"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 12
“Kalian berdua sangat serasi,” ujar Ferdinand, pria paruh baya itu merupakan ayah dari pengantin wanita dan Tuan rumah acara.
Brica tersipu, ia pandang wajah Gustav dari samping yang tidak menampakkan raut apa-apa.
Wanita itu berdeham kecil. “Om terlalu memuji, kami bukan pasangan, hubungan kami belum sampai ke tahap situ iya kan, Gustav?” ucap Brica menggoyangkan lengan pria di sampingnya.
“Bukan pasangan apanya kalian terus bergandengan seperti prangko sejak datang sampai sekarang,” kekeh Ferdinand.
“Ngomong-ngomong, konsep dan dekorasi pesta ini sangat indah, selera Om Ferdinand memang tidak diragukan lagi,” puji Brica.
“Aku rasa aku akan mengambil ide Om ini untuk konsep pernikahanku juga nanti,” sambungnya menatap Gustav.
“Kamu dengar, Gustav. Itu kode keras dari pihak wanita,” celetuk Rose, istri Ferdinand, pasangan suami-istri itu terkekeh menggoda.
Wanita itu sejak awal sangat setuju dengan hubungan keduanya karena dia adalah teman baik ibu Brica.
“Masih terlalu jauh untuk membicarakan pernikahan, Tante. Saya juga masih mau fokus pada hotel,” jawab Gustav akhirnya setelah lama diam.
Orang-orang ini terlalu melebih-lebihkan, pikir Gustav. Jika saja bukan karena hubungan baik antara kakeknya dan kakek Brica, maka Gustav pasti akan menolak membawa Brica untuk jadi pasangannya malam ini.
Bukan karena tidak cantik, tapi Brica terlalu banyak omong, Gustav lebih suka perempuan yang pendiam dan penurut. Seperti gadisnya.
Gladys?
Gustav mengernyit begitu mencium aroma yang begitu familier di hidungnya. Matanya menelisik ke sekitar sebelum suara Brica menginterupsinya.
“Gustav, kamu sedang mencari siapa?”
Gustav menggeleng. “Tidak ada.”
“Bukankah kamu sudah mulai belajar mengelola hotel sejak remaja? Oh, ayolah Gustav, sudah saatnya kamu melepas masa lajang, punya istri itu enak loh,” ungkap Ferdinand menoleh pada istrinya. Rose mencubit lengan Ferdinand malu.
“Kehidupan lajang dan menikah itu jauh berbeda, sejak menikah kau pasti selalu mencari alasan untuk pulang ke rumah, pulang untuk sekedar melihat senyum dan merasakan pelukannya, di saat itulah semua lelahmu akan terganti menjadi damai.”
Gustav menyungging senyum, tanpa pernikahan ia sudah mendapatkan semuanya dari Gladys.
Gladys yang setia menunggunya hingga malam, Gladys yang siap memeluknya setiap dia datang, dan Gladys yang ketika berada di atas dadanya Gustav bisa tidur dengan nyaman. Segala hal dari perempuan cantik itu bisa ia dapatkan bahkan harga diri sekalipun tanpa repot-repot menikah.
“Itulah cinta, hanya dengan melihat wajahnya saja kau merasa bahagia,” ujar Ferdinand lagi.
“Cinta?” beo Gustav.
Ferdinand mengangguk. “Benar, cinta. Saat kau bersamanya kau merasa bahagia, saat kau berada di pelukannya kau merasa nyaman, dan saat jauh darinya kau terus memikirkannya, itulah yang di sebut sebagai cinta.”
Ucapan pria tua itu membuat Gustav terdiam, ia merasakan semua yang dikatakan oleh Ferdinand pada Gladys, tetapi sama sekali tidak mencintai perempuan itu.
“Brica, sepertinya Gustav sedang denial dengan perasaannya, kamu harus sabar meyakinkan hatinya,” celetuk Rose.
Brica terkekeh kecil, “Tidak apa-apa, Tante. Gustav orangnya memang begitu, dia tidak denial dengan perasaannya tapi hanya gengsi saja.”
“Gustav, ayo kita duduk sekarang, aku sudah lelah berdiri,” ajak wanita itu.
Gustav mengangguk menatap wajah cantik Brica. “Ayo,” ajaknya membawa Brica ke meja.
Saat sedang asyiknya menikmati alunan musik klasik yang di mainkan oleh orkestra ternama Gustav menoleh ke belakang begitu mendengar suara yang sangat familier di telinganya.
“Gladys, ini jus mu,” ujar George memberikan gelas jus apel pada Gladys yang duduk menunggu sejak tadi.
“Terima kasih,” ucap Gladys menerima jusnya.
George duduk di samping Gladys. “Sebentar lagi dansa di mulai, kamu mau ikut berdansa dengan saya?” ajak George.
“Dansa? Tapi aku tidak pandai berdansa,” keluh Gladys cemberut.
“Tenang saja, dansa itu mudah. Saya akan mengajarinya, kamu nanti hanya perlu mengikuti perkataan saya, bagaimana?” tawar pria itu memegang tangan Gladys di atas meja.
Gladys yang tidak menyadari tangannya di pegang mengangguk saja, tidak ada salahnya belajar hal-hal baru kan? Pikir Gladys tidak menyadari jika Gustav sudah kebakaran jenggot di depan sana.
Apa-apaan ini? Kenapa kau ada di sini bersama bajingan itu?
Dan apa itu? Berani sekali pria bernama George itu memegang tangan miliknya?
“Gustav, ayo kita berdansa, kamu sudah janji tadi mau berdansa denganku,” celetuk Brica menyadarkan kemarahan Gustav.
Musik iringan dansa sudah mengalun lembut, pasangan-pasangan lain bahkan turun ke lantai dansa bersiap mengikuti tarian sesuai instruksi protokol acara.
“Mari,” ucap Gustav meraih tangan Brica, wanita itu mengangguk kecil menerima uluran tangan Gustav.
“Sudah mau di mulai, ayo Gladys!” George pula menarik tangan Gladys ke lantai dansa.
“Eh, pelan-pelan saja jalannya George!”
George dan Gladys berdiri di sudut yang berbeda dengan Gustav dan Brica. Pria berdarah Inggris itu mengajari Gladys gerakan dansa dan penempatan tangan.
Saat dansa di mulai Gladys mengikuti irama musik dengan gerakan yang kaku, George sampai tertawa melihat wajah gugup Gladys yang tidak bisa perempuan itu sembunyikan sama sekali.
“Yah, bagus, seperti itu,” ucap George mengarahkan gerakan kaki Gladys.
“Seperti ini?” tanya Gladys mulai paham dengan gerakan berulang yang diajarkan oleh George.
“Bagus, sekarang berputar.” George melepaskan tangan dari punggung Gladys mengangkat tangan kiri memberi isyarat agar si perempuan berputar.
Gladys mundur selangkah berputar di bawah lengan George, setelah berputar pria itu menangkap pinggang Gladys kembali pada posisi semula.
“Bagus, kamu cepat belajar,” puji George, mereka kembali berdansa dengan lembut.
Pipi Gladys memerah malu. “Terima kasih.”
“Sebentar lagi pergantian pasangan, kamu bisa kan?” tanya George, Gladys mengangguk.
“Bisa.”
Para pasangan di lantai dansa itu menari seirama, berputar dengan anggun membentuk pola lingkaran.
Gladys mengikuti instruksi George, berputar lalu mendapatkan pasangan baru, melakukan beberapa gerakan dansa lalu berputar lagi dan berganti pasangan dengan pola berurutan.
Terlalu asyik melakukan dansa, Gladys sampai tidak sadar jika Gustav sudah ada di dekatnya dan pada putaran terakhir perempuan itu terkejut setengah mati begitu Gustav menangkap pinggangnya.
“G—Gustav?”
“Kenapa kau ada di sini?” Pria itu langsung memberondong Gladys dengan pertanyaan.
Tangan besarnya yang berada di pinggang Gladys naik meremas punggung terbuka perempuan itu geram.
“Aku diajak oleh George,” ujar Gladys berputar di bawah lengan Gustav lalu pria itu menangkap pinggangnya.
Kali ini Gustav tidak membiarkan Gladys berganti pasangan lagi, tangannya memegang Gladys erat tanpa memberi celah untuk berganti.
“Lalu kau mau-mau saja? Berani sekali kau pergi ke pesta dengan pria lain tanpa memberitahuku,” bisik Gustav, aroma manis Gladys langsung tercium di hidung, membuat ia ingin menyesap leher putih perempuan itu.
“Maaf, aku menerima ajakan ini karena penasaran rasanya pergi ke pesta dansa,” ucap Gladys, lagi-lagi dialah yang harus mengalah duluan.
“Lagipula jika kuberi tahu pun kamu pasti tidak akan sudi membawaku sebagai pasanganmu,” tambah perempuan itu Gustav terdiam.
Gustav membenarkan perkataan Gladys, karena jika pun gadisnya ini memohon Gustav tidak akan membawanya, ia akan lebih memilih menggandeng salah satu anak dari rekan bisnisnya.
“Kau tidak pantas berada di sini, ini bukan tempatmu!” sarkas Gustav, Gladys tertohok.
“Itu kan menurutmu, bukan menurutku atau orang lain, malam ini kita datang dengan pasangan masing-masing, jadi anggap saja kita tidak saling mengenal.” Entah keberanian dari mana Gladys berucap seperti itu.
Entahlah, Gladys tidak peduli, walaupun Gustav akan membentak atau menamparnya nanti, ia juga ingin menikmati hidupnya sejenak bersama orang yang pandai menghargainya.
Alunan musik dansa selesai, begitu pun dengan dansa yang berakhir, setelah gerakan terakhir Gladys meninggalkan Gustav begitu saja yang menatap punggungnya menjauh.
“Kau sudah pintar melawan sekarang?” sinis pria itu mengepalkan tangan.
Brica yang sudah lama terpisah dari Gustav sejak pergantian pasangan pertama menatap punggung Gustav yang terdiam sendiri di tengah lantai dansa.
Sejak tadi ia menyaksikan bagaimana Gustav dan gadis muda itu berinteraksi dengan intim bahkan Gustav beberapa kali seperti mau mencium gadis itu. Sayang sekali dia tidak melihat wajahnya dengan jelas karena posisinya jauh.
“Siapa gadis itu? Seingat ku Gustav tidak pernah terlibat skandal dekat dengan wanita manapun selain rumor menikah denganku,” gumam Brica berpikir, kemudian bibirnya menyungging senyum miring setelah dirasa otaknya memberikan jawaban.
“Ternyata selama ini kau menyembunyikan kekasihmu dengan rapi, Gustav,” kekeh Brica.