Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hardi
Hardi ingin merampas uang tersebut dengan paksa. Tiba-tiba mbak Fhitry berteriak kencang. "Rampok, rampok,"
Teriakan wanita itu membuat para warga yang melintas dan juga berada disekitar kios berdatangan.
Mereka menyergap Hardi dan menghajarnya hingga babak belur. Saat bersamaan, polisi melintasi tempat kejadian dan melihat seseorang sedang dihajar massa.
Kehadiran polisi yang menggunakan sirene, membuat para masaa membubarkan diri dan memilih ngacir daripada harus menjadi saksi apalagi tersangka pengeroyokan.
Hardi mengalami luka-luka dan tangannya patah, wajahnya penuh lumuran darah, dan hampir saja ia metong jika tidak segera ditangani oleh polisi.
Hardi dibawa ke kantor polisi dengan wajah babak belur karena dihakimi massa yang mendengar teriakan rampok yang diucapkan oleh mbak Fhitry.
Setelah berhasil membuat Hardi tertangkap,Mbak Fhitry menutup kios dan ia membawa sisa dagangan ke rumah sakit untuk dimakan Naii dan juga Aliyah, sebab menjaga seseorang yang sedang sakit akan membutuhkan biaya yang sangat besar dan juga untuk makan serta minumnya.
Wanita itu mencari bangsal tempat dimana Naii menjaga Ahnaf yang sedang menjalani perawatan.
"Naii, ini uang dari dagangan tadi, dan ini sasa makanannya, sudah mbak angetin, biar gak basi," ucap Mbak Fhitry, "Mbak pulang dulu, ya. Sebab kang Jaya sudah menunggu mbak dirumah," wanita itu berpamitan untuk pulang, bahkan ia tidak ingin menceritakan kejadian Hardi yang berusaha merampas hasil dagangannya, sebab itu hanya akan membuat Naii semakin terbebani.
"Makasih, ya Mbak. ini lauknya dibawa separuh saja, biar Mbak gak repot masak lagi," Naii menyodorkan beberapa bungkus sisa lauk dan juga gorengan.
Mbak Fhitry mencoba menolaknya, tetapi Naii memohon agar wanita itu menerimanya, sebab ia merasa sungkan karena wanita itu terlalu banyak menolongnya.
Tak ingin membuat Naii sungkan, Mbak Fhitry mengambil sebungkus sisa gorengan dan beranjak pulang.
Naii menunggu seseorang yang tadi menjanjikan untuk mengurus biaya operasi untuk Ahnaf, yang mana akan ditanggung oleh pemerintah.
"Aku harus mencari penghasilan tambahan untuk biaya selama dirumah sakit," guman Naii dalam hatinya. Ia tak tahu usaha apa yang harus ia lakukan, sedangkan ia berada dirumah sakit.
Tiba-tiba ia mendapatkan ide, dan itu membuatnya sedikit merasa bahagia.
*****
Hari masih gelap. Naii sudah membersihkan Ahnaf dan mengganti pampersnya. "Ibu pulang sebentar, dan nanti kembali lagi," ucap Naii kepada putranya. Ia bergegas pulang dan memikirkan cara menghasilkan.
Naii mengolah bahan yang ada dilemari pendingin menjadi berbagai makanan dan gorengan. Ia akan membawanya kerumah sakit, dan menjualnya kepada keluarga pasien yang ada dibangsal bersamanya.
Dengan cekatan ia menggoreng pisang dan juga tempe beserta teman-teman gorengan lainnya. Ia tidak dapat membawa banyak, sebab ia harus segera tiba rumah sakit sebelum jam delapan pagi dan ini sudah ia pertimbangkan.
Sedikit meleset dari waktu yang ditentukan, ia akhirnya tiba dengan membawa keranjang kue dan juga kopi serta minuman lainnya. Ia mencoba menawarkannya kepada pihak security, dan beruntungnya mereka memperbolehkannya membawa dagangannya, yang terpenting tidak membuat sampah dan juga mengotori ruangan.
Ia menjajakannya kepada kelurga pasien dan petugas kesehatan yang ada. Suasana yang masih pagi, membuat para petugas membelinya sebagai pengganjal perut yang lapar.
"Wah, kuenya enak, Bu. Lebih baik ibu menyewa kantin yang disediakan pihak rumah sakit," saran salah seorang petugas kesehatan.
"Saya tidak punya uang untuk membayar kontrakannya, Mbak," sahut Naii dengan mata sayu.
Petugas medis perempuan itu tersenyum tipis. "Kalau begitu ibu coba saja berjualan dengan menjajakannya disini, nanti saya minta ijin dengan atasan," ucap petugas tersebut.
Naii merasakan binar dimatanya yang begitu sangat bahagia.
"Makasih, Ya, Mbak.. Semoga kebaikan Mbak dibalas oleh Allah dengan lebih berlipat," ucap Naii dengan rasa bahagianya.
Wanita yang mengenakan pakaian serba putih yang tak lain adalah seorang kepala dokter yang bertugas dirumah sakit tersebut tersenyum melihat kebahagiaan Naii.
Ia kemudian berlalu pergi, dan hari ini Naii merasa sangat senang, sebab dagangannya sangat laris.
Naii memasuki bangsal yang mana Aliyah ia tinggalkan bersama kakaknya agar tidak lelah berjalan mengikutinya untuk menjajakan barang dagangannya.
"Bu," panggil Ahnaf.
"Ya, Sayang," sahut Naii dengan lembut.
"Kalau Ahnaf keluar dari rumah sakit, Ahnaf minta mondok dipesantren, Ya, Bu," pinta sang bocah dengan tatapan sayu.
Naii terhenyak. Ia memandang puteranya. Ada rasa perih disana. Memasuki pesantren sangat mahal, dan ia tidak memiliki cukup biaya untuk itu.
"Doakan ibu banyak rezeki, ya. Insya Allah akan ibu masukkan, maka dari itu kamu harus rajin belajar dan juga berdoa," ucap Naii dengan lirih.
"Iya, Bu. Ahnaf tidak dapat berjalan, setidaknya Ahnaf dapat menghafal Al-Quran," pintanya dengan nada memohon.
"Nanti siapa yang akan merawatmu disana? Kamu juga harus mencuci pakaianmu. Bagaimana jika kamu ingin buang air besar?" Naii kembali mengingatkan.
Wanita itu menatap Puteranya dengan tatapan penuh keraguan.
"Ahnaf bisa merangkak, dan nanti akan terus berusaha untuk dapat berjalan kembali," bocah itu meyakinkan sang ibunda.
"Ya, Rabb..., mudahkan lah jalan bagiku dan juga anakku untuk menyampaikan keinginannya," doa Naii dalam hatinya.
"Iya, Sayang. Semoga kamu mendapatkan impianmu," jawab Naii. Ia tak ingin lagi mematahkan semangat sang puteranya.
Naii mencoba mengumpulkan beberapa lembar uang untuk biaya mereka dirumah sakit, dan juga dapat memasukkan Ahnaf ke pesantren impiannya. Naii mencari informasi tentang pesantren yang terjangkau untuk biaya bulanannya dan juga tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Seminggu kemudian. Ahnaf diperbolehkan untuk pulang. Ia mendapat kejutan dari sang ibu, jika ia akan dimasukkan pesantren yang mau menerima kondisi dirinya. Pihak pesantren tertarik akan minat belajar yang ditunjukkan oleh sang bocah, dan pihak yayasan memberikan keringan biaya untuk Ahnaf.
"Baiklah, Bu, jika begitu, kami akan mencoba membantu meringankan biayanya, dan mudah-mudahan Ahnaf dapat menjalani pembelajaran disini dengan baik," ucap pihak yayasan yang menerima Kehadiran Ahnaf dengan tangan terbuka.
Naii tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukurnya yang mana ia merasakan jika ini adalah anugerah dari Allah yang datangnya tidak disangka-sangka.
Naii meninggalkan pesantren. Tidak ada rasa takut sedikitpun dari puteranya yang mana ia harus menjalani hari-hari pertamanya tanpa sang ibu, dan ia harus bersikap mandiri.
Ahnaf sudah dapat mulai berjalan, meskipun harus tertatih dan dibantu dengan tongkat. Tetapi semua itu ia lewati tanpa keluhan sedikitpun. Ia yakin jika ia mampu melewati semua itu dengan baik.
"Bu..., Tak Ahnaf dak inggal ma kita gi?" tanya Aliyah dengan nada cadelnya.
"Kakak mau sekolah, biar pinter," jawab Naii dengan senyum mengembang. Ia berharap jika Ahnaf akan betah dan juga dapat mengejar impiannya.