Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Di tengah perjalanan, ponsel Quin kembali bergetar. Ia pun menepi sejenak di bahu jalan.
"Papa," ucapnya lirih sesaat setelah menatap layar ponsel. "Ya, hallo, Pah."
"Quin, mampirlah sebentar ke rumah. Ada yang ingin papa bahas denganmu."
"Besok saja Pah," tolak Quin.
"Quin, bisa nggak sekali saja kamu nggak membantah," kata Pak Pranata.
'Bagaimana aku nggak membantah karena papa hanya mementingkan diri sendiri,' batin Quin kesal.
"Quin?" panggil Pak Pranata, karena sang putri hanya diam.
"Baiklah, aku akan ke sana sekarang," sahut Quin kemudian memutuskan panggilan telefon.
.
.
.
Setibanya di kediaman Pak Pranata, Quin menghela nafas. Sesaat setelah masuk ke dalam rumah, ia memutar bola matanya malas.
Kesal memandangi Angga serta benci menatap ibu sambungnya.
"Quin, kemarilah, Nak," pinta bu Fitri kemudian beranjak dari sofa sekaligus ingin memeluknya.
Bukannya menyambut baik, Quin malah mengabaikan wanita paruh Bayah itu seraya berkata, "Jangan pernah memanggilku, Nak. Karena aku bukan putrimu."
"Quin, jangan bersikap tidak sopan pada Mamamu," tegur Pak Pranata.
"What?! Mama? No ... dia bukan mamaku melainkan orang asing!" sahut Quin dengan ketus lalu duduk di samping Angga.
Mendengar ucapan tak bersahabat dari sang putri. Pak Pranata hanya bisa menghela nafas kecewa.
Sedangkan Bu Fitri merasa sangat kesal mendengar ucapan ketus Quin. Bukan tanpa alasan, sejak menikah dengan Pak Pranata, Quin dan Arjuna sangat membencinya.
"So ... ada apa Papa memanggilku kemari?" tanya Quin to the poin.
"Quin, apa benar kamu ingin mengakhiri pertunanganmu dengan Angga?"
Quin melirik Angga sekilas disertai senyum sinis. Ia pun menjawab, "Rupanya dia sudah mengadu lebih dulu. Iya, aku ingin mengakhiri saja pertunangan ini sekaligus membatalkan pernikahan kami."
"Sayang, kamu!" Angga seketika menjadi kesal.
"Tapi, kenapa dan apa alasannya?!" cecar Pak Pranata.
"Nggak apa-apa. Aku merasa sudah nggak memiliki rasa kepada Angga," celetuk Quin.
"Sayang, kamu ngomong apa sih?!" ucap Angga kesal. "Please jangan seperti ini. Aku mohon beri aku kesempatan jika aku memang bersalah kepadamu."
Quin tak menanggapi melainkan tampak berpikir. Sedangkan Angga terus menatap gadis itu. Menarik jemari sang tunangan lalu menggenggam erat.
"Quin, Angga, jika kalian memang sedang bermasalah, maka bicarakan secara baik-baik. Sangat disayangkan jika kalian tidak jadi menikah," tutur Pak Pranata dengan lirih sekaligus menasehati Quin juga Angga.
Quin bergeming sembari memandang jemarinya yang digenggam oleh Angga. Perlahan ia lepas kemudian beranjak dari sofa.
Keheningan seketika tercipta. Sebelum akhirnya Quin membuka suara. "Maaf, sebaiknya aku pulang saja. Lagian aku juga sangat lelah."
"Quin, sebaiknya kamu menginap saja, Nak. Sudah lama kamu nggak menginap di rumah ini," tawar Pak Pranata penuh harap.
"Next time saja, Pah. Angga, aku duluan," pamit Quin kemudian menghampiri sang ayah lalu menyalaminya. Setelah itu, ia berlalu begitu saja mengabaikan Bu Fitri juga Angga.
'Anak ini benar-benar, ya! Semakin hari sikapnya semakin tidak sopan kepadaku!'
"Om, Tante, aku juga pamit," izin Angga kemudian menyusul Quin.
Begitu Quin berada di bingkai pintu, ia berpapasan dengan Kinara yang baru saja akan masuk.
"Loh, Quin, sudah mau pulang?"
"Menurutmu!" balas Quin ketus lalu meninggalkan saudara tirinya itu.
"Angga," sebut Kinara saat Angga tiba-tiba muncul.
Akan tetapi, pria itu tak menggubris. Ia malah mempercepat langkah menyusul Quin. Namun, sudah terlambat karena kendaraan gadis itu sudah menjauh dari garasi mobil.
.
.
.
Setibanya di apartement, Quin langsung masuk ke kamar. Merebahkan tubuhnya ke atas ranjang sembari menatap langit-langit.
"Oh God," gumam Quin lirih sembari memejamkan mata.
.
.
.
Kediaman Damar ....
Ucapan menohok Quin sore tadi masih saja terngiang-ngiang di telinga Damar.
"Sepertinya dia tipe wanita yang setia," gumam Damar.
"Den Damar, makan malamnya sudah saya siapkan," kata Yuni.
"Terima kasih, Bik. Oh ya, tolong rapikan kamar sebelah ya, Bik," pinta Damar.
"Apa akan ada tamu, Den?'' tanya Bik Yuni.
"Ya, Bik. Bukan sekedar tamu melainkan dia asisten pribadiku sekaligus akan tinggal bersama kita selama 101 hari," jelas Damar.
Meski penasaran, namun Bik Yuni tak berani menanyakan lebih lanjut.
"Bik, selama asisten pribadiku tinggal di sini, tolong perlakukan serta layani dia sebaik mungkin," pesan Damar. Bi Yuni mengangguk lalu meninggalkan Damar.
Sepeninggal Bik Yuni, senyum seketika terlukis manis di wajah pria brewok itu. Tak lama berselang Sofia menyapa.
"Mikirin apa sih? Kelihatannya bahagia banget."
"Kepo," ucap Damar lalu menggerakkan tuas kursi rodanya.
"Kepo dikit nggak apa-apa kan," sahut Sofia sembari tergelak.
"Ada apa kamu kemari?" tanya Damar.
"Nggak apa-apa, hanya ingin menjenguk kakak saja," jawab Sofia.
...----------------...