Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Adel... salim Nenek sama Kekek dulu sayang..." Rumi melambaikan tangan agar Adeline mendekat. Adeline menyelipkan rambutnya yang berantakan ke atas daun telinga lantas berlari.
Pak Seno dan bu Astiti bengong melihat pipi chuby putih kemerahan, rambut ikal tanpa disisir khas bangun tidur, tetapi tidak mengurangi kecantikan bocah itu. Tangan mungil itu pun meraih punggung tangan pak Seno menciumnya, lalu pindah ke tangan Astiti.
"Nama kamu siapa sayang..." bu Astiti membungkuk memandangi wajah Adel seketika jatuh hati walaupun entah siapa anak itu.
"Nama saya Adel Oma. Adeline Zivana" Adel menyebut nama lengkap. Adel langsung akrab mengurai senyum, menampilkan gigi putih, mata lentik kebiruan. Membuat bu Astiti semakin kagum.
"Kita masuk yuk" bu Astiti menuntun Adel ke dalam rumah. Sementara pak Seno masih mencecar pertanyaan Arumi seputar Adel.
"Adel itu anak bos aku di perusahaan sepatu terkenal di Tangerang Yah"
"Memang kamu bekerja?" Potong pak Seno. Pak Seno sebenarnya tidak mengizinkan Arumi bekerja yang terlalu memporser diri. Ia lebih senang anak perempuannya mengajar. Jika suatu saat nanti Arumi menikah dan mempunyai anak, waktunya tidak tersita habis untuk bekerja, tentu kasih sayang anak-anak tidak akan berkurang. Seperti yang Seno terapkan kepada sang istri. Seno tidak melarang Astiti bekerja tetapi harus bisa membagi waktu untuk Arumi dan Yudha.
"Iya, hihihi..." Arumi terkikik karena sudah bisa menangkap bahwa sang ayah tidak mengizinkan. "Tapi sekarang sudah berhenti kok Yah" sambung Arumi.
"Kamu ini, pantas saja skripsi kamu kemarin hampir gagal" Pak Seno memeluk pundak putri kesayangan itu. Arumi memang selalu dimanja oleh pak Seno, hampir tidak pernah dimarahi jika bukan karena melakukan kesalahan besar, maka Arumi syok ketika mendapat perlakuan kasar dari Davin.
"Sebaiknya kita ke dalam Yah. Ayah istirahat dulu" Arumi mengait lengan pak Seno, setelah istirahat nanti baru akan berbicara serius. Tiba di ruang tamu, Arumi memandangi bu Astiti yang masih mengajak Adel ngobrol sambil tertawa.
"Ya Allah... semoga Ayah juga sayang pada Adel seperti Ibu" batin Arumi, ia berharap semuanya akan berjalan lancar.
"Arumi... Ibu ganti baju dulu, terus kita makan bareng Nduk" ucap bu Astiti ketika menyadari bahwa Arumi sudah di belakangnya.
"Iya Bu" Arumi mengajak Adel ke kamar, sementara bu Astiti ke kamarnya sendiri bersama sang suami.
"Ibu kenapa?" Pak Seno yang sedang membuka kemeja merasa ada yang aneh dengan istrinya itu. Ia memandangi bu Astiti yang duduk di pinggir tempat tidur sambil melamun.
"Tidak apa-apa" bu Astiti pun melangkah ke kamar mandi, lima menit kemudian kembali.
"Ayo makan dulu Yah" ajak bu Astiti setelah ganti baju batik atas bawah bahan adem untuk santai di rumah.
"Ibu sayang sekali dengan anak itu, dulu Ayah menyuruh Ibu hamil lagi tidak mau" pak Seno yang tengah rebahan terkekeh. Sebenarnya pak Seno hanya memancing kata-kata Astiti agar bercerita apa yang membuatnya risau.
"Yah..." Astiti kembali duduk.
"Ternyata anak kita sudah menikah" bu Astiti akhirnya mengungkapkan keresahan hati. Ia rupanya mendengar celotehan Adel.
"Jangan ngawur Bu" pak Seno tentu saja tidak percaya. Sebab, jika Arumi menikah tentu akan menjadikan dia wali nikah.
"Sebaiknya kita makan siang dulu Yah, setelah makan nanti Rumi kita ajak bicara" pungkas Astiti lalu ke luar diikuti suami.
Sementara di kamar Arumi, Adel sedang berbicara di telepon dengan Davin. Anak itu menceritakan sepanjang perjalanan hingga tiba di rumah oma dan opa. Begitulah Adel memanggil kedua orang tua Arumi.
"Ya sudah... Adel tidak boleh nakal ya, harus nurut sama Aunty Rumi" nasehat Davin.
"Iya Papa" Adel mengakhiri obrolan bersama Davin, lalu memberikan hape kepada Arumi karena Davin ingin berbicara kepadanya.
"Ada apa?" Tanya Rumi sekenanya karena tiap kali akan berbicara dengan Davin merasa bingung.
"Katanya Ayah sama Ibu kamu sudah kembali, lalu apa tanggapannya?"
"Tanggapan apa? Belum juga cerita. Beliau kan baru tiba" ketus Arumi.
"Ya sudah, saya menunggu keputusan saja" pungkas Davin.
Rumi menurunkan hape dari telinga ketika Davin menyudahi percakapan. Ia kemudian mengajak Adel ke meja makan. Di tempat itu rupanya ayah, ibu dan kakak sudah berkumpul.
"Ayo makan dulu" titah bu Astiti tidak menampakkan wajah risaunya di depan Arumi.
"Iya Bu, aku ambil kursi untuk Adel dulu" Rumi ambil satu kursi yang berbeda, lalu meletakkan di sebelah Yudha, karena kursi meja makan hanya ada empat.
"Adel makan dulu ya" Arumi mengambil nasi, sayur sop, dan ayam goreng kesukaan Adel. Ketika baru tiba tadi, Arumi minta Mbok agar memasak yang berbeda untuk Adel.
"Woltel nya yang banyak ya Ate" Adel memang menyukai woltel.
"Tentu dong" Arumi meletakkan piring di depan Adel.
"Om kok nggak pakai sayul? Pantas, kulit Om Yudha nggak belsih" celetuk Adel mengundang tawa semua yang berada di meja makan. Yudha hanya ambil ikan goreng, tempe, sambal dan lalapan.
Yudha yang hendak menyuap pun menurunkan kembali, ia kaget lalu menatap tangannya yang berdekatan dengan tangan Adel tentu sangat kontras. Kulit Yudha sawo matang, sementara Adel putih kemerahan.
Arumi terkikik memperhatikan reaksi kakaknya yang menjauhkan tangannya dari tangan Adel.
"Kulit Om bukan nggak bersih, tapi kebanyakan orang jawa warna kulitnya begini" Yudha gemas tiap kali mendengar ucapan Adel yang ceplas ceplos tapi benar.
"Sudah... sekarang Adel makan dulu" Arumi pun ambil nasi dengan sayur sop, sambel, dan tempe, untuk dirinya sendiri.
Sementara pak Seno diambilkan oleh Astiti. Mereka makan dalam diam, sesekali pak Seno melirik Adel di sebelahnya. Walaupun masih kecil anak itu pandai makan sendiri.
Makan pun selesai, kemudian pindah ke ruang keluarga. Di atas karpet mereka duduk santai di sana.
"Adel punya kakak tidak?" Pak Seno menyela Adel yang sedang cekikikan dengan Arumi.
"Adel nggak punya Kakak, nggak punya adik Opa, tapi Adel punya Ate Lika yang galak" Adel cemberut mungkin ingat Malika.
Sore harinya Arumi menyuruh Adel mandi ditemani mbok, kemudian mengumpulkan ayah, ibu dan Yudha di ruang keluarga. Tentu Arumi mengatakan niatnya untuk menikah dengan Davin dan menjadi ibu sambung Adel.
"Kamu yakin Nduk?" Bu Astiti tidak menyangka jika putrinya akan menikah secepat itu. Padahal pak Seno dan bu Astiti tahu benar bahwa Arumi akan menikah ketika usia 25 tahun.
"Aku sudah pikirkan ini matang-matang, Bu" Arumi menjelaskan. Namun, dia tentu tidak mau membuka rahasianya jika menikah hanya demi Adel.
"Jadi kamu melangkahi Mas Mu yang tampan ini Arumi" Yudha yang sudah tahu sebelumnya hanya berkelakar.
Jika Astiti dan Yudha menyerahkan keputusan ini kepada Arumi, berbeda dengan pak Seno. Pria itu hanya diam entah apa yang ia pikirkan.
...~Bersambung~...