Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32 - Pengkhianatan
“HAHAHAHA!”
Suara tawa terdengar menggelegar, mengambang di langit. Gemerlap dari kilat yang mengakar menambah kesan tegang.
Mendengar perkataan Tuan Minos barusan, pria tua berambut kusut itu justru merasa geli. Tak nampak raut ketakutan, bahkan rasa terkejutnya telah terhempas bersamaan dengan angin yang berembus dingin.
“Aku tidak salah dengar, kan?” Sebelah alisnya terangkat naik, tatapan matanya membidik sempurna lawan bicaranya. “Hanya dengan mengandalkan emosi, kau tak mungkin bisa mengalahkan aku.”
“Memangnya kau siapa?” tanyanya lagi, kakinya perlahan melaju. Berjalan mendekat ke depan.
Sementara Tuan Minos masih mematung di tempat. Matanya begitu awas mengamati langkah demi langkah milik pria dihadapannya.
Saat tersisa beberapa langkah lagi, kakinya berhenti. Telunjuknya diarahkan pada Tuan Minos. “Kutukanmu tidak akan bisa dipatahkan, terimalah takdirmu itu!”
Sudut mulut Tuan Minos yang hancur tampak menyungging. Tersenyum meremehkan. “Jangan karena Naina berada di tanganmu—”
“Di tanganku?” potong pria tua itu secepat kilat, sebuah tawaan mengiringi tatapannya yang memberi maksud lain. “Dia bukan hanya berada di tanganku, tapi juga berada dipihakku!”
Ekspresi Tuan Minos menunjukkan kebingungan, merasa ambigu dengan pernyataan tersebut. “Apa maksudmu?”
Pria itu kembali terkekeh jengkel, lantas membalikkan badan. “Bagaimana jika kukatakan bahwa wanitamu yang datang sendiri padaku?”
“Tidak mungkin!” sanggah Tuan Minos, beranggapan bahwa Naina tak mungkin melakukan hal semacam itu.
“Dia datang padaku karena keinginannya sendiri. Dia berkata ingin melarikan diri darimu. Sejak awal, bukankah kalian—”
“Hentikan! Aku tidak ingin mendengar bualan busukmu!” Tuan Minos kembali menyela ucapannya, kepalanya geleng-geleng, mencoba menghilangkan perkataan negatif yang bisa mengelabui pikirannya.
“Tenanglah, Tuan. Kau harus bisa mengendalikan diri,” bisik Tora yang sejak tadi bertengger pada bahu Tuannya.
Tuan Minos menaikkan dagu, bertanya dengan lantang, “Memangnya kau tahu apa tentang kami?”
Pria tua itu mendesis. Setengah tubuhnya berbalik. “Setidaknya aku tahu, kau menggunakan gadis itu untuk mematahkan kutukanmu, kan?”
“Diam! Kau tidak berhak menilai tentang hal itu. Jikapun memang iya, itu jelas bukan urusanmu!” geram Tuan Minos seraya mengepalkan tangan.
“Tentu itu jadi urusanku. Karena yang menginginkan gadis itu bukan hanya kau saja. Tapi aku juga!” balasnya tak mau kalah.
Situasi kian memanas. Perdebatan mereka disaksikan oleh sepasang mata yang bersembunyi dibalik semak-semak. Memantau diam-diam, menguping ucapan mereka dengan perasaan penuh tanda tanya.
Tora terbang dari bahu Tuan Minos, berniat untuk mendekat pada Naina dan melihat dari dekat sosok perempuan yang terbaring di sebelahnya. Tapi belum sampai ke sana, sebuah hembusan angin yang kuat membuat tubuhnya terpental hingga membentur pohon besar.
“Tora!” teriak Tuan Minos ketika tahu burung gagak miliknya sudah terkapar di tanah.
“A-aku baik-baik saja, Tuan,” rintih Tora dengan tubuh yang tampak ringkih, sebelah sayapnya tampak patah.
“Jangan berani-beraninya kau dekati putriku!” ancam pria tua itu dengan mata melotot.
Mendengar hal itu, pandangan Tuan Minos berpindah. Menatap perempuan yang dia maksud, juga menatap Naina yang terbaring di sana. Masa bodo dengan putri dari pria tua itu, hatinya memanas saat melihat Naina yang berbaring tak berdaya.
“Apa yang sudah kau lakukan pada istriku dasar keparat?!” Kedua mata Tuan Minos sempurna membelalak, seluruh permukaan tubuhnya semakin mengepulkan asap, persis seperti gunung yang tengah erupsi.
“Istrimu?” Kepalanya dimiringkan sembari menyeringai penuh arti, tubuhnya dicondongkan, mengikis jarak dengan lawan bicaranya.
“Setelah apa yang selama ini telah kau perbuat padanya, kau masih menyebut dia sebagai istrimu?” tanyanya lagi, tatapannya itu seperti sedang meremehkan.
“Hei, sadarlah! Ikatanmu dengannya telah berakhir!” tambahnya kemudian, lantas menggelak tawa puas.
Sedang Tuan Minos masih bergeming, tapi nampak jelas bahwa emosinya kian tersulut. Kulitnya yang sekejap menyala dan sekejap meredup itu membuat permukaan yang dipijakinya terlihat meleleh.
Pria itu merogoh sesuatu dari kantung bajunya, mengeluarkan sejumput rambut sambil melebarkan senyum. “Kau lihat ini? Bukankah ini rambutmu?”
Segumpal rambut yang berada dalam tangan pria keriput itu berhasil menarik atensi Tuan Minos sepenuhnya. Dalam hitungan detik, gumpalan rambut tersebut ia rebut untuk memastikan ucapannya.
“Rambut itu tak mungkin datang sendiri padaku. Dan akulah yang menjadi perantara dibalik ikatan kalian yang sudah berakhir. Sampai sini, kau paham kemana arah pembicaraanku?”
Tuan Minos membisu dalam diam. Perasaan gamang membuat napasnya tak stabil. Rasa takut dan trauma menyergap secara bersamaan, hatinya kadung sakit, saking sakitnya ia tak tahu harus merespon bagaimana mengenai situasi ini.
Merasa rencananya untuk menghasut pikiran lawan bicaranya berhasil, pria tua itu menyunggingkan bibir. Menilik lebih jeli paras Tuan Minos, merasa dejavu karena raga buruk rupa tersebut pernah dirinya pakai saat dulu.
“Ibumu adalah bukti nyata bahwa perempuan hanya bisa jatuh cinta pada pria tampan. Bahkan jika kau telah memberikan seisi dunia untuknya, itu tak bisa jadi jaminan. Nikmatilah kesengsaraan dalam takdir burukmu. Agar kau mengerti, itulah yang aku rasakan ketika dulu dikhianati oleh lacur yang menjadi ibumu.”
Tuan Minos yang sejak tadi hanya diam layaknya patung, seketika mendapat dorongan dan tenaga untuk menyanggah kembali ucapan pria tua tersebut. Merasa tidak terima karena wanita yang telah melahirkannya telah direndahkan.
Tanpa aba-aba, Tuan Minos mengulurkan tangan ke depan secepat kilat, mengincar leher penyihir di depannya. Lantas mencengkram dan mengangkatnya tinggi ke udara.
“Tutup mulutmu, bajingan!” teriak Tuan Minos seraya mengencangkan cekikannya.
“Seburuk-buruknya aku, lebih bejat dirimu! Demi kesenangan dirimu sendiri, kau rela menggunakan cara licik dan kotor. Kau telah menipu mereka semua, dan berpura-pura menjadi seseorang yang tak seharusnya kau—uhhkk!”
Cengkraman tangannya pada leher pria paruh baya itu terlepas, mendadak dadanya terasa dipukul oleh benda tumpul. Menyisakan rasa ngilu di sana, membuat kakinya berlutut, tubuhnya membungkuk, kepalanya nyaris bersentuhan dengan tanah, cairan kehitaman pun meluber dari mulutnya.
“Kumohon, bertahanlah, Tuan...” Tora berbisik lemah, suaranya nyaris tak keluar. Tubuhnya terasa remuk, sehingga tak mungkin bisa dirinya memberi pertolongan di situasi seperti ini.
“Kalung penangkal itu melemah, ya?” tanya pria itu sambil memasang ekspresi mengejek, merapihkan bagian kerah bajunya yang kusut.
Berbeda dengan Tuan Minos, meskipun usianya sudah tak lagi muda, ia menunjukkan bahwa apa yang telah dilakukan Tuan Minos sebelumnya tak memberi efek apa-apa. Justru ia terlihat segar bugar, siap memberi cemoohan lagi.
Mensejajarkan tingginya dengan Tuan Minos, ia memajukan kepalanya, kemudian berbisik tepat di telinga sosok yang tengah menahan kesakitan tersebut.
“Sudah kubilang, terimalah takdirmu. Sadarilah bahwa manusia buruk rupa sepertimu, tak pantas dicintai. Pengkhianatan akan selalu kau terima dan kehilangan akan selalu kau rasakan. Pada akhirnya, kau akan ... hidup dalam ... ke-aba-di-an.”
Usai mengatakan hal tersebut, ia beringsut dari posisi jongkok. Membiarkan Tuan Minos sibuk dengan rasa sakitnya sendirian.
Sementara dirinya akan kembali melanjutkan ritual yang sempat tertunda. Berjalan dengan tenang, mencari benda yang akan menjadi pengikat antara rambut Naina dengan putrinya. Setelahnya, segala yang telah diimpikan pun bisa terwujud.
“Sekarang, nikmati dan saksikanlah kekalahanmu untuk yang ke-sekian kalinya. Lihat baik-baik perempuan yang telah mengkhianatimu ini. Jangan terlalu naif hanya karena dia terlihat polos, kau tidak pernah tahu kan seberapa gigih dia ingin melarikan darimu?”
Tuan Minos menaikkan pandangan. Dalam posisi setengah bersujud, dan kondisi tubuhnya yang kian hancur, matanya masih bisa menangkap jelas, merekam jejak penyihir itu yang tengah berusaha melakukan sesuatu pada Naina.
“Bahkan ketika kau terbuai dan mulai percaya bahwa perempuan ini telah jatuh cinta padamu, kau tidak sadar dia telah mengambil rambutmu sebagai syarat untuk memutus ikatan. Aku harap kau bisa mengerti dan segera merubah cara pandangmu terhadap perempuan ini,” tambahnya sambil sesekali melirik pada Tuan Minos.
“... Dengan begitu, kau bisa merelakan perempuan ini untuk menjadi bagian dalam acara ritualku,” tutupnya yang diiringi tawa kemenangan.
Dia berlagak seolah-olah takdir baik akan selalu berpihak padanya. Dan dia kembali berpikir bahwa Tuan Minos, seorang laki-laki yang pernah menjadi bagian dalam keluarganya saat dulu, akan kembali memilih untuk menyerah.
“Aku rasa ... Kau benar.”
Mendengar adanya sahutan, penyihir yang sudah siap dengan alat-alat ritual di tangannya, langsung kembali menoleh padanya.
Meski harus tertatih-tatih, berulang kali mengetatkan rahang untuk meminimalisir rasa sakit yang menggerogoti, Tuan Minos tetap berusaha untuk berdiri lagi. Kakinya yang gemetaran, membuat tubuhnya sedikit terhuyung.
“Aku perlu hidup abadi karena aku masih perlu menyingkirkan manusia sepertimu dari dunia ini, kan? Dan aku juga perlu memastikan bahwa kau benar-benar tiba di neraka.”
***