Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Udah Dek? Izin ke bapak dulu, kasihan Icha sudah menunggu," ujar Hanan membuat pernyataan sendiri.
"Mmm ... iya Mas," jawab Nahla sedikit bingung. Apalagi ini sudah hampir petang dan tentu saja Nahla tidak nyaman.
Jawaban Nahla pun spontan membuat Pak Agam tahu diri kalau mereka hendak pergi. Terdengar seperti sudah ada janji. Memang itu tujuan Hanan yang sebenarnya agar pria yang kini masih duduk di depannya itu segera pamit pulang.
"Kalau begitu saya pamit dulu Bu Nahla, sampai ketemu besok," ujar Pak Agam beranjak.
Diam-diam Hanan tersenyum kala pria itu berpamitan. Pria itu akan terusir dengan sendirinya tanpa banyak drama.
"Pak, ini Pak Agam mau pamit," seru Nahla memanggil ayahnya.
Pak Subagio pun keluar, diiringi Ibu yang beramah tamah melepas kepulangan teman dari putrinya.
"Sekalian Hanan pamit juga Bu, Pak, izin membawa Nahla, nanti saya kembalikan agak malaman," pamit Hanan menyusul pulang juga.
"Owh ... tidak nanti-nanti saja Nan, titip Nahla kalau begitu, hati-hati di jalan," ujar Bapak mengizinkan.
Sebenarnya Nahla bingung, dan ingin menolak. Lebih tertarik datang besok saja, ditambah lelah, tetapi kenapa jadi kesulitan untuk menolak.
"Saya ganti baju dulu," ujar Nahla meminta waktu.
"Nggak usah, pakai ini saja," tolak Hanan tak sabaran.
"Ayo!" ajak pria itu mempersilahkan Nahla untuk berjalan mendahului.
"Bapak ke mobil dulu, aku mau ambil handphone," ujar Nahla kembali masuk. Gadis itu memasukan ponsel dan powerbank ke dalam tasnya, lalu kembali pamit ke Bapak dan Ibuk.
"Ingat Na, jaga diri," pesan Ibu sepertinya paham sekali. Walaupun jalan dengan seseorang yang sudah dikenal dan meminta izin khusus terhadap kedua orang tuanya. Bu Kokom tak pernah lupa mewanti-wanti anak gadisnya tentang perkara satu itu.
"Siap Buk, pergi dulu, assalamu'alaikum!" pamit Nahla keluar setelah mencium punggung tangan Ibu dan Bapak bergantian.
Pak Hanan sendiri masih menunggu di teras, terlihat sibuk dengan gawainya.
Nahla terdiam, memperhatikan pria itu yang sepertinya tengah membalas pesan.
"Udah, ayo!" ajak pria itu berjalan menuju mobilnya.
Pria itu menempati jok kemudi, siap melajukan mobilnya. Baru beberapa meter keluar dari gang rumah Nahla, nampaknya pria itu sudah gatal ingin menginterogasi kandidat calon istrinya.
"Tadi jalan ke mana? Icha nungguin nggak datang?" tanya pria itu seraya fokus menyetir.
"Nggak ke mana-mana, handphone aku mati, dan motorku bannya bocor, kebetulan ketemu Pak Agam jadi bareng. Tadi bukannya udah dijelasin ya sama Agam."
"Kamu terlihat dekat, ada hubungan apa?" tanyanya dingin.
"Tidak ada Mas, hanya sebatas rekan kerja," jawab Nahla jujur.
"Memangnya tadi tidak bisa nolak? dari pada harus berduaan semobil."
"Nggak enak, lagian aku butuh pulang, kebetulan kita searah, tidak harus berlebihan begini," ujar Nahla tertunduk. Jujur ia merasa tidak nyaman sama sekali. Sikap Hanan seolah-olah menginterogasi Nahla seperti terdakwa perselingkuhan saja.
"Tidak ada yang berlebihan, itu perasaan kamu saja, selebihnya sikap saya ini wajar, karena saya seorang pria, dan kamu—"
Pria itu terdiam beberapa detik. Menoleh ke arahnya sekilas yang sama sekali tidak menatapnya. Sebelum akhirnya kembali menghadap lurus ke depan.
"Apa kamu sudah menemukan jawabannya?" tanya Hanan masih terus berjalan.
"Bukannya aku minta waktu tiga hari, besok kan?"
"Kalau bisa sekarang kenapa harus besok." Kali ini Hanan sampai menepikan mobilnya.
"Kenapa berhenti di sini?" Alih-alih menjawab, Nahla justru tidak tenang berhenti di jalanan gelap begini.
"Nunggu jawaban dari kamu," ujarnya tenang. Menatapnya diam, tenang, dalam dan lekat.
"Besok saja," kata gadis itu sambil memilin ujung hijabnya.
"Susah ya, hanya untuk bilang iya atau tidak," tekan pria itu terdiam beberapa detik.
Hening beberapa saat, hingga terdengar suara adzan maghrib mampir ke pendengarannya. Keduanya sama-sama tidak ada yang membuka percakapan.
"Sekarang saja, dua hari saya rasa cukup kamu menemukan jawaban," tekan pria itu cukup ngeyel. Sedikit mengikis jarak hingga membuat Nahla kelimpungan sendiri.
Nahla terdiam, ia malah bingung dan mendadak takut dengan gerak gerik Mas Duda. Hanan sendiri terlihat santai, tenang, sembari melipat lengan kemejanya sampai siku.
"A-aku ...."
Duh ... kenapa berasa horor sih.
"Aku apa?" tanya pria itu sedikit lebih dekat.
"Mas, mau ngapain?" tanya Nahla waspada ketakutan sendiri.
"Pasang ini, safety belt kamu belum terpasang," ujar pria itu membantunya. Jarak mereka yang terlampau dekat membuat Nahla tahan napas. Diam-diam Hanan tergoda dengan aroma feminim tubuhnya yang menguar jelas terasa.
"Parfum kamu enak," celetuk pria itu memberi jarak.
Nahla menghela napas lega sembari menghindari tatapannya yang mengunci dirinya.
"Jalan Mas, kita bisa ketinggalan maghrib nanti," titah Nahla jelas tidak nyaman hanya berdua begini. Ternyata duda semeresahkan ini.
"Jawab dulu, ini baru jalan," ujarnya tanpa basa-basi.
"Besok, aku perlu pikiran yang tenang, dan hati yang nyaman," jawabnya jujur.
"Emangnya sekarang nggak tenang?"
"Iya, kamu cukup meresahkan!" sahutnya jujur.