Camaraderie berarti rasa saling percaya dan persahabatan diantara orang-orang yang menghabiskan banyak waktu bersama.
Seperti halnya dengan dua anak manusia yang bertemu dan berteman sejak mereka kecil, namun karena tuntutan pekerjaan orang tua, mereka harus terpisah.
Mereka percaya bahwa dikemudian hari mereka akan bertemu dan bersama kembali, entah sebagai teman bermain seperti dulu atau sebagai teman hidup di masa depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon firefly99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cubitan Maut
Jam 9 pagi di hari Sabtu pada pekan kedua, Aruna dan Air benar-benar berkunjung ke rumah dinas Altair. Seperti biasa, mereka harus melalui tahapan pemeriksaan sebelum diizinkan masuk ke area batalyon.
"Lho, maaf kak, tadi lupa ngecek ponsel." ringis Ale saat mendengar cerita Aruna.
Dimana ketiga lelaki lainnya? Mereka bertiga sedang ke danau untuk memancing. Entah bagaimana hasilnya nanti.
"Gak apa-apa. Gak lama kok. Pas kakak sebut namanya om Altair dan memperlihatkan foto lama kita, langsung diizinkan." ujar Aruna.
"Bisa kan kerja sagunya? Sisa di pisah-pisah saja."
"Bisa, ma"
"Bisa Tante."
Ara mengerjakan yang lain, membiarkan dua gadis di depannya mengeksplor dapur.
"Mbak, mau dipakein mangga gak?" tanya Ale.
"Boleh " Aruna mengangguk saja.
Menuju jadwal makan siang, kapurung nya jadi. Mereka makan di teras belakang rumah dinas di atas bentangan tikar.
✨✨✨
Keesokan harinya, Ale dijemput oleh Air di rumah dinas.
"Hati-hati yah Air bawa mobilnya." pesan Ara.
Kemarin, Aruna gak sengaja membahas tentang Air yang minta tinggal di apartemen dan belum pindahan. Jadilah Ale diminta oleh Ara untuk ikut membantu.
"Siap, Tante." Air lalu mencium punggung tangan Ara.
"Kak, jangan repotin kak Air dan Mbak Aruna." pesan Ara kepada anaknya.
"Mama ih, kayak kakak suka ngerepotin aja." rengek Ale.
Ara terkekeh.
"Canda, sayang. Sana gih!" usir Ara.
"Mama gak apa-apa sendirian?" tanya Ale, entah sudah yang ke berapa kali.
"Kan mama sudah bilang, nanti siang ada kegiatan di aula. Mungkin sampai sore juga."
"Oce mamaku. Kakak pergi dulu." Ale mencium pipi mamanya sebanyak dua kali sebelum naik ke mobil Air.
Melihat Ale sudah duduk di sebelahnya, barulah Air menyalakan mesin mobilnya. Ia tak lupa pamit kepada Ara lagi dengan cara membunyikan klakson mobilnya.
"Kak Air udah ada SIM kan?" tanya Ale.
"Udah, Sha. Legal kok ini" jawab Air sekenanya.
"Ya kan antisipasi, kak. Jangan sampai nanti ada sweeping." ujar Ale.
Ada jeda selama beberapa menit sebelum Air bertanya,
"Jadi kamu benaran patah hati?"
"Ih, kak" Ale mencubit pelan lengan Air.
Air terkekeh.
"Jangan dibahas, dong. Aku tuh malu." jujur Ale.
"Lagian sih, masih bocil udah suka orang aja. Belajar yang bener dulu lah ."
"Kak Air ceramah nih ceritanya?"
"Nggak, Sha. Cuma yah, kamu kan sudah seperti adik saya, jadi mesti dibilangin."
"Iya iya, gak lagi. Sekarang belajar dulu yang baik, terus bikin bangga mama papa." janji Ale.
"Terus?"
"Terus lulus sekolah, kuliah deh, cari kerja."
"Terus?"
"Gak ada terusnya ih." Ale kembali mencubit lengan Air.
"Sakit astaga " Air menahan tangan Ale menggunakan sebelah tangannya.
"Dih, yang bener nyetir nya kak." Ale memperingati.
"Bener ini." Air bahkan membawa tangan Ale ke mana saja saat diperlukan, seperti ke steering wheel dan juga tuas transmisi.
"Dih, modus yah?" Ale menggoda Air.
"Daripada sama Gentayangan, lebih baik sama saya. Gitukan kata Aric kemarin?"
"Dih." Ale mencebikkan bibirnya.
Air terkekeh. Ia lalu melepaskan tangan Ale, meletakkannya di atas dashboard dengan sangat pelan.
"Sorry, tadi cuma bercanda." ucap Air cepat, ia takut Ale merasa canggung.
Ale mengangkat kedua bahunya acuh. Air kan sudah seperti kakaknya, kenapa juga harus canggung.
"Kak, bentar. Cahaya ilahi nya lagi bagus banget. Mau foto dulu " ucap Ale saat melihat Air sudah hendak turun dari mobilnya.
"Oke." Air kembali duduk dan membiarkan Ale foto sesuka hatinya.
"Sunroof nya estetik. Kakak modif dimana? Mau minta mama juga untuk modif mobilnya."
"Gak usah, Sha. Kalau mau, nanti pakai mobil ini lagi."
"Boleh emang?"
Air mengangguk.
Ale tersenyum senang.
"Mau foto bareng gak?" tanya Ale.
"Boleh, demi si bocil "
"Dih, udah besar juga"
"mau foto gak nih?" tanya Air.
"Ayo!" Ale mengarahkan kamera ponselnya ke wajahnya dan juga wajah Air.
"Kak Air bisa senyum gak sih? Gak papa, gak Al, semuanya pada gak bisa senyum." oceh Ale.
"Ini lagi senyum." ucap Air. Senyumnya memang sangat tipis.
"Yang lebar astaga. Ulang ulang "
Air menarik kedua sudut bibirnya, tapi tidak terlalu lebar. Tapi juga gak sedatar tadi raut wajahnya.
"Send yah, jangan lupa." ucap Air.
Ale mengangguk. Ia berjalan di sisi Air sambil memegang kaki baju lelaki itu. Kebiasaannya memang seperti itu saat bepergian. Altair, Al bahkan Aric sudah sangat hapal dengan kebiasaan kakaknya yang satu ini. Alih-alih memegang lengan, Ale lebih suka berpegangan pada kain baju. Kecuali saat bersama Ara, Ale biasanya akan menggandeng lengan mamanya.
"Apartment kak Air yang di gedung mana sih? Jauh banget parkir nya "
"Weekend begini, biasanya basemen penuh, Sha. Sorry kalau bikin kamu jalan jauh "
"Ya nggak apa-apa, udah biasa. Kan sejak kecil suka lari sama anggota papa."
Dari arah berlawanan, nampak sepasang kekasih sedang berjalan.
"Eh, Angga!" sapa Genta. Lelaki itu kebetulan sedang menggandeng tangan Nadya. Ya, jika di sekolah, keduanya bersikap seolah tidak memiliki hubungan apa-apa, namun jika di luar sekolah, barulah mereka bersikap mesra.
"Oit, Genta." sapa Air balik.
Jangan tanyakan bagaimana raut wajah Nadya, di wajahnya seolah tidak ada aliran darah, sangat pucat, apalagi saat melihat senyum Ale.
"Eh, A A-le." sapa Nadya yang sepertinya terlihat sangat gugup.
"Hai, kak." balas Ale dengan sangat tenang.
"Mau kemana, Ngga?" tanya Genta cepat, agar kegugupan kekasihnya tidak terlalu lama.
"Mau ke apartemen, bersih-bersih sih."
Ale menarik baju Air yang membuat lelaki itu menoleh.
"Ayo" ucap Ale pelan.
"Duluan yah." pamit Air. Ia meletakkan telapak tangannya yang lebar di atas kepala Ale, mengira jika perempuan itu kepanasan karena terik matahari.
"Genta, ini gimana?" tanya Nadya. Ia begitu panik. Ia tidak ingin ketenangannya di sekolah hilang karena Ale sudah mengetahui hubungannya dengan Genta.
"Jangan panik, Ai."
"Gimana gak panik coba? Kamu tahu sendiri kan gimana gilanya Ale? Dia bahkan gak tahu malu selalu nyamperin kamu ke kelas dan ngasih makan. Gak ada takutnya bahkan sama Tiara " Nadya jelas saja merasa panik, ia sendiri menjadi saksi bagaimana gilanya Ale belakangan ini agar mendapatkan feedback dari Genta.
"Ya iya sih. Tapi kamu tenang dulu. Ada aku kok. " Genta tentu saja berusaha menenangkan kekasihnya.
Sementara di dalam lift, Air menjadi korban keganasan Ale.
"Ampun, Sha. Gak akan lagi aku bahas Genta di depan kamu." mohon Air. Entah sudah berapa banyak cubitan yang ia terima hari ini dengan pelaku yang sama.
"Tadi aja ngakak keras ngetawain aku." judes Ale.
"Ampun yah, adek Alesha." rayu Air .
mksih ya kak jd ikut happy sama geng nya Alesha... 😍😍
kapan terbongkarnya ini kayaknya semakin seru 😁
Kapan nihh ale sama air nikah hehe 😂