Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Arumi kebingungan ketika tengah melihat Album sang pemilik masuk ke kamar. Hingga benda tersebut jatuh ke lantai. Namun, Arumi cepat-cepat mengangkat lalu meletakkan ke tempat semula.
"Kenapa kamu?" Davin mengerutkan kening ketika Arumi nampak gugup dan gelisah.
"Nggak apa-apa, Bapak darimana?" Arumi mengalihkan pertanyaan.
Davin meletakkan bokongnya di sofa yang sama dengan Arumi, tidak sengaja tatapannya tertuju pada album yang berantakan.
"Waduh... aku naronya berantakan lagi" batin Arumi takut Davin tahu jika ia melihat Album itu dan akhirnya mengaum seperti Harimau.
"Dari ruang kerja" Davin mendorong Album dengan jempol kaki hingga posisinya pas.
Arumi lega ternyata Davin tidak curiga, walaupun berdecak karena tidak sopan mendorong album menggunakan kaki.
"Adel tidur ya" Davin menoleh ke arah Arumi yang hanya mengangguk.
"Pak"
"Heemm..."
"Kok Malika nggak ikut Mama?" Arumi risau ingat ucapkan Malika baru saja.
"Tidak mau Dia" Davin menjelaskan jika Malika itu saudara Rose tentu tidak mau ikut menjenguk saudara Xanders. "Kenapa memang" Davin menangkap ada kegelisahan di hati Rumi.
"Nggak apa-apa kok" Arumi tidak mau cerita untuk saat ini.
"Kalau Lika berkata yang tidak enak kamu dengar, abaikan saja" Davin rupanya bijak juga.
"Tentu saja, kalau Malika yang berkata ketus saya bisa maklum, Pak" Arumi pura-pura tidak masalah dengan ucapan Malika, walaupun sebenarnya mengganggu pikirannya. "Tapi kalau Bapak yang mengaum seperti Harimau, itu, yang membuat saya pengen..." Arumi mengangkat tangan, sepuluh jarinya ia tekuk seperti ingin mencakar.
"Coba cakar wajah saya kalau berani" Davin menggeser duduknya hingga nempel di tubuh Arumi.
"Ayo cakar" Davin mendekatkan wajahnya ke pipi Arumi.
Dada Arumi bedebar-debar ketika melirik wajah Davin sedekat itu. Ia lalu menjauhkan tubuhnya dengan cara menggeser bokong hingga mentok dipinggir sofa. "Bapak mau apa..." Arumi merinding ketika lengan Davin melingkar di pundak.
"Mau apa ya? Sekarang kamu pikir saja, apa yang biasanya suami istri lakukan?" Davin mengulum senyum.
Wajah Arumi merah, entah mengapa hati sekeras batu itu lumer hanya karena senyum Davin yang selama ini tidak pernah ditunjukkan kepadanya.
"Iiihh... Bapak" Arumi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Sampai kapan kamu mau panggil saya Bapak? Sudah tiga hari loh kamu menjadi istri saya" Davin membuka telapak tangan Arumi hingga terbuka.
"Terus... saya harus panggil apa?" Rumi bingung, lidahnya terasa kelu untuk merubah panggilan.
"Banyaklah. Mas, Abang, atau... Ayang" Davin terkekeh.
"Nggak mau. Abang untuk Derman, Mas untuk Yudha, kalau Ayang... Dih, lebai amat" Arumi merasa panggilan itu terlalu manja, padahal Arumi jauh dari kata manja.
Tidak ada jawaban dari Davin, kedua tangannya memutar pundak Rumi hingga berhadapan. Pria yang sudah dua tahun tidak pernah menyentuh wanita itu pada akhirnya tidak tahan lalu melahap bibir wanita yang sudah halal itu.
"Eemm... eemm..." Arumi menggerakkan kepala ingin melepas bibirnya tetapi Davin semakin ganas. Namun, Davin butuh bernapas akhirnya melepas bibir Arumi yang sudah jontor.
"Untuk siang ini icip-icip dulu ya, makan besarnya nanti malam" Davin lagi-lagi terkekeh, Namun, ia harus terima resiko untuk menenangkan Juniornya yang sudah siap bertarung.
Arumi hanya bengong sambil memegang bibirnya yang tebal. Tidak terpikirkan olehnya jika ia akan merasakan sensasi berbeda ketika Davin melakukan hal yang selama ini belum pernah Arumi lakukan.
"Sudah... jangan bengong" Davin meraup wajah Arumi sebelum ke kamar mandi.
Siang itu keduanya merasa lapar lantas bersama-sama keluar dari kamar menuju meja makan.
Mereka tidak tahu jika di waktu yang sama, Malika memperhatikan dari jendela kamar sebelah. Hatinya merasa panas melihat Davin tengah tersenyum melirik Arumi.
Begitu Arumi dengan Davin duduk bersama di kursi meja makan, Malika pun menyusul.
"Kenapa kamu duduk di sini Rumi? Oh iya, kamu kan orang baru di sini, jadi belum tahu ya, kalau kursi ini biasanya saya yang pakai" Malika tiba-tiba sudah berada di belakang Rumi setengah mengusir.
"Oh... Maaf, saya tidak tahu" Arumi yang duduk di sebelah Davin memilih pindah daripada ribut-ribut.
Davin ingin membuka mulut, tapi urung karena bibi meletakkan lauk di meja makan.
"Terimakasih Bi" Arumi tersenyum.
"Sama-sama Non"
Arumi ambil piring hendak menyedok nasi untuk Davin, tetapi Malika menyerobot centong dari tangannya.
"Biasanya saya yang melayani Davin" ketus Malika padahal tidak.
Arumi duduk kembali memandangi Malika yang menyendok beberapa menu lalu meletakkan di depan Davin.
"Biar saya ambil sendiri Lika" Davin menggeser piring yang sudah penuh ke depan Malika, kemudian ambil makan untuk dirinya sendiri.
Arumi tersenyum tetapi pura-pura menoleh ke belakang, khawatir senyumnya itu disangka meledek Lika.
Malika merengut kesal menatap Arumi. "Ini gara-gara kamu, Davin jadi tidak mau disiapkan makan" Malika tentu hanya membatin.
Mereka lantas makan siang dalam diam, sesekali Malika melirik sinis ke wajah Arumi. Arumi bukan tidak tahu itu, tetapi dia tidak mau meladeni.
Malam harinya di ruang keluarga, Davin dengan Arumi sedang senggol-senggolan, cubit-cubitan. Suami istri itu pacaran setelah menikah.
"Mama... Adel ngantuk..." rengek Adel matanya sudah kecil nampak sudah mengantuk.
"Sebentar ya... Mama bikin susu dulu" Arumi ke dapur membuat susu.
Davin tersenyum menatap Arumi yang sedang mengocok susu dalam botol, lalu beralih memandangi Adel. Ia bersyukur rupanya Arumi menyayangi putrinya dengan tulus.
Arumi menemani Adeline ke kamar, sementara Davin ke ruang kerja dulu akan mengecek pekerjaan yang sudah dua minggu ia abaikan.
Satu jam sudah ia berada di ruang kerja. Untuk mengusir kantuk, Davin ingin minum kopi. "Minta dibuatkan kopi Arumi, ah" gumamnya lalu ambil handphone menekan nomor tersebut. Namun, tidak diangkat, Davin tidak melanjutkan panggilan karena ia pikir Arumi sudah tidur.
Jelas tidak diangkat karena hape Arumi ada di kamar Davin. Davin terpaksa pesan Yanti agar membuat kopi.
Di dapur.
"Mau buat apa kamu Yan?" Tanya Malika ketika Yanti tengah mengeluarkan cangkir dari kitchen set.
"Tuan Davin minta dibuatkan kopi Non" Yanti menjawab sopan lalu meracik kopi tanpa gula ke dalam gelas. Begitulah kebiasaan Davin jika hendak minum kopi malam hari memilih yang pahit.
"Saya juga mau Yan, aromanya wangi. Tapi tolong ambil kopi less sugar di atas meja kamar saya ya"
"Baik Non" Yanti meninggalkan kopi Davin yang belum dia beri air panas. "Kok tumben ya, Non Lika menyuruh dengan kata-kata sopan. Biasanya kalau nyuruh sambil membentak" gumam Yanti sambil berjalan ke kamar mencari kopi seperti yang Malika perintahkan.
Sementara Malika yang masih di dapur, memasukkan sesuatu ke dalam kopi Davin entah apa itu hanya dia yang tahu. Begitu mendengar langkah kaki Yanti, ia cepat-cepat ambil cangkir yang sama.
Yanti memandangi kopi bubuk dalam cangkir itu sepertinya berbeda. "Kok perasaan lebih banyak ya" batin Yanti.
"Kok kamu lihatin terus Yan, cepat tuangi air, Tuan kamu pasti menunggu" Malika tidak mau Yanti curiga.
"Eh iya Non" Tanpa berpikir lagi Yanti menuang air panas ke dalam cangkir lalu mengaduk-aduk.
"Saya buatan sekalian Non" ucap Yanti ketika Malika tengah menuang kopi
"Tidak usah, antar saja kopi Kak Davin"
Yanti mengangguk santun lalu ke ruang kerja tuan muda sambil membawa nampan.
Malika memandangi Yanti yang sudah masuk ke ruang kerja. "Yess..." Lika tersenyum.
...~Bersambung~...