Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 PISAH KAMAR
Malam itu, saat aku masuk ke kamar, aku terkejut melihat lemari pakaian Aisyah terbuka, dan sebagian besar pakaiannya sudah tidak ada. Aku bergegas keluar dan menemukannya di kamar tamu, sedang merapikan selimut di atas tempat tidur.
"Aisyah… kamu mau tidur di sini?" tanyaku dengan suara pelan, masih berharap dia akan berubah pikiran.
Tanpa menoleh, Aisyah menjawab, "Aku tidak bisa lagi tidur di kamar yang sama denganmu, Mas Reza. Kita sudah bukan suami-istri lagi, dan aku harus menjaga batas."
Aku merasakan sakit yang aneh di dadaku. Dulu, setiap malam sebelum tidur, aku selalu memeluknya, mendengar suaranya, merasakan kehadirannya di sampingku. Tapi sekarang, hanya ada jarak dan kehampaan.
"Tapi… ini masih rumah kita, Aisyah."
Aisyah akhirnya menoleh, menatapku dengan ekspresi datar yang semakin melukai hatiku. "Tidak, Mas. Ini rumahmu. Aku hanya singgah di sini sampai masa iddahku selesai. Setelah itu, aku akan pergi."
Aku ingin membantah, ingin memintanya tetap tinggal lebih lama, ingin memohon agar dia memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku.
Tanpa menunggu tanggapanku, Aisyah mengambil selimutnya dan naik ke tempat tidur. "Mas Reza, aku capek. Tolong jangan ganggu aku lagi," katanya, lalu mematikan lampu kamar.
Aku hanya bisa berdiri di ambang pintu, menatap siluetnya dalam kegelapan. Sakit sekali rasanya mengetahui bahwa wanita yang selama ini selalu ada di sisiku, kini memilih menjauh.
Dan aku tidak bisa menyalahkannya.
Disaat hatiku tengah galau dan juga gundah memikirkan Aisyah yang benar-benar sudah berubah drastis, tiba-tiba layar ponselku berbunyi.
Aku menatap layar ponsel yang terus berdering, nama ibu muncul di sana. Hatiku sudah terasa berat. Entah kenapa, setiap kali ibu menelepon, aku merasa ada beban yang semakin menekan. Aku ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilan itu.
"Reza, kamu kenapa? Kenapa nggak pulang-pulang? Laras sudah menunggumu di rumah. Ibu ingin kalian segera bertemu," suara ibu terdengar penuh penekanan, seakan aku tidak punya pilihan lain.
Aku mendesah pelan, merasa cemas. Laras? Aku tidak tahu lagi harus bagaimana dengan semua yang terjadi. Pikiranku masih sibuk dengan Aisyah, dan di saat yang sama, aku juga tahu aku harus menghadapi Laras. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa begitu saja kembali seperti semuanya baik-baik saja?
Aku terdiam, menatap ponselku, berpikir sejenak. Apakah ini yang terbaik? Aku tahu ibu tidak akan berhenti memaksaku, dan Laras... dia masih ada di rumah orangtuaku. Semua keputusan ini seakan berat sekali.
Aku menundukkan kepala, berusaha menenangkan diri sejenak. Rasanya sulit untuk menyusun kata-kata yang tepat. Di satu sisi, aku tahu Laras ada di rumah, menunggu, tapi di sisi lain, Aisyah terus menggelayuti pikiranku. Aku belum bisa berpikir jernih tentang semuanya.
“Reza? Apa kamu dengar ibu?” suara ibu terdengar lebih tegas, mengusik kekacauanku.
Aku menghela napas berat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Iya, Bu. Aku dengar," jawabku pelan, lebih kepada diriku sendiri daripada ibuku. "Aku... aku akan pulang, tapi... aku nggak tahu harus mulai dari mana."
Ibu diam sejenak, lalu terdengar suara lembut dari seberang sana. “Terkadang, kita cuma butuh waktu untuk menemukan jalan, nak. Tapi Laras... dia menunggumu. Jangan biarkan dia merasa sendirian.”
Aku menutup mataku, membiarkan kata-kata ibu meresap. Setiap kali aku berusaha melupakan Laras, atau mencoba fokus pada Aisyah, kenyataan selalu kembali mengingatkan aku pada hubungan yang telah lama terjalin. Sesuatu dalam diriku terasa tertahan, seperti aku tak bisa melangkah maju tanpa membuka luka lama.
Akhirnya, aku mengangguk pelan, meskipun ibuku tak bisa melihatnya. "Oke, Bu. Aku akan segera pulang."
Tapi, di dalam hatiku, aku tahu ini bukanlah akhir dari kebingunganku. Ini hanya langkah pertama dari perjalanan panjang yang entah akan membawaku ke mana.
Tanpa pikir panjang lagi, aku memutuskan untuk pulang ke rumah ibu. Aku tahu aku tidak bisa terus menghindar, terutama setelah apa yang terjadi tadi pagi—pernikahanku dengan Laras. Rasanya semua berjalan begitu cepat, terlalu mendadak, dan sekarang aku harus menghadapi kenyataan itu.
Begitu aku sampai di rumah, ibu langsung menyambutku dengan tatapan penuh harap, tapi juga sedikit kecewa. “Kenapa kamu pergi ke rumahmu tanpa membawa Laras, Reza?” tanyanya, seolah tahu ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku.
Aku menelan ludah, merasakan dadaku sesak. Aku tahu aku tak bisa terus menyembunyikan semuanya. Akhirnya, aku menarik napas panjang dan duduk di ruang tamu, sementara ibu menatapku lekat-lekat, menunggu penjelasan.
“Ibu, aku nggak tahu harus mulai dari mana…” suaraku terdengar lemah, bahkan untukku sendiri. Aku mengusap wajah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku menikahi Laras, tapi hati aku masih terjebak di masa lalu. Aku pikir dengan menikah, semuanya akan terasa lebih mudah, tapi kenyataannya… aku masih memikirkan Aisyah.”
Ibu menatapku tajam, ekspresinya tegas dan penuh kekecewaan. “Reza, kamu nggak boleh jadi laki-laki lemah hanya karena seorang wanita seperti Aisyah,” katanya dengan suara dingin.
Aku terdiam, menundukkan kepala.
“Aisyah dan keluarganya sudah membuat malu ibu dan ayah,” lanjutnya. “Kamu masih memikirkannya setelah semua yang mereka lakukan? Dia bahkan meminta cerai di saat pernikahan sedang berlangsung! Apa kamu tidak sadar betapa hinanya itu untuk keluarga kita?”
Aku menghela napas berat. Aku tahu ibu tidak akan pernah bisa memaafkan Aisyah, dan mungkin aku juga seharusnya begitu. Tapi hatiku masih terikat pada semua kenangan yang pernah ada. Aku ingin berkata sesuatu, membela perasaanku, tapi rasanya percuma.
“Aku cuma… belum bisa menerima semuanya, Bu,” akhirnya aku berbisik pelan.
Ibu mendecak pelan, lalu duduk di sampingku. “Dengar, Reza. Sekarang kamu sudah menikah dengan Laras. Dia istrimu. Jangan sia-siakan dia hanya karena perempuan yang bahkan tidak menghargai pernikahan kalian.”
Akhirnya, ibu menyuruhku untuk menemui Laras di kamar. Katanya, sejak tadi pagi dia hanya mengurung diri di sana dan tidak mau keluar. Aku menghela napas sebelum melangkah menuju kamar kami. Ada perasaan ragu yang menghantui, tapi aku tahu aku tak bisa terus menghindarinya.
Saat aku membuka pintu, Laras sedang duduk di tepi ranjang, memainkan ponselnya. Wajahnya datar, seakan tak ada emosi yang bisa kubaca. Dia tidak menoleh saat aku masuk, seolah kehadiranku tidak berarti apa-apa baginya.
Aku berdiri di ambang pintu, tak tahu harus mulai dari mana. "Laras…" panggilku pelan.
Dia tetap fokus pada layar ponselnya, seakan tak mendengar suaraku. Aku tahu, ini bukan sekadar karena dia sibuk. Dia pasti terluka. Aku yang menikahinya, tapi hatiku ada di tempat lain.
Aku berjalan mendekat, duduk di kursi dekat ranjang. "Kamu nggak keluar seharian?" tanyaku, mencoba membuka pembicaraan.
Laras akhirnya menghela napas dan meletakkan ponselnya di sampingnya. Matanya menatapku sekilas sebelum kembali menunduk. "Untuk apa? Nggak ada yang perlu aku lakukan di luar," jawabnya pelan.
Aku tahu ini bukan sekadar tentang dia mengurung diri. Ini tentang aku. Tentang bagaimana aku bersikap sejak pernikahan ini terjadi.
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang