Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28 - Malam Penentuan
Beberapa saat lalu dirinya berada dalam bayang-bayang ketakutan, beberapa saat selanjutnya semua bayangan suram akan masa depannya itu telah hilang sempurna.
Naina berhasil melepaskan diri dari jeratan Tuan Minos. Saat ini hingga ke depannya nanti Naina akan tinggal di sini dan tak akan pernah bertemu dengan pria itu.
Tak lama, sambutan riuh dari penghuni hutan mulai bersahutan, menarik Naina dalam lamunan. Gegap-gempita mengambang di langit. Rasa antusias mereka terhadap Naina benar-benar luar biasa.
“Selamat, Naina. Kau satu-satunya manusia yang tinggal di sini!”
“Selamat karena kau telah menjadi bagian hutan ini!”
“Selamat juga karena kau resmi bergabung menjadi penghuni hutan!”
Dan berbagai macam selamat lainnya Naina dapatkan dari para binatang itu. Semuanya menyambut Naina dengan penuh kehangatan, mereka berbondong-bondong, berhambur dan berbaur dengannya.
Kehidupan bebas dan impian menjalani hidup bahagia sudah di depan mata, tapi anehnya Naina merasa tidak se-senang apa yang selama ini dirinya pikirkan. Tepatnya setelah tahu ikatan antara dirinya dengan Tuan Minos benar-benar selesai, perasaan kosong seketika menempati habis ruang hatinya.
Di sela-sela tubuh para binatang yang berhimpitan, berdiri memenuhi pandangannya, Naina melihat tubuh rusa raksasa itu menjauh. Entah kemana akan pergi, hanya dia satu-satunya yang terlihat tidak se antusias yang lainnya.
“Naina, bagaimana jika kita keliling hutan? Aku dan beberapa binatang lainnya akan membawamu pada tempat-tempat spesial di hutan ini. Karena kau penghuni baru, maka sudah seharusnya kau mengetahuinya.”
Naina langsung angguk-angguk untuk menerima ajakan dari kuda bersayap tersebut. “Tentu, dengan senang hati.”
Setelah bangkit dari posisi duduknya di atas batu melayang, seekor burung putih dengan ekor panjangnya membawakan rangkaian bunga, langsung ditaruh pada kepala Naina.
“Wah, terima kasih banyak!” ujarnya sumringah sembari memberi elusan singkat pada burung itu.
Harum dari mahkota rangkaian bunga tersebut, berhasil mengusir gundah dalam hati Naina.
“Ada pesan dari Tetua. Besok pagi kau diminta datang ke sarang kabut. Ada hal yang harus kau lakukan di sana,” kata burung tersebut memberitahu.
Naina mengerut. “Sarang kabut? Dan apa yang akan aku lakukan di sana?”
Tapi sebelum pertanyaan itu terucap, burung tersebut telah lebih dulu pergi. Terbang tinggi dan menghilang di antara dahan pepohonan.
Maka kelinci raksasa yang berada di samping Naina lantas menyahut untuk mengusir rasa penasarannya, “Tidak semua penghuni hutan ini memiliki akses ke sana. Hanya beberapa saja. Jika kau diundang ke sana, maka itu sebuah keberuntungan.”
“Betul sekali!” timpal kura-kura yang hinggap di atas punggung kuda bersayap. “Bisa saja kau diangkat menjadi putri hutan di sini.”
“Putri hutan?” Naina semakin tidak mengerti. Terlalu banyak informasi yang harus dirinya pahami dalam satu waktu.
“Dulu pernah ada Putri hutan di sini. Kami sangat menghormati dan menyayanginya. Karena kejadian di masa lalu, dia—”
“Ekhem!”
Perkataan dari mulut kuda bersayap yang belum tuntas itu mesti berakhir karena disela tiba-tiba oleh dehaman milik seseorang. Lirikan mata mereka kompak tertuju pada sumber suara, pada Tetua yang entah sejak kapan ada di belakang mereka.
Tentu hal tersebut membuat mereka terkejut. Satu dua dari mereka langsung membungkuk, Naina yang menyadarinya pun ikut membungkuk.
“Biarkan Naina beradaptasi dulu di sini. Bukankah terlalu memberi banyak informasi akan membuatnya kebingungan?”
Para binatang itu mengangguk-angguk setuju. Sementara Naina jadi sedikit canggung. Sebagai penghuni baru di sini, Naina merasa mereka terlalu berlebihan.
Atau mungkin, karena biasa selalu dipandang hina, Naina sedikit kaget mendapat perlakuan mereka yang begitu baik? Sebab hanya di sini Naina benar-benar dihargai.
“Dan biarkan juga dia istirahat, sementara kalian siapkan perayaan untuk malam ini. Sampaikan pada seluruh penghuni hutan agar menyiapkan perayaan yang mewah. Tamu istimewa kita harus mendapat kesan yang baik di sini,” tambah Tetua yang mendapat anggukan dari mereka.
“Baik, Tetua,” jawab mereka serempak.
“Em, a-anu...” Naina sedikit menaikan pandangan, bicaranya sedikit terbata karena gugup. “Maaf, tapi sepertinya tidak usah dilakukan perayaan pun tak masalah. Karena—”
“Tentu itu akan jadi masalah,” serobot rusa raksasa itu, kakinya melangkah maju mendekati Naina, sementara para binatang langsung menyingkir untuk memberi jalan.
“Kau manusia satu-satunya di sini. Dan seperti yang kukatakan sebelumnya, kau pantas dan cocok mengemban tanggung jawab. Dan membahas perihal Putri hutan, aku bisa mempertimbangkan hal itu. Jadi...”
Perkataan yang menggantung itu menciptakan tatapan yang dalam di antara mereka. Kepala rusa itu melandai, disejajarkan dengan tinggi Naina. Sorot matanya yang tampak berbinar menyiratkan sebuah arti.
“Menyambutmu dalam sebuah perayaan adalah suatu kewajiban. Dan seperti yang disampaikan burung yang memberi rangkaian bunga tadi, maka besok pagi kau datanglah ke sarangku. Aku sudah menyiapkan sesuatu untukmu di sana,” pungkasnya menutup obrolan.
Perkataannya itu jelas mengandung maksud yang tak bisa dibantah. Naina tidak punya pilihan, maka apapun yang mereka coba lakukan untuk dirinya, Naina akan menerimanya.
***
“Tuan!”
“Tuan, kau baik-baik saja?”
Tora kelabakan, pria dengan tubuh yang tampak akan meleleh itu beberapa kali terjerembap. Dedaunan kering yang menjadi tempat tubuhnya yang tersungkur langsung terbakar menjadi serbuk dan tertiup angin.
Mereka telah melakukan perjalanan, meninggalkan kastil, dan terhitung sudah hampir satu jam lamanya mereka di luar. Jika bukan karena kalung aegis yang digunakannya, maka mungkin sudah sedari tadi Tuan Minos mati dalam kondisi mengenaskan.
Sambil memegangi dadanya yang mendadak bersinar lalu kemudian meredup dalam waktu singkat, Tuan Minos dapat membaca pertanda dari maksud tersebut. Ada yang hilang dalam hatinya, terputus dan segalanya yang sempat terjalin telah berakhir.
Hal itu bukan pertama kalinya terjadi, ratusan bahkan ribuan kali Tuan Minos menyaksikan sinar itu muncul dan lenyap pada dada sebelah kanannya. Tapi kali ini terasa berbeda, seolah ada percikan yang membuatnya tak terima ikatan itu harus berakhir.
“Dia benar-benar melakukanya!” Tuan Minos menggeram, urat-urat menonjol di dahinya, membuat nanah yang mengalir kian menyala-nyala.
Tangannya mengepal, meraup dedaunan kering hingga lenyap laksana abu di tangannya. “Kita harus cepat-cepat sampai di sana,” tambahnya kemudian.
“Ada apa, Tuan?”
“Dia telah memutuskan ikatanku dengan Naina. Aku khawatir setelah ini dia melakukan hal yang membuat Naina berada dalam bahaya,” jawabnya dingin, tapi tatapannya berkobarkan dendam.
“Astaga! Ini semakin sulit, Tuan.” Tora menghela napas, mulai putus asa.
“Tora, sepertinya kita harus berpencar,” tutur Tuan Minos seraya berusaha bangkit kembali, kalung dengan permata kuning itu berpendar-pendar di lehernya.
“Berpencar? Dalam kondisi seperti ini, Tuan?” Tora merasa itu bukan ide bagus.
“Pergilah ke pemukiman desa atau belahan bumi manapun yang memungkinkan pernah dijajaki oleh penyihir sialan itu. Kau harus mendapatkan informasi tentangnya, hanya dengan cara itu aku bisa menerka apa saja telah yang berubah darinya,” perintah Tuan Minos.
Tora yang tak mungkin menolak perintah tersebut, lantas mengangguk patuh. “Baik, Tuan. Kau bisa memberi sinyal darurat apabila terjadi sesuatu.”
“Kita akan bertemu di ujung hutan, aku akan menciptakan portal menggunakan mantra sihir yang bisa membawa kita padanya. Jika memang dia yang kuduga, maka seharusnya mantra sihir itu akan bekerja,” ujarnya kemudian sebelum kembali melangkah pergi.
***
Sementara itu, di hutan suci masih diselimuti kebahagiaan. Ingar-bingar dari para penghuni hutan yang sibuk ke sana kemari untuk mempersiapkan perayaan, tampak begitu sibuk.
Mereka berlalu lalang, membawa ini dan itu yang menjadi bahan persiapan. Sebagian membawa makanan, sebagian lagi sibuk mempercantik area yang akan dijadikan sebagai perayaan.
Sedangkan Naina, gadis itu diminta istirahat. Tubuhnya meringkuk di dalam pohon yang sengaja dibuat berlubang, bentuknya mirip seperti sarang burung. Karena posisi pohon yang tinggi, membuatnya lebih mudah memandangi rembulan yang sedang terang-terangnya.
Di tempat lain, pada gelapnya hutan yang tertutup kabut, ada yang berbisik lembut, “Beri ini pada makanan yang sedang mereka siapkan. Pastikan bahwa setiap makanan ditaburi bubuk ini.”
Sejumput bubuk yang dibungkus oleh daun ia serahkan padanya. Lantas tersenyum yang menunjukkan maksud sesuatu.
“Setelah ratusan tahun lamanya aku menunggu, malam ini semua yang telah kuperjuangkan akan segera membuahkan hasil,” gumamnya yang diikuti tawaan kemenangan.
Kepalanya menoleh ke belakang, pada seseorang yang terbaring dalam keadaan tak sadarkan diri, “Sabarlah, sayang. Sebentar lagi giliranmu tiba.”
***