NovelToon NovelToon
Alone Together

Alone Together

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horror Thriller-Horror / Teen School/College / Romansa
Popularitas:300
Nilai: 5
Nama Author: Mara Rainey

Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).

Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.

Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 3 : A Perfect Day for the Rebels

Taera tidak mau selama-lamanya mendapat julukan "payah". Makanya dia nekat mengambil Ekstrakurikuler Atletik untuk tahun ini. Mamanya pernah bilang Taera itu kuat di betis. Larinya cepat.

Dengan modal nekat, di sinilah dia sekarang... mengumpulkan pengalaman baru. Berusaha keluar dari kepompong "zona nyaman". Barangkali suatu saat Taera bisa mengikuti pertandingan sebagai atlet pelari jarak jauh. Bayangkan presenter menyebut-nyebut namanya, semua orang menonton dan mendukungnya.

"Kim Taera, perwakilan Korea Selatan, usia 19 tahun, nomor punggung 10, dia berhasil melewati pelari dari Jepang dan pelari dari Thailand... terus... melaju..."

"Minggir!"

Taera bergeser ke kiri karena mendengar orang-orang di belakangnya membentak. "Nona! Minggir!"

Ya tuhan! Siapa sih?! Dasar tidak sabaran!

Taera bergegas menepi dan membiarkan para pelari itu lewat dengan entengnya seolah-olah mereka terbang. Padahal Taera sudah ngos-ngosan bukan main. Napasnya mau habis.

Taera sadar dia bukan orang yang paling atletis sedunia, tapi dia mulai merasa pilihannya ini konyol.

Sebenarnya, ini semua konyol. Capek-capek lari di jalur keras di Seoul Grand Park pagi-pagi buta! Mana udara pagi itu dinginnya kayak apa ya kalian tahu sendirilah. Dingin sampai ke tulang belakang dan bikin menggigil! Taera terpaksa datang dengan kaus putih dan celana olahraga biru yang menurut Taera terlalu pendek. Karena begitulah pakaian standar ekskul olahraga.

"Minggir!" Seseorang berteriak di belakang Taera. Refleks dia menepi. Kali ini seorang gadis semampai berambut hitam. Kuncir kudanya bergoyang ke kiri dan ke kanan saat dia menghilang di tikungan jalur.

Kayaknya bukan pakaian deh yang membuat Taera terasing. Mungkin karena penampilan...? Atau... perhiasan? Kebanyakan cewek di Seoryeong Academy memakai perhiasan, termasuk cewek yang barusan lewat. Cewek itu memakai anting berlian. Taera yakin itu bukan sekedar zirkonium berbentuk kotak. Belum lagi jam tangan! Taera sering dibuat menganga lihat cewek-cewek di sekelilingnya pakai jam tangan Gucci dan Rolex. Jam tangan mahal dipakai ke sekolah. Seakan-akan jam branded adalah kewajiban seperti membeli perlengkapan alat tulis. Geng-nya Yerin kompak pakai sepatu Ferragamo.

Taera malas melirik kiri-kanan. Takut sakit hati. Apalah daya... keterima di Seoryeong atas bantuan beasiswa.

Taera mencoba fokus pada jalur di depan. Fokus... lari... ayo lebih cepat! Kejar mereka semua!

Memang aneh rasanya berada di tengah alam terbuka. Suasana asing yang beda dari pemandangan di sekolah sendiri. Dengan pepohonan yang rimbun tumbuh di sisi jalur pelari. Sementara di kejauhan sana, Taera bisa melihat gedung pencakar langit yang menjulang di antara ranting-ranting pohon.

Ada beberapa orang di jalur ini selain anak-anak dari ekskul atletik, mereka para turis yang sedang menikmati jalan-jalan di taman sambil membawa kamera, atau anjing peliharaan, atau pasangan. Ada juga pengendara kuda dengan celana jodhpur dan helm hitam, berkuda santai tepat di samping para pejalan kaki.

Sebenarnya semua ini keren juga.

Kecuali bagian capeknya.

Suara seseorang membuyarkan konsentrasi Taera. "Hei."

Karena mengira itu anak lain yang ingin Taera minggir (padahal Taera sudah berlari di paling pinggir dari jalur), Taera menoleh jengkel.

Langsung tersandung akar saking jengkelnya.

"Aduh!"

"Whoaa... pelan-pelan!" Pelari itu membungkuk di belakang Taera, dengan cekatan menangkap pinggangnya. "Kau tidak apa-apa?"

Syukurlah. Taera tidak sampai jatuh mencium tanah. Dia cuma tersandung. Buru-buru dia menjauh dengan jantung berdetak keras. Bukan efek samping gara-gara kecapekan lari, pasti cowok ini penyebabnya.

Taera berusaha tidak kikuk, atau tersenyum terlalu lebar.

"Hai... mm... Haekyung-sshi." Taera menunduk, senyum sedikit, sedikit sekali, intinya senyum.

Haekyung menyeringai, manis dan tampan. Sehari-hari dia manis dan tampan. Hanya saja, hari ini ketampanannya bertambah. Mungkin efek keringat di kaosnya? Tidak membuat Taera jijik. Malahan, cowok itu terlihat keren... manly...

Dia mengenakan kaos putih dan celana pendek. Celana pendeknya tidak kependekan dan malah terlihat pas. Lebih dari pas! Celana itu bagus dipakai oleh Jung Haekyung.

Taera bisa melihat dengan jelas ada handuk kecil tersampir di pundak Haekyung. Rambut yang biasanya rapi kini terlihat messy, basah oleh keringat. Namun, justru membuat cowok itu terlihat semakin...ugh, sexay?

Tanpa sadar Taera menggigiti bibir bawah, berusaha mengusir bayangan Jung Haekyung versi naked yang dengan tidak sopannya merasuki otak. Ya Tuhan, maafkan otak mesum cewek penggemar komik yaoi ini.

"Kau baru mendaftar kemarin ya?" tebak Haekyung. "Aku baru tahu kau juga anggota ekskul atletik."

Sial! Apa Haekyung benar-benar habis lari? Kenapa bau parfumnya sangat menggoda? Seperti mencolek-colek lubang hidung untuk langsung menghirupnya dari leher...shit! Fokus!

Beberapa pelari muncul di tikungan, cowok itu menyeringai tengil pada Taera. "Aku punya jalur lain yang lebih nyaman dari ini."

Belum sempat Taera merespon, cowok itu menarik tangannya menjauhi jalur, menuju semak-semak.

"Astaga." Haekyung geleng-geleng menatap para pelari itu, jelas tampak sebal. "Mereka pikir ini apa? Olimpiade? Main tabrak orang seenaknya! Mereka pikir ini jalan punya siapa!"

Taera berdehem canggung, masih bingung harus bersikap bagaimana. "Kurasa sebaiknya kita bergabung dengan mereka."

Haekyung menatap jam tangannya. Taera tidak tahu apakah itu Rolex seperti yang dipakai anak-anak lain, tapi kelihatannya cukup mengagumkan. Simpel tapi mewah.

"Begini saja," Haekyung berdehem. "Sebenarnya aku tidak yakin Pak Pelatih benar-benar peduli pada kesehatan kita. Mending kita jalan-jalan saja."

Taera menoleh ke barisan pepohonan, ke jalur pelari. "Kita harus menyelesaikan putaran..."

"Ya ya, terserah! Kita bisa menyelesaikan putarannya nanti. Masih ada waktu. Jangan terlalu serius seperti peserta olimpiade." Haekyung menyeringai. "Kita akan muncul terengah-engah bersamaan dengan yang lain. Aku tahu jalan pintas."

Taera kembali menatap ke balik deretan pepohonan yang menghalangi lintasan pelari, lalu kembali menatap Haekyung ragu-ragu. Seumur hidup belum pernah dia membolos di hari pertama. Tapi ini Jung Haekyung yang menawarkan jalan-jalan berdua di taman. Kapan lagi ada kesempatan begini?

Makanya Taera menjawab. "Oke, kalau kau berjanji kita tidak akan dapat masalah. Aku tidak ingin mendapat masalah di hari pertamaku."

Haekyung mengangkat kelingkingnya. "Janji pramuka."

Taera mesam-mesem sambil tersipu-sipu menautkan jari kelingkingnya. Yang ngomong-ngomong tampak sangat feminim jika disandingkan dengan jari kelingking cowok itu.

Jalan pintas yang ditunjukkan Jung Haekyung ternyata lebih seperti jalur ilegal. Alih-alih kembali ke jalur lari utama, mereka justru berakhir di sebuah jalan setapak tersembunyi di belakang deretan pepohonan rimbun.

Udara terasa lebih sejuk di sini. Tak ada suara teriakan atau langkah kaki para pelari ambisius. Hanya ada suara dedaunan yang berbisik diterpa angin.

“Lihat?” Haekyung menyeringai bangga. “Ini jauh lebih baik daripada berlari seperti orang kesurupan di jalur utama.”

Taera, meskipun masih sedikit ragu, mengakui satu hal: cowok ini benar.

“Kurasa ini memang lebih… nyaman,” gumamnya sambil merapikan poni panjangnya yang berantakan tertiup angin.

“Kau terlalu serius tadi,” ujar Haekyung, menggoyangkan kepala ke samping. “Kalau ingin sukses di ekskul ini, kau harus belajar menikmati prosesnya.”

“Menikmati?” Taera memandangnya sinis. “Aku tidak tahu bagaimana caranya menikmati olahraga yang membuat paru-paruku terasa terbakar.”

Haekyung tertawa pelan. “Kau hanya butuh… motivasi yang tepat.”

Taera tidak paham maksudnya. Dia terlalu sibuk menahan napas saat Haekyung tiba-tiba mengangkat tangan dan mengusap peluh di pelipisnya.

Jantungnya otomatis berpacu.

Kenapa gerakan sekecil itu bisa terasa seperti ledakan dinamit di jantung?

“Ada keringat,” Haekyung beralasan santai, seolah tidak menyadari dampak perbuatannya.

Sialan. Bukan begitu caranya membantu seseorang tetap tenang!

Taera buru-buru menjauh setengah langkah. “Kita harus kembali. Sebelum—”

TAP. TAP. TAP.

Langkah kaki berat mendekat.

Mereka berdua membeku.

"KIM TAERA! JUNG HAEKYUNG!"

Suara itu… tidak perlu diragukan lagi.

Mereka perlahan berbalik dan melihat Kang Dongwon ssaem berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, ekspresi lebih galak daripada harimau lapar.

Mampus.

“Bisa jelaskan kenapa kalian berdua tidak berada di jalur lari?”

Haekyung, dengan ketenangan level master, menyunggingkan senyum paling tengil yang pernah Taera lihat. “Kami… mengambil jalan yang lebih… efisien, ssaem.”

Sial. Kenapa cowok ini seperti tidak punya rasa takut?

“Efisien?” Dongwon ssaem mengulang kata itu seperti hendak menjadikannya bahan obrolan di pemakaman mereka nanti. “Kalian pikir ini jalan santai di taman? Kalian masuk ekskul atletik untuk lari, bukan untuk mojok berdua seperti pasangan remaja yang tidak punya kerjaan!”

Taera merona seketika. Mojok?

Apa-apaan ini?

Haekyung malah masih santai-santai saja. “Bukan begitu, ssaem. Aku hanya ingin memastikan Taera tidak kelelahan—”

“DAN JAWABANNYA ADALAH DETENTION.”

Hening.

Dongwon ssaem menatap mereka berdua seperti predator yang baru saja menemukan mangsa favoritnya.

Taera tergagap. “Tapi—”

“Aku sudah membuat keputusan,” potong Dongwon ssaem dengan tatapan tanpa kompromi. “Kalian boleh berterima kasih padaku nanti.”

“Kenapa kami harus berterima kasih?” tanya Taera bingung.

Dongwon ssaem menyeringai jahat. "Karena aku masih membiarkan kalian pulang dalam keadaan hidup."

Sialan!

.

.

.

Sojin tahu tak seharusnya dia membolos dari kelas aljabar, apalagi hanya karena satu alasan: Kim Namgil. Tapi di sinilah dia, berdiri di depan ruang UKS dengan jantung berdegup kencang, mempertanyakan kewarasan dirinya sendiri.

Memangnya apa yang akan mereka lakukan? Belum lagi Sejung ssaem, guru jaga di ruang UKS, bisa masuk kapan saja dan menangkap mereka basah-basah sedang… berduaan.

Dia menggelengkan kepala, mengusir pikiran aneh itu. Astaga, kenapa dia jadi berpikir ke mana-mana?

Debaran jantung Sojin berpacu saat langkahnya semakin mendekati ranjang tempat di mana Namgil berbaring. "Hai," sapanya ceria tapi ada sedikit gugup dalam nada suaranya.

"Kau lama," gumam Namgil dari balik komik Avenger-nya. Lantas dia mengubah posisinya jadi terduduk di pinggiran ranjang. "Kemari," tukasnya sambil menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, memberi isyarat agar Sojin duduk.

"Kemana Sejung ssaem?" tanya Sojin, mencoba untuk tidak tersenyum terlalu lebar melihat ruang UKS yang sepi.

"Dia pergi, ada urusan sebentar katanya. Aku tadi hanya kebetulan lewat. Dia melihatku dan menyuruhku menjaga ruangan ini untuk sementara."

Sojin menyipitkan mata. "Kebetulan?"

Namgil mengangkat alis, senyum kecil terukir di bibirnya. "Dia tidak akan tahu."

"Tahu apa?"

"Kalau aku punya janji bertemu denganmu di sini," sahut Namgil dengan suara lebih berat dan dalam dari sebelumnya.

Kali ini Sojin punya keberanian ekstra untuk menatap Namgil dengan tatapan yang sama dalamnya. Berusaha mengabaikan suara jantungnya yang melompat-lompat, pipinya yang terasa lebih hangat dari biasanya.

"Sejak kita pacaran rasanya aku ingin melihatmu terus. Kalau sehari saja kita tidak bertemu dan mengobrol seperti ini, aku merasa ada yang kurang. Rasanya hambar." Namgil menghela napas, sudut bibirnya tertarik ke atas. "Sehambar makan roti tanpa selai dan susu. Yah, kedengarannya aneh dan terlalu cheesy. Tapi percayalah, aku tidak sedang menggombal. Itu kenyataan."

Astaga.

Sojin yakin wajahnya sekarang pasti lebih merah dari buah tomat. Dia harus bilang apa? Seorang Kim Namgil terang-terangan mengakui betapa dia merindukannya?

"Yaa..." Sojin menelan ludah, gugup. "Aku juga senang melihatmu."

Itu jawaban terbaik yang bisa dia berikan dalam kondisi begini.

Dia bukan orang yang bisa mengucapkan kalimat puitis dengan semudah itu. Sojin adalah tipe orang yang harus mengasingkan diri di puncak Gunung Everest dulu selama bermilyar-milyar tahun lamanya baru bisa menciptakan satu puisi cinta yang mutakhir.

Namgil tersenyum, lalu menarik tangan Sojin dengan lembut, membawanya lebih dekat.

"Apa?" bisik Sojin, matanya membesar.

"Aku cuma mau lihat wajahmu lebih dekat," sahut Namgil santai.

Dusta.

Sojin tahu cowok itu hanya mencari alasan agar bisa menikmati ekspresi malu-malu di wajahnya.

Jantung Sojin berdetak semakin kencang ketika Namgil meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Tangannya besar dan hangat, berbeda dengan tangannya yang lebih kecil.

"Namgil, kau..."

"Mm?"

"Apa ini tidak berlebihan?" Sojin menundukkan kepala, tapi tetap membiarkan jemari mereka bertautan.

Momen manis itu langsung buyar ketika pintu Ruang UKS terbuka.

"Ehem!"

Oh, tidak!

Sojin buru-buru berdiri. Saking paniknya, Sojin tanpa sengaja menginjak kaki Namgil.

"Arkh!"

Sojin gelagapan. "Eh, aduh... maaf! Aku tidak sengaja, aku—"

"Sedang apa kalian di sini?" tanya Sejung ssaem dengan tampang galak.

Di telinga Sojin dan Namgil, pertanyaan itu terdengar seperti sirene darurat yang menandakan mereka akan segera dieksekusi.

Pelajaran yang dapat dipetik hari ini: Selalu kunci pintu UKS jika ingin berduaan dengan pacar.

Namgil menggaruk tengkuknya, berusaha mencari alasan. "Emm... kami... bersenang-senang?"

Sojin ingin menampar dahi cowok itu sekarang juga. SERIOUSLY?!

Sejung ssaem menyipitkan mata curiga. "Kalian membolos hanya untuk mojok di UKS?"

Sojin dan Namgil menunduk dalam-dalam.

"Minggu lalu ada pasangan seperti kalian ketahuan bermesraan di sini," lanjut Sejung ssaem. "Aku tidak pernah pilih kasih. Jadi, kalian dihukum."

"Eh?!"

.

.

.

Banyak hal di dunia ini yang dianggap memalukan oleh Jiha. Salah satunya adalah nilai merah, lainnya adalah hukuman dari sekolah. Keduanya sih, berhasil Jiha hindari selama ini.

Namun sekarang, nasibnya kurang berutung.

Air yang menggenang di trotoar membasahi sepatu dan ujung bawah celana jinsnya, membuat Jiha mendecak kesal. Gerimis yang belum berhenti sejak subuh tadi membuat jalanan becek di mana-mana. Jiha merapatkan jaketnya dan menarik tudungnya menutupi wajah. Selain untuk menghindari pecikan air hujan, dia juga tidak ingin ada kenalan yang melihatnya memasuki gerbang sekolah di hari Minggu. Sekali lagi dia mengutuk dalam hati. Orang tuanya sama sekali tidak senang, menurut mereka, kelakukan Jiha kali ini tidak sesuai standar yang ditetapkan anak-anaknya.

Haha. Standar?

Mungkin itulah alasan mereka tidak bersedia mengantar Jiha dan membiarkannya ngeluyur sendiri ke sekolah di tengah guyuran hujan. Mereka malu, mungkin?

Gerbang sekolah terbuka. Jiha terpaksa berlari tergesa-gesa melewati pos satpam, menghindari tatapan curiga satpam yang bertugas hari ini. Semua orang tahu siapa Jiha, dia bukan tipe murid yang akan muncul di hari Minggu untuk menjalani hukuman detensi yang menyiksa batin.

Suasana sekolah sungguh berbeda auranya di hari Minggu. Tidak ada suara murid yang tertawa atau berteriak riang, tidak ada bunyi langkah berkeliaran, bahkan tidak terdengar suara sapu petugas kebersihan. Lorong-lorong sebagian besar sepi dan gelap. Apalagi cuaca mendung memperparah keadaan gelap minim cahaya dari lorong-lorong ini. Tidak ada sinar matahari masuk melalui jendela.

Semua ruangan jadi terlihat seram, pikir Jiha.

Dia melangkah cepat-cepat menyusuri koridor sekolah yang lengang, tanpa makhluk hidup kasat mata mondar-mandir seperti hari-hari biasa. Pintu-pintu besi mejeng menghalangi akses koridor-koridor di sekolah ini, banyak yang sengaja digembok oleh penjaga sekolah. Jiha membuka tudung jaketnya, masuk melalui pintu kantin, kemudian menelusuri lorong panjang yang sepi, tanpa berani menoleh langsung menuju perpustakaan.

Pintu perpustakaan terbuka sedikit, cahaya lampu neon mengintip dari celahnya, pasti sengaja dinyalakan karena ruangan luas itu minim jendela, demi melindungi ribuan buku di dalam. Jiha mendorong pintu pelan-pelan, mengintip dulu, celingukan sebentar, berdoa semoga dia tidak berhadapan langsung dengan tampang seram pelancar mules milik Dongwon ssaem.

Harapannya terkabul. Di deretan bangku dan meja di sisi kiri ruangan, Jiha melihat cowok yang dikenalinya. Min Yoohan. Masih sepi sih. Min Yoohan jadi tampak terlalu kecil untuk ruangan sebesar ini. Menurut gosip yang berhasil disebar informan terpercaya Hyeri, bakalan ada enam tersangka kurang beruntung lainnya. Jiha tidak tahu siapa mereka, dia cuma tahu Yoohan dan si panjul Jeon Junseok menyebalkan amit-amit.

Jiha mendatangi kursi di sebelah Yoohan, duduk, segera melepas tas ransel dari pundaknya. Jiha mencuri pandang ke cowok di sampingnya, dia terlihat bosan, kepalanya menunduk, dan dagunya berada di meja.

"Terima kasih lagi. Baik sekali Yoohan-sshi mau membelaku," sapa Jiha dengan nada ceria dan senyum ramah.

"Aku cuma termotivasi oleh prinsip. Aku punya prinsip. Aku melakukannya karena prinsip, aku tidak jatuh cinta padamu," tegas Yoohan.

Harus ya dia mengulangi "prinsip" sebanyak tiga kali?

"Jadi apa yang membuatmu yakin bukan aku pelakunya?" tanya Jiha.

"Sedikit kemampuan telepati, disertai penarikan kesimpulan logis menurut hasil pengamatan di lapangan..."

Jiha terdiam. Apa itu tandanya Yoohan diam-diam mengamati semua orang termasuk Jiha? Hmm... menarik juga. Orang yang paling kelihatan tidak peduli rupanya pengamat yang baik.

"Jadi, kenapa kau mau-maunya menanggung kesalahan bocah seperti itu?" Yoohan bertanya balik.

Jiha mengedikkan bahu. "Entah, mungkin aku punya masalah kejiwaan? Mungkin kabel di kepalaku putus?"

Yoohan berdecak-decak. "Seharusnya kau tidak berada di sini."

"Seharusnya seonbae tidak berada di sini," balas Jiha.

"Dia sampah masyarakat dan tidak layak dilindungi," ucap Yoohan, benar-benar kejam.

Tanpa belas kasihan. Jarang ngomong, sekalinya mengeluarkan suara, itu yang kalian dapat.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Junseok membuka pintu dan langsung sumringah menemukan tampang keruh Jiha. Senyum kurang ajar terpampang di sana. "Wow... ada tuan putri. Apa yang dilakukan Tuan Putri Sempurna di sini?"

Dia bodoh ya?

Jiha mendecak sebal, memejamkan mata lalu menghela napas. Pokoknya tidak ingin mengobrol dengan cowok itu apalagi beramah-tamah. Mana senyum jahilnya selalu membuat Jiha tidak nyaman.

"Tutup mulut, anak kecil! Pulang sana!" ketus Jiha tidak sudi menatap Junseok.

Bukannya duduk di kursi lain di deretan belakang, Junseok malah menarik sebuah bangku, menyeretnya ke sebelah Jiha kemudian duduk dengan santainya.

Tanpa bisa menahan diri, Jiha mengangkat pandangan dan mendapati Junseok menyunggingkan senyum terkenalnya itu. Senyum yang mengerutkan kulit di sekitar matanya.

Jiha belum pernah berada sedekat ini dengan Junseok. Mau tak mau, mengendus wangi parfum Junseok yang beraroma segar dan tajam. Jiha tidak menyangka berandalan seperti Junseok mau repot-repot menggunakan parfum, cologne, atau bahkan deodoran sekalipun.

Lengan cowok itu lebih besar dan berotot jika diamati dari jarak dekat. Barangkali dia perlu menjaga stamina agar bisa menggencet dan menghajar murid baru tahun depan. Rasa jengkel berubah menjadi takut membayangkan segala hal yang mampu dilakukan Junseok dengan ukuran lengan sebesar lengan Hulk. Jiha mengeluarkan ponsel dari saku celana, pura-pura sibuk.

"Apa yang dilakukan Tuan Putri Sempurna di tempat seperti ini?" Junseok sengaja bertanya lagi untuk mengetes kesabaran Jiha, ekspresi wajahnya benar-benar menjengkelkan.

"Biar kuingatkan, Tuan Sok Hebat. Gara-gara kau, kami kena sial," ucap Jiha malas.

Baru saja Jiha hendak berdiri untuk pindah tempat, tangan besar Junseok menyambar pergelangan tangan ramping milik Jiha.

"Membosankan sekali," komentar Junseok, senyum tipis, senyum meremehkan. "Cukup berinteraksi satu kali denganmu dan aku berhasil mengeluarkan sifat aslimu. Kata cowok-cowok di sekolah ini kau misterius. Padahal kau cuma cewek manja. Dimana menariknya? Sekarang kau terdampar di ruang hukuman bersamaku. Demi apa?" tantang Junseok. "Supaya kau terlihat baik dan manis di mataku? Supaya aku menyukai Tuan Putri Sempurna lengkap dengan imej yang kau tunjukkan di depan semua orang?"

Mulut Jiha nyaris menganga lebar saking kagetnya mendengar tuduhan tidak adil cowok biadab itu.

"Kenapa?" Junseok tersenyum layaknya makhluk paling brengsek dan memang itulah dia. "Tidak boleh ya merusak sedikit citra sempurnamu? Noona... kau terlalu kaku!"

Jiha merenggut kasar tangannya dari cengkraman Junseok. Buru-buru berdiri. Tapi, sebelum dia sempat melangkah, pintu perpustakaan terbuka lebar.

Dongwon ssaem berderap masuk dengan tampang cemberut permanen terukir pada wajah setampan aktor drama. Tampan dan keren. Sayangnya, terlalu galak untuk disukai siapa pun.

Guru olahraga jangkung dan tegap itu berdiri sejenak di dekat pintu, melotot seolah ingin melubangi wajah orang. Jiha segera duduk kembali, sedangkan Junseok bergegas mengembalikan bangku yang diseretnya tadi, kemudian duduk persis di belakang gadis mungil itu.

"Mana yang lain?" tanya Dongwon ssaem.

Yoohan menyahut malas. "Belum datang."

"Kau! Heh! KAU!" Dongwon ssaem menjentik-jentikkan jari-jarinya yang tebal dan keras, bunyi nyaringnya meramaikan kekosongan. Sorot tajam pria itu melibas Junseok. "Peringatan terakhir untukmu! Sekali lagi kau kena detensi semester ini, kupastikan kau tidak naik kelas! Jangan kira aku tidak berani membuatmu tinggal kelas, Jeon!"

Jiha tertawa dalam hati. Soalnya dia curiga kayaknya Junseok memang tidak pernah naik kelas selama 10 tahun berturut-turut. Habisnya badan bongsor cowok itu tidak cocok sama tingkat. Kelas satu? Masa sih? Kelas satu sepuluh kali, itu baru masuk akal!

"Terserah kau mau menganggapku main-main. Asal jangan sembunyi dibelakang punggung orang tuamu seperti banci." Dongwon ssaem menggebrak meja, yang terlonjak kaget dari tempat duduk sambil gelagapan hanya Jiha. "Kau dengar aku!?"

"Yoyoi, sir!" Junseok mengangkat jari metal.

BRAKKK! Tangan besi Dongwon menampar meja.

Junseok tanpa gemetar memelototi pria di depannya dengan senyum kalem dan wajah kalem. "Baik, pak, saya paham, terima kasih atas perhatiannya."

Dongwon ssaem membawa tubuh tinggi menjulangnya pergi dari sana, pintu perpustakaan dibanting sampai menutup.

Jiha menghela napas. Merasa pundaknya dicolek-colek dari belakang, Jiha tampar tangannya. Bodo amat. Dia kesal.

.

.

Bersambung...

1
QueenRaa🌺
Keren banget ceritanya thorr✨️ Semangat up!!
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Mara Rainey: siappp aku akan mampir. makasih juga lho udah berkenan mampir dan meninggalkan komentar serta vote. /Heart/
total 1 replies
QueenRaa🌺
satu kata untuk novel ini, SERU!
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami
Mara Rainey: Makasih bangett untuk reviewnya, aku akan berusaha lebih baik lagi dan lebih semangat lagi. senengg banget dikunjungin author favoritkuuu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!