Di usia yang seharusnya dipenuhi mimpi dan tawa, Nayla justru memikul beban yang berat. Mahasiswi semester akhir ini harus membagi waktunya antara tugas kuliah, pekerjaan sampingan, dan merawat kedua orang tuanya yang sakit. Sang ibu terbaring lemah karena stroke, sementara sang ayah tak lagi mampu bekerja.
Nayla hanya memiliki seorang adik laki-laki, Raka, yang berusia 16 tahun. Demi mendukung kakaknya menyelesaikan kuliah, Raka rela berhenti sekolah dan mengambil alih tanggung jawab merawat kedua orang tua mereka. Namun, beban finansial tetap berada di pundak Nayla, sementara kedua kakak laki-lakinya memilih untuk lepas tangan.
Di tengah gelapnya ujian hidup, Nayla dan Raka berusaha menjadi pelita bagi satu sama lain. Akankah mereka mampu bertahan dan menemukan secercah cahaya di ujung jalan yang penuh cobaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askara Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan yang Harus di Tempuh
Pagi itu, Nayla sedang menyiapkan sarapan untuk ibunya ketika ponselnya berbunyi. Ia melihat nomor yang tidak dikenalnya muncul di layar. Dengan perasaan agak bingung, Nayla mengangkat telepon tersebut.
"Halo?" Suara Nayla terdengar ragu.
"Selamat pagi, Nayla. Ini saya, Isma, istri Arsad," jawab suara di ujung sana. “Apa kabar?”
Nayla terdiam sejenak. Isma? Istri kak Arsad? Ia tidak menyangka bahwa kak Isma, yang selama ini jarang berhubungan dengannya, akan menghubunginya pagi-pagi seperti ini. Mungkin ada sesuatu yang ingin disampaikan.
“Ada apa, kak Isma?” Nayla mencoba terdengar ramah meski hati sedikit terkejut.
“Saya hanya ingin mengabari, Nayla.kak Arsad bilang kalau ibu dan ayah sedang lebih baik, tapi saya belum sempat menjenguk mereka. Bagaimana kabarnya?” suara kak Isma terdengar agak datar, seolah tidak ada urgensi dalam pertanyaan itu.
Nayla menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa hubungan antara Isma dan keluarganya tidak pernah terlalu dekat. Bahkan, selama ini, Isma sering menunjukkan sikap yang seakan-akan tidak peduli dengan keadaan orang tuanya kak Arsad. Kabar ini, meskipun sederhana, membuat Nayla merasa canggung.
“Ibu sudah bisa duduk sendiri, kak Isma. Sedikit lebih baik. Ayah juga masih di rumah, meski dia belum bisa bekerja,” jawab Nayla, mencoba memberi informasi yang jelas.
“Syukurlah, berarti keadaan mereka sudah lebih baik,” ujar kak Isma, terdengar lega, namun kemudian ada jeda panjang sebelum dia melanjutkan, “Tapi saya tidak bisa datang ke rumah Nayla. Saya ada banyak urusan yang harus diselesaikan di sini. Mungkin nanti saja.”
Nayla menahan napas, mencoba untuk tetap sabar meskipun perkataan kak Isma menyakitinya. Ia tahu betul bahwa kak Isma lebih memilih untuk tidak terlibat dalam masalah keluarga kak Arsad, apalagi dengan keadaan orang tuanya yang sedang sakit. Mungkin kak Isma merasa bahwa itu bukan tanggung jawabnya.
“Tidak masalah, kak Isma. Kami mengerti. Terima kasih sudah menanyakan,” jawab Nayla, suara terdengar datar, meskipun ada perasaan kecewa yang tak bisa disembunyikan.
Setelah percakapan yang terkesan canggung itu berakhir, Nayla menatap ponselnya sejenak. Ada rasa kecewa yang menggelayuti hatinya. Kenapa kak Isma sepertinya begitu enggan untuk peduli? Padahal, ibu dan ayah kak Arsad juga orang tuanya. Kenapa tidak ada rasa empati untuk mereka yang sedang berjuang?
Nayla melanjutkan aktivitasnya, mengurus ibunya dan memastikan semuanya berjalan seperti biasa. Namun, dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan. kak Isma, istri kak Arsad, adalah bagian dari keluarga, tetapi kenyataannya, ia tidak pernah benar-benar merasa bagian dari mereka. Sikapnya yang acuh tak acuh terhadap orang tuanya kak Arsad semakin memperlihatkan ketidakterlibatan yang ia pilih. Bagi Nayla, ini adalah kenyataan yang pahit untuk diterima.
Pagi itu, Nayla tidak sempat menceritakan percakapan dengan kak Isma kepada Raka. Raka yang sedang belajar di ruang lain tidak tahu apa yang terjadi. Nayla tidak ingin menambah beban pikirannya, apalagi dengan semua perjuangan yang mereka jalani saat ini.
Malam harinya, ketika Raka pulang dan menyempatkan diri untuk membantu merawat ibu, Nayla duduk di depan meja belajar. Ia merasakan kelelahan yang semakin terasa, baik secara fisik maupun emosional. Dalam setiap langkahnya, ia selalu berusaha menyembunyikan rasa lelah itu dari adiknya. Raka masih muda dan penuh semangat, dan Nayla tidak ingin membuatnya khawatir.
Pikiran tentang kak Isma, istri kak Arsad, kembali menghantui Nayla. Meskipun ia tahu bahwa tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah sikap kak Isma, Nayla tetap merasa kecewa. kak Isma, yang seharusnya bisa menjadi bagian dari perjuangan keluarga mereka, justru memilih untuk menjauh. Ia merasa bahwa, mungkin, kak Arsad sendiri yang bisa membuat perubahan, tetapi kak Arsad terlalu terperangkap dalam kehidupannya sendiri, tidak tahu bagaimana cara menolong keluarganya.
Nayla mendesah panjang, mengerutkan alisnya. Ia tidak bisa terus-terusan bergantung pada orang lain, apalagi dengan keadaan yang serba terbatas ini. Baginya, hanya ada satu pilihan yang harus dijalani: terus berjuang, meskipun tanpa banyak bantuan dari orang lain.
Di tengah kebingungannya, ia merasa semakin sadar bahwa perjuangannya harus dilakukan dengan penuh keteguhan hati. Bahkan jika harus berjalan sendiri, ia akan terus berusaha sekuat tenaga untuk memastikan ibunya mendapatkan perawatan yang dibutuhkan dan agar Raka dapat melanjutkan pendidikannya.
Dengan pikiran itu, Nayla kembali merapikan meja belajarnya, mempersiapkan diri untuk esok yang masih penuh dengan tantangan. Meskipun perasaan kecewa terhadap kak Isma terus mengganggu pikirannya, Nayla tahu bahwa ia harus tetap fokus pada apa yang paling penting: keluarganya. Mereka adalah satu-satunya yang bisa ia andalkan.
“Ini untuk ibu,ayah, untuk Raka, untuk keluarga,” Nayla berbisik pada dirinya sendiri. “Aku akan terus berjuang, tidak peduli apa yang terjadi.”