Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Saling menginginkan
Bagi Nara, bisa menemani Arjuna bekerja adalah hal sangat membahagiakan. Dia jadi lebih leluasa untuk mengamati suami tampannya yang sedang dalam mode serius.
Sedikit informasi, Arjuna adalah pewaris tunggal dari perusahaan yang bergerak di bidang furniture. Banyak produk yang sudah Bagaskara produksi dengan hasil yang sangat memuaskan. Selain mengutamakan estetik, produk Bagaskara juga mementingkan sebuah kenyamanan pada produk pakai.
Bisnis itu bahkan sudah sampai ke mancanegara, tepatnya di tiga negara yaitu, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Mengingat hal tersebut, tentu Arjuna telah menjadi orang yang sangat sibuk. Namun, suaminya itu pandai mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga.
"Kenapa, Sayang? Terpesona?" Pertanyaan itu membuat Nara mengerjap cepat. Lamunannya tersentak. Beruntung, Nara tidak membutuhkan waktu lama untuk kembali menguasai diri.
"Jangan terlalu percaya diri, Mas," ketus Nara lalu membuang muka.
"Aku bosen, Mas. Boleh aku jalan-jalan di luar?" izin Nara yang tidak sepenuhnya berbohong.
Arjuna mendongak sekilas lalu kembali menatap layar laptop di depannya. "Tunggu sebentar. Mas hampir selesai. Kita jalan-jalan bersama," jawab Arjuna lalu tangannya bergerak lincah di atas keyboard.
Nara menghembuskan napas lewat mulut. Sudah tiga hari ini Arjuna begitu posesif dan tidak ingin ditinggal. Nara harus selalu berada di samping Arjuna kemanapun suaminya itu pergi.
"Kenapa begitu sih? Lelah?" tanyanya tanpa beban. Nara hanya memutar bola matanya malas sebagai jawaban.
"Bosen saja berada dalam ruangan selama tiga hari berturut-turut. Aku ingin jalan-jalan, Mas," rengek Nara yang membuat Arjuna terkekeh geli.
"Oke. Kita akan pergi jalan-jalan," ucap Arjuna lalu menutup laptop miliknya. Dia beranjak untuk menghampiri Nara yang kini masih duduk di sofa.
Kepala Nara mendongak ketika Arjuna telah berada di depannya. Nara bisa melihat jakun suaminya itu yang naik-turun. "Nara?" panggil Arjuna sambil mengelus kepala Nara yang posisinya lebih rendah, karena dirinya dalam posisi berdiri sedangkan istrinya duduk.
"Kenapa?" tanya Nara dengan alis terangkat.
"Mas boleh meminta tolong ke kamu?"
Nara mengernyit. "Memangnya mau meminta tolong untuk apa?" tanya Nara keheranan.
Suaminya itu kini mengambil posisi duduk di samping Nara. Sangat dekat hingga tak berjarak. "Bisakah kamu ajarkan Nadya untuk memakai kerudung? Aku ingin, dia juga berubah menjadi lebih baik lagi. Salah satunya adalah menutup aurat," jelas Arjuna yang membuat Nara tertegun.
Mata Nara menatap manik dalam milik Arjuna yang saat ini juga sedang menatapnya. "Dia masih lugu dan butuh bimbingan yang tepat. Mas tidak bisa mempercayakan Nadya kepada Mama," lanjut Arjuna lagi.
Jika boleh jujur, Nara tidak ingin pembicaraan tentang Nadya dibahas. Ada sesak yang tiba-tiba menyusup relung kalbunya. Nara tersenyum miris. "Kenapa harus aku? Bagaimana jika aku justru hanya akan menjerumuskan?" tanya Nara dengan tatapan menerawang jauh.
Arjuna terkekeh pelan. "Mas sangat mengenal kamu, Ra. Mas yakin kamu tidak akan melakukan hal tersebut."
Setelah itu, tidak ada lagi suara dari Arjuna maupun Nara. Hanya detak jarum jam yang berbunyi beraturan yang mengisi keheningan.
"Aku tidak sanggup, Mas. Mas yang lebih berhak mendidik Nadya daripada aku," jawab Nara pada akhirnya memilih untuk menolak.
Ada tatap memohon yang terpancar dari mata suaminya itu. Namun, Nara tetap pada pendiriannya. Dia tidak akan sanggup bila harus berdekatan terus-menerus dengan Nadya.
Helaan napas berat pun terdengar. "Tolong, Ra. Bantu Mas untuk mendidik Nadya. Kamu yang lebih paham soal agama," ucap Arjuna memohon dengan sangat.
Pada akhirnya, Nara memilih bangkit. Pembahasan tentang Nadya tidak ingin dia lanjutkan. "Aku jalan-jalan sendiri saja kalau Mas mau bahas Nadya lagi." Lalu Nara berjalan santai keluar dari ruangan.
"Nara! Tunggu!" pekik Arjuna tidak ingin ditinggal begitu saja.
Setelah sampai di lobi, Nara merasakan sebuah lengan berat yang melingkar di pinggangnya, diikuti kecupan ringan pada pelipis Nara. "Maafkan Mas ya, Sayang. Maaf karena sudah membuat kamu tidak nyaman," sesal Arjuna lalu menggiring Nara untuk masuk ke mobil sesaat setelah sopir pribadinya tiba di depan lobi kantor.
Keduanya menuruni anak tangga satu per satu dengan langkah yang lebih ringan. Nara tidak ingin marah terlalu lama pada suaminya itu, mengingat waktu kebersamannya hanya tersisa empat hari. Menurut Nara, itu sangatlah singkat. Entah bagaimana menurut Arjuna.
Keduanya duduk di jok penumpang belakang kemudi. Kita mau kemana, Sayang?" tanya Arjuna yang belum melepaskan belitan pada pinggang Nara.
Nara menoleh sekilas lalu merebahkan kepala pada salah sisi dada bidang suaminya. Tempat ternyaman ketika dunia sedang tidak berpihak kepadanya. "Terserah Mas saja," jawab Nara yang mengundang decakan dari Arjuna.
"Kita ke terserah ya, Pak," ucap Arjuna pada Pak Sopir. Bukannya menjawab, Pak sopir Marman justru tertawa.
"Andai ada tempat bernama terserah ya, Tuan," gurau Pak Marman yang membuat Nara mencebikkan bibirnya kesal.
Lengan Nara bergerak untuk menyikut perut suaminya karena telah membuat Nara kesal bukan main. "Aku sedang tidak tahu mau kemana, Mas. Aku ikut saja kemanapun Mas akan membawaku," jawab Nara pada akhirnya.
Kepalanya yang sempat terangkat, kini kembali merebah dengan kelopak mata yang terpejam. "Benar ya? Kamu akan ikut kemanapun Mas akan membawa kamu?" tanya Arjuna memastikan. Ada senyum smirk yang ditunjukkan oleh suaminya itu.
"Iya."
"Oke. Kita ke hotel Kanagara ya, Pak. Sudah lama tidak check in bersama istri tercinta," ucap Arjuna pada Pak Marman.
"Siap, Tuan!"
Kelopak mata Nara kembali terbuka. Setelah sadar, sikutnya kembali menyenggol perut suaminya. "Mas! Malu ih!" peringat Nara tetapi tak urung dia tersipu juga.
Arjuna tertawa lalu mobil pun melaju membelah jalanan. Suaminya itu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Arjuna benar-benar membawa Nara ke hotel Kanagara. Hotel dengan tingkat kemewahan dan pelayanan bintang lima.
"Mas tidak sedang bercanda kan?" tanya Nara ketika sadar mobil berbelok memasuki lobi hotel.
"Jangan remehkan seorang Arjuna Bagaskara," jawab Arjuna jumawa yang segera mendapat pukulan dari Nara pada lengannya.
Nara menggelengkan kepalanya beberapa kali setelah mendatangi meja resepsionis. Ternyata, suaminya itu sudah memesan Suite Room hotel.
Sebuah
Sebuah kamar hotel yang memiliki ruang tamu selain kamar tidur dan kamar mandi. Setibanya di tempat, pemandangan yang di suguhkan juga tidak main-main. Sangat indah dan memanjakan mata.
Nara berdiri di depan kaca besar yang menampakkan pemandangan indah di depannya. Tiba-tiba, Nara merasakan pelukan dari belakang yang diikuti suara suaminya. "Mas menginginkan kamu, Ra," ucap Arjuna dengan suara yang sudah serak.
Nara menelan saliva. Dia pun sama menginginkan sentuhan dari suaminya itu. Dengan ragu, Nara mengangguk. "Silahkan, Mas."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Wkwkwk. Mau ngapain yak😅...
...Mampir juga kesini yuk 👇👇...