Laura, adalah seorang menantu yang harus menerima perlakuan kasar dari suami dan mertuanya.
Suaminya, Andre, kerap bertangan kasar padanya setiap kali ada masalah dalam rumah tangganya, yang dipicu oleh ulah mertua dan adik iparnya.
Hingga disuatu waktu kesabarannya habis. Laura membalaskan sakit hatinya akibat diselingkuhi oleh Andre. Laura menjual rumah mereka dan beberapa lahan tanah yang surat- suratnya dia temukan secara kebetulan di dalam laci. Lalu laura minggat bersama anak tunggalnya, Bobby.
Bagaimana kisah Laura di tempat baru? Juga Andre dan Ibunya sepeninggal Laura?
Yuk, kupas abis kisahnya dalam novel ini.
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab, 12. Rahasia Andre perlahan tersingkap.
"Seindah apapun kata yang kau rangkum untuk merengkuh hati dan jiwa ini, semua telah menguar bersama desau angin. Dengan apakah lagi dia akan kembali? Saat cerita itu telah usang dan lapuk?"
"Untuk apa pengeluaran uang sebanyak ini, Bang?" Laura memperlihatkan catatan laporan keuangan. Dimana ada pengeluaran yang jumlahnya tidak sedikit.
Laura mendapat catatan itu dari karyawan mereka.
"Itu, untuk dana membuka bisnis baru, ada sahabat yang mengajak joint," gagap Andre setenang mungkin.
"Lantas kenapa, abang tidak ada bercerita sebelumnya. Kalau bukan karena aku periksa, tentu laporan ini tidak akan pernah sampai ketanganku."
"Cukup Laura! Aku sudah muak dengan sikap kamu selama ini. Makin kesini kamu makin tidak percaya padaku. Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Masih saja kamu curiga padaku!" hentak Andre kesal.
"Bang, kamu kok ngomong gitu sih. Wajarkan aku bertanya begitu. Itu bukan jumlah uang yang sedikit."
"Jadi kamu curiga kalau aku mengambil uang itu untuk kepentingan pribadiku, gitu?"
"Bukan soal curiga atau tidak, Bang. Apa mungkin karyawan kita yang akan ambil. Oh, ataukah Irina dan Ibu yang ambil. Makin tidak jelaskan?" ungkap Laura. "wajar abang yang aku tanya. Yang kelola keuangan kafe selama ini adalah abang."
"Iya, aku tau. Tapi, bukan berarti aku harus jelaskan semua kegiatan aku dalam mengelolaan, kafe, 'kan? Aku tidak suka kamu itu terlalu mencampuri urusanku. Dan, ingat satu hal Laura aku sudah muak dengan kamu!" Andre menghempaskan gelas kopi ditangannya hingga hancur menyerpih.
Para karyawan kafe yang mendengar pertengkaran bos mereka, pergi menghindar.
Laura juga tersentak kaget saat Andre membanting gelas yang berisi kopi.
"Oke, aku minta maaf. Tapi, kenapa abang sampai marah-marah seperti ini. Aku cuma bertanya tentang pengeluaran itu. Tidak lebih." ucap Laura.
Andre hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar. Andre tengah kebingungan karena ulah, Irina dan Ibunya.
Padahal dia sudah menjelaskan secara detail tentang rencana yang telah ia susun selama ini. Kini, Laura telah mencurigainya atas penarikan uang yang cukup besar.
Apa yang akan dilakukan jika Laura bertanya tentang kerja sama itu. Karena uang yang dia ambil itu adalah uang muka pembelian rumah untuk Irina.
Andre memang telah mempersiapkan sebidang tanah untuk membangun rumah. Yang nantinya menjadi hak milik, Irina.
Namun, sebelum rencana itu terealisasi, Irina sudah muncul tanpa sepengetahuannya.
Laura tersenyum dalam hati, melihat kepanikan di wajah Andre, suaminya.
Sangat kebetulan sekali ketika, Rudy, karyawan mereka melihat Andre dan Irina di sebuah rumah megah.
Rudy, berkunjung ke rumah saudara sepupunya dan kebetulan adalah tetangga Irina.
Setelah mengorek beberapa informasi, benar saja kalau Irina dan Andre adalah pemilik rumah itu. Rudy menceritakan penemuaannya itu kepada Ratih.
Lewat Ratih, Laura mengetahui info itu, dan diapun memeriksa pembukuan. Benar saja ada penarikan uang dengan jumlah yang besar.
Karena itulah dia sengaja bertanya, hanya untuk merisaukan hati Andre saja. Kalau dia sudah tau atau hanya sekedar memberi sinyal kalau kalau perbuatannya telah terendus olehnya.
Benar saja, Andre merasa kepergok meskipun dia bersikap tenang pada awalnya, tapi lepas kontrol juga. Membuat kecurigaannya makin mendasar.
Laura semakin muak saja. Rencananya untuk pergi dan meninggalkan Andre, semakin kukuh. Lebih baik baginya pergi, jauh. Jauh dari kehidupan suaminya. Karena sudah tak mungkin lagi berharap kalau Andre akan berubah.
Kenyataan yang dia hadapi semakin menyakitkan. Laura tidak yakin akan bisa bertahan dan tetap waras setelah fakta demi fakta dia temukan.
Sebelum segalanya terlanjur lebih menyakitkan dia harus persiapkan rencana untuk masa depannya.
Biarlah suaminya tetap menganggapnya bodoh, atau selamanya bisa dibodohi. Hingga waktu tertentu suaminya akan kaget, melihat pembalasannya.
Laura mencari sapu dan kain pel untuk membersihkan ruangan Andre. Bisa saja dia menyuruh orang lain.
"Bu, biar aku saja yang bersihkan," ucap Ratih. Berusaha mengambil sapu dan alat pel dari tangan Laura.
"Tidak apa-apa, Ratih. Ibu bisa lakukan sendiri." Tolak Laura. Laura kembali masuk keruangan dimana Andre masih berdiri membelakangi, Laura.
Melihat Laura uang membersihkan serpihan gelas itu. Andre merasa menyesal dan menghampiri istrinya. Mengambil sapu dan alat pel dengan paksa dari tangan, Laura.
"Maafkan aku, pikiranku lagi kalut. Sini, biar aku bersihkan."
Laura melepas sapu dan alat pel itu. Dalam hati, sedikitpun tidak percaya dengan ketulusan suaminya. Suaminya tidak pernah jujur, dan selalu ada niat tertentu setiap.kali dia menyesal atau berubah baik.
Laura, bermaksud keluar dari ruangan, Andre. Udara dalam ruanhan itu tiba- tiba terasa pengap bagi, Laura. Lebih baik keluar agak suasana hatinya lebih rileks.
Ketika kakinya tinggal selangkah lagi mencapai pintu. Andre memeluk Laura tiba-tiba dari belakang.
"Sayang, maafkan aku. Aku tidak bermaksud kasar tadi padamu." bisik Andre tepat ditelinga Laura. Desah napas Andre terasa hangat tapi hati Laura dingin seperti salju.
"Tidak apa-apa. Aku mengerti kok." lenguh Laura, tanpa berbalik. Laura mengurai pelukan suaminya, menarik handel pintu dan keluar.
Andre menghela napas panjang. Memandangi bagian belakang tubuh istrinya, yang melangkah tertunduk. Entah apa yang berkecamuk didalam dada perempuan yang dia nikahi karena paksaan ayahnya, lima tahun yang lalu.
Sampai sekarang dia tidak pernah bisa, mencintai Laura. Irina telah mengisi segenap ruang dihatinya. Bagaimanapun dia waktu itu berusaha, tapi hatinya tidak bisa diajak kompromi.
Andre, tau betapa berat beban yang dipikul Laura selama menjadi istrinya. Perlakuan kasar yang dia terima dari ibu dan adiknya juga dirinya selama ini, tidak cukup untuk menjadikan dia ratu dirumahnya sendiri.
Semua pengorbanannya sia-sia. Dia tidak pernah dianggap dengan layak sebagai menantu.
Istrinya selalu diam selama ini. Baru akhir-akhir ini dia berani melawan atau berbicara setelah dia digertak untuk diceraikan.
Siapa sangka dia mau diceraikan dan mengungkit perjajian yang dibuat oleh ayahnya.
Saat itulah dirinya sadar tengah terancam. Andre sadar kalau apa yang dia miliki selama ini adalah hak istrinya, apabila mereka bercerai.
Rumah yang mereka diami atas nama istrinya. Usaha kafe yang dia rintis setengahnya adalah milik istrinya. Juga beberapa surat tanah yang dia kuasai secara paksa dari mertuanya. Semua itu menjadi jaminan untuk Laura, agar dia tidak menceraikan istrinya.
Karena semua itulah, Andre merasa terancam dan tidak jadi menceraikan istrinya. Berpura-pura baik hanya semata-mata untuk mengalihkan perhatian istrinya dari ancaman perceraian yang todongkan.
Sialnya, ibunyapun turut memperkeruh suasana, karena tiba-tiba mengundang Irina tinggal dirumah mereka, hanya untuk menyakiti menantunya.
Hingga Laura memergokinya dikamar dan meminta cerai. Andre yang panik terpaksa memenuhi semua keinginan Laura.
Ikut mengelola kafe termasuk mengendalikan kembali keuangan di dalam rumah tangganya yang selama ini dipegang ibunya.*****