari mana ia dapatkan uang untuk membayar pria kekar yang begitu kasar padaku tadi. Dan juga, dari mana juga uang yang ia dapatkan untuk merawat dirinya sehingga bisa sangat cantik seperti sekarang."
Dengan tidak ia sadari, Mirna baru saja mengakui kalau sekarang, Zura adalah wanita yang sempurna. Wanita yang punya kecantikan melebihi dirinya. Rasa iri yang dulunya sempat menghilang, kini malah datang kembali.
Mirna pun langsung menghubungi tuan muda Sanjaya yang kini sudah menjadi tunangannya. Sementara itu, Zura yang saat ini ada di dalam mobil malah terdiam memikirkan apa yang saat ini telah terjadi.
Sebenarnya, hati Zura merasa tidak enak karena telah memukul Mirna. Tapi bagaimanapun, Mirna memang harus diberikan pelajaran. Jika tidak, mamanya juga tidak akan menganggap indah ancaman yang Zura berikan.
Mobil bergerak, tanpa sengaja, di jalanan itu pula mobil Zura dan mobil Angga berpas-pasan. Angga yang sedang memperhatikan jalan yang ia lewati langsung melihat Zura yang ada di kursi penumpang. Sayangnya, dia hanya melihat sekilas saja. Hatinya pun tidak yakin kalau yang ia lihat adalah Zura.
"Dia .... "
"Ada apa, tuan muda?"
"Tidak ada. Hanya salah lihat saja."
"Oh. Saya pikir melihat sesuatu yang sangat penting."
"Tidak."
"Oh iya, tuan muda. Menurut informasi yang saya terima, tuan muda Iyan malah sudah bertemu dengan asisten desainer Yura sekarang."
"Apa! Bagaimana mungkin?"
"Asisten desainer Yura sedang mengadakan pertemuan kemarin. Saya minta maaf, tuan muda. Saya sangat menyesal karena telah melewatkan hal penting ini dari informasi yang saya terima."
Hembusan napas berat langsung terdengar dari mulut Angga. "Tidak apa-apa. Cari tahu informasi yang lebih akurat sekarang, Adya. Kita membutuhkan kerja sama dengan desainer Yura jika ingin berhasil di luar negeri. Karena desainer Yura adalah gerbang utama untuk kita memasuki pasar global."
"Saya mengerti, tuan muda. Dua minggu lagi adalah pameran utama Hani Adinda di kota S. Menurut info yang sama terima, sebagian dari pameran Hani Adinda nanti adalah karya desainer Yura. Sudah bisa dipastikan kalau desainer Yura ada di pameran tersebut, Tuan muda."
"Itu adalah hal bagus, Adya. Kita akan pergi ke pameran itu nanti."
"Sayangnya, kita ada sedikit masalah, tuan muda."
"Masalah? Masalah apa?"
"Setiap pameran, Hani Adinda tidak pernah melayangkan surat undangan pada Anggara Grup, tuan muda."
"Apa? Maksudnya bagaimana? Apa mungkin karena kita adalah perusahaan terbesar yang ada di kota yang berbeda? Karena itu kita tidak pernah menerima surat undangan dari butik terkenal seperti Hani Adinda, Adya?"
"Tunggu! Hani Adinda itu adalah butik terkenal yang ada di kota S bukan? Butik yang pernah aku ajak kerja sama dua tahun yang lalu, tapi dia menolaknya dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal."
Angga baru menyadarinya sekarang. Dia pernah mengajak butik terkenal itu untuk bekerja sama dengan kontrak yang sangat menguntungkan. Sayangnya, ajakan itu malah langsung di tolak oleh si pemilik butik tanpa pertimbangan.
"Ya ... itulah masalahnya, Tuan muda. Entah apa yang salah dengan Hani Adinda, kita selalu mereka abaikan. Bahkan, saat orang lain menerima undangan untuk pameran, kita malah tidak menerima satu kali pun. Padahal, kita adalah perusahaan terbesar yang tidak seharusnya mereka abaikan. Sementara perusahaan kecil lainnya, selalu menerima undangan dari mereka."