Kejadian di toko bunga sore itu menorehkan luka yang dalam di hati Alisa.
Erwin, duda kaya raya yang merupakan pelanggan setianya, tega merenggut mahkota kebanggaannya dengan paksa.
Dendam dan kebencian meliputi Alisa.
Berbeda dengan Erwin, dia justru menyesali perbuatannya.
Berawal dari rasa frustasi karena di vonis mandul oleh dokter. dia khilaf dan ingin membuktikan pada dunia kalau hal itu tidaklah benar.
Sayangnya.. pembuktian itu dia lakukan pada Alisa, gadis belia yang sepantasnya menjadi putrinya.Penyesalannya berubah simpati saat mengetahui Alisa bisa hamil karena perbuatannya. dia meminta Alisa mempertahankan benihnya itu.
Berbagai cara dia lakukan untuk mendapatkan maaf Alisa, ibu dari calon anaknya. Mampukah Erwin mendapatkan maaf dari Alisa? kita ikuti kisah selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Saat Alisa teringat dengan kedatangan Valery saat itu, dia langsung menanyakannya.
"Om, kemarin Tante.. Itu lho, mantan istri Om Erwin datang, Ada apa?"
"Valery..?"
"Iya, saat kami bertabrakan, aku lihat dia sedang menangis." terang Alisa.
...Erwin yang semula fokus di depan laptopnya kini berbalik badan dan menghadap gadis itu....
"Tidak ada hubungannya denganmu, tapi kalau kau ingin tau sekali, Om akan beritahu.
Dia sudah berpisah dengan suaminya yang baru. dia juga bilang menyesal sudah meninggalkan aku yang ternyata jauh lebih baik dari suaminya itu."
Erwin mengakhiri ceritanya. Dia menatap wajah gadis itu memastikan reaksinya.
"Oo, begitu? jadi?" tanya Alisa.
"Jadi apanya?"
"Om akan kembali bersamanya, kan?" jawab Alisa berusaha tenang. Padahal ada rasa tidak enak yang menyesak dada.
"Menurutmu bagaimana?" Erwin ingin memancing reaksi Alisa lebih jauh.
"Yaah, mana aku tau, Om yang jalani. Tapi kalau memang kalian harus bersama lagi, baguslah.. Berarti Om kehilangan hak atas Langit, dia akan bersamaku." mata Alisa yang bening terlihat berkilat.
"Begitukah? Kau yakin?" tanya Erwin santai.
"Iya, aku sangat yakin...!" suara Alisa terdengar emosi.
"Benar kau akan melepas ku bersama Valery?" goda Erwin lagi.
"Kenapa tidak? Itu urusan Om Erwin. lagi pula di antara kita tidak ada hubungan apa-apa, kan?"
Alisa meninggalkan Erwin dengan menghentakkan kakinya. Sangat kentara kalau dia marah.
Ada senyum di bibir Erwin.
Dia langsung menahan tangan gadis itu.
"Aku tidak sebodoh itu menukar kalian dengan kebahagiaan semu bersama wanita itu?" Erwin menggeleng keras.
Alisa menatap manik mata Erwin. Ia ingin mencari kebenaran dari ucapan pria itu barusan. Mata itu terlihat tulus.
Alisa buru-buru mengalihkan pandangannya saat menyadarinya.
"Kalau iya juga gak papa.." ucapnya pelan dengan masih menjaga gengsinya.
Erwin membiarkan gadis itu berlalu dari hadapannya.
"Aku berharap hubungan kita akan akan mengalami kemajuan." ucap Erwin sendiri.
Perlahan namun pasti, perasaan nya terhadap Alisa berubah, yang semula hanya simpati pada gadis belia yang telah di nodai nya, kini perasaan itu lebih kepada suka kepada lawan jenisnya. namun perbedaan usia di antara mereka membuatnya ragu. Apakah Alisa bisa menerima pria dewasa yang seharusnya dia panggil ayah?
Alisa mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia masih memikirkan ucapan Erwin.
"Kenapa aku begitu ceroboh? Om Erwin pasti sedang menertawakan diri ku saat ini. Tapi kenapa pula aku harus merasa keberatan kalau mereka bersama lagi? Itu sah-sah saja, secara mereka pernah menjadi pasangan. mereka juga pasti punya kenangan yang sulit di lupakan. Sedangkan aku siapanya?" Alisa menggigit telunjuknya. Ia sangat malu membayangkan tanggapan Erwin tentang sikapnya barusan.
"Tapi, kalau benar mereka rujuk kembali, bagaimana nasibnya Langit?"
Alisa benar-benar terganggu dengan pikirannya sendiri.
"Benarkah aku hanya mengkhawatirkan Langit, atau hatiku sendiri yang tidak rela kalau Om Erwin pergi dariku?"
Alisa mengacak rambutnya sendiri.
Semalaman ia memikirkan hal itu.
Hingga esoknya sampai bangun kesiangan.
"Alisa, buka pintunya!" suara Erwin membangunkannya.
Saat pintu terbuka, Alisa langsung mendapati wajah Erwin disana. Sosok dan wajah yang semalaman menganggu pikirannya. sosok itu kini berdiri tepat di hadapannya. Dia terlihat lebih muda sepuluh tahun dari usia yang sebenarnya. Alisa mengucek matanya.
"Kau tidak apa-apa? " Erwin menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada siapa-siapa disana.
Dia langsung meraba kening gadis itu yang terlihat aneh.
Alisa menepis tangan Erwin.
Ia membuang pandangannya sambil meringis malu.
"Aduuuh.. Mudahan Om Erwin tidak menyadari ke kekonyolan ku." gumamnya sangat pelan.
***
"Alisa..."
"Iya, Om." jawabnya cepat.
Sekarang Erwin yang mengernyitkan keningnya. Ia merasa ada yang tidak beres dengan sikap Alisa yang tidak biasa.
"Cepat lah mandi, hari ini jadwalnya Langit imunisasi. Kau mau ikut mengantar, kan?"
Seperti orang linglung, Alisa hanya mengangguk.
Di meja makan sudah menunggu sarapan untuknya. Langit juga sudah terlihat rapi di tangan Susternya.
Disaat hendak berangkat,
Alisa minta dia sendiri yang menggendong Langit.
"Boleh, kan? aku ingin belajar menggendongnya sendiri." matanya bergantian menatap Erwin dan suster.
"Biarkan dia belajar, Sus. Kau siapkan saja perlengkapannya di mobil." perintah Erwin.
Alisa merasa heran saat mereka hanya berdua membawa Langit.
"Hanya kita?"
"Iya, kau mau belajar mengurus Langit, kan? Jadi, harus terbiasa." jawab Erwin tersenyum.
Alisa mengangguk ragu.
Karena Alisa belum terbiasa, Langit rewel dalam pangkuannya.
Erwin mengambil alih bayi itu.
Setelah ditepuk-tepuk sambil di beri susu, bayi itu tertidur.
Alisa takjub melihatnya. Bagaimana mungkin seorang Erwin si pengusaha yang super sibuk
bisa begitu lues memegang bayi. tidak ada canggung sedikitpun.
"Kenapa? Kau heran aku bisa mendiamkan Langit?" goda Erwin.
Alisa mengangguk.
"Jauh sebelum dia lahir aku sudah belajar, bahkan aku tidak segan mengikuti kelas ibu hamil. Itu untuk persiapan menjadi seorang ayah sekaligus ibu bagi Langit."
Alisa merasa tertampar. Erwin sudah melakukan begitu banyak hal untuk anak mereka, tapi dirinya justru berencana ingin meninggalkannya. Alisa merasa tidak apa-apa nya di depan Erwin saat itu.
"Sudahlah.. Kau juga bisa belajar seperti Om. tidak ada kata terlambat untuk niat yang baik.." ucap Erwin bijak.
Alisa terdiam. Apa yang di katakan Erwin itu memang semuanya benar.
Setelah di imunisasi, baby Langit menjadi rewel. Semua orang kebingungan termasuk Erwin dan Alisa. Mereka bekerjasama untuk merawat bayi itu.
"Kau tidurlah.. Biar Om yang nungguin Langit." saat itu mereka sedang begadang menunggui Langit yang rewel. Erwin meminta susternya istirahat hingga kini hanya tinggal dirinya dan Alisa di kamar itu.
"Om, saja yang tidur. Besok kan harus ke kantor.." jawab Alisa bijak.
Hati Erwin seperti disiram air es mendengar perhatian Alisa padanya.
"Om, seorang pria. Fisik Om lebih kuat. Ayolah.. Mumpung Langit sedang tenang." bujuk Erwin lagi.
"Tidak, Om. aku tidak mau meninggalkannya. Aku merasa bersalah selama ini sudah mengabaikannya." ucap Alisa sambil memandangi wajah bayi nya.
Mereka duduk di tepi bok Langit. Malam semakin larut, Erwin maupun Alisa sama-sama berkeras tidak tidur untuk menunggui anak mereka.
Rasa kantuk yang hebat menyerang Alisa.
Dia ketiduran di tempat duduknya.
Erwin tersenyum melihatnya.
"Dasar keras kepala.. " ucapnya tersenyum.
Erwin mengangkat tubuh Alisa perlahan.
Dia bermaksud menidurkan gadis itu di kamarnya. tapi dia kaget saat Alisa tiba-tiba mengalungkan tangan di lehernya.
Lampu temaram di kamar itu membuat suasana semakin syahdu. Hampir saja Erwin terhanyut oleh suasana itu.
"Tidurlah.. Semoga mimpi indah.." bisiknya di telinga Alisa.
"Kenapa kau terlalu baik padaku? Hal itu membuatku susah untuk membalas dendam atas perbuatan mu..."
Erwin terkesiap. Kata-kata itu keluar dari mulut Alisa. Ia kembali memastikan kalau gadis itu benar-benar sudah tidur.
"Dia sudah tidur, Berarti dia mengigau.."
"Kenapa Om memindahkan aku ke kamar?"
ucap Alisa sambil membuka pintu kamar Langit.
Tapi Erwin maupun Langit tidak ada disitu.
Alisa berlarian mencari-cari keberadaan mereka.
"Bik, apa kau melihat Langit? Tuan, mu juga tidak kelihatan?"
"Maaf, Non. tadi pagi-pagi sekali, Tuan dan Suster membawa Den Langit pergi."
"Kemana? Apa dia meninggalkan pesan untuk ku?" tanya Alisa panik.
Parmi menggeleng.
"Tidak, kami juga tidak berani bertanya apa-apa. Wajah Tuan terlihat sangat sedih."
Alisa bersandar di dinding.
"Kemana kau membawa Langit, Om.." rintihnya.
💞Mampir dong...
"