Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Ulat Bulu ...
Suasana kantor Biantara sore itu penuh ketegangan. Matahari condong ke barat, sinarnya menembus kaca besar ruang CEO, menimbulkan pantulan emas yang menyilaukan. Abraham duduk di kursinya, jas hitamnya terlipat rapi di pundak, kancing kemeja bagian atas terbuka, namun sorot matanya tajam, siap menantikan pertemuan yang akan menentukan arah langkah perusahaan, dan mungkin hidupnya.
Julio mengetuk pintu pelan, lalu masuk dengan wajah serius.
"Tuan, Nona Rania sudah datang. Dia menunggu di ruang tamu eksekutif. Apakah sekarang ingin ditemui?”
Abraham menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu tersenyum tipis.
“Bawa dia masuk. Jangan beri dia waktu untuk merasa berkuasa di ruanganku.”
Julio mengangguk, lalu keluar. Tak lama, pintu besar itu terbuka, memperlihatkan sosok wanita anggun dengan gaun biru gelap selutut, blazer putih terletak di pundak, dan langkah penuh percaya diri. Rambut hitam panjangnya terurai, wajahnya dihiasi riasan tipis namun menegaskan aura elegan. Rania berjalan masuk seolah ruangan itu miliknya, matanya menatap Abraham dengan pandangan licik bercampur senyum misterius.
“Abraham Biantara,” ucapnya pelan, namun sarat makna.
“Rasanya sudah lama sekali sejak kita terakhir duduk berdua seperti ini.”
Abraham tidak berdiri menyambutnya. Dia hanya memberi isyarat tangan agar Rania duduk di kursi di hadapannya.
“Langsung saja ke tujuanmu, Rania. Waktu saya tidak untuk dibuang dengan basa-basi.”
Rania tersenyum, melangkah anggun menuju kursi lalu duduk.
“Kau tidak pernah berubah. Dingin, kaku, penuh jarak. Sama seperti dulu, bahkan setelah...” ia berhenti sejenak, matanya berkilat, “Alma pergi.”
Nama itu keluar begitu saja, dan ruangan seketika membeku. Alma, satu nama yang tak pernah Abraham biarkan sembarangan disebut orang lain. Tatapan Abraham menajam, wajahnya menegang.
“Hati-hati dengan ucapanmu, Rania. Jangan sekali-kali kau gunakan nama Alma untuk permainanan bisnismu.”
Namun Rania justru tersenyum sinis, bersandar ke kursi.
“Permainan bisnis? Ah, Abraham … jangan naif. Alma adalah bagian dari hidupmu, dan ketika dia tiada, ruang kosong itu tidak bisa kau tutupi dengan proyek, rapat, atau bahkan … istrimu yang sekarang.”
Suara Abraham terdengar berat, menahan amarah. “Kau pikir aku akan membiarkanmu menginjak-ingjak nama Alma? Kau salah besar.”
Rania mendekat sedikit, suaranya lirih namun menusuk. “Aku hanya mengatakan fakta. Setelah Alma pergi, aku lah yang selalu muncul dalam hidupmu. Kau sadar, kan? Entah di rapat kerja sama, di perjamuan, bahkan di sela urusan pribadi. Kenapa? Karena semesta seakan menyeretku kembali ke sisimu.”
Abraham terkekeh dingin, mencondongkan tubuhnya ke depan. “Jangan menyalahkan semesta atas obsesimu sendiri, Rania. Kau yang memilih kembali dari luar negeri. Kau yang memutuskan membeli saham di perusahaan yang bersinggungan langsung denganku. Dan kau yang .... entah sadar atau tidak .... selalu berusaha masuk ke dalam hidupku setelah Alma tiada. Apa itu kebetulan? Tidak. Itu adalah niat sejak dari dulu.”
Tatapan Rania bergetar sejenak, namun ia cepat menguasai diri. “Jadi kau pikir aku sudah merencanakan semua ini? Dari dulu?” tanyanya, nada suaranya setengah menantang.
“Bukankah begitu?” Abraham menyindir tajam. “Dulu, saat Alma masih ada, kau jauh di luar negeri. Jarang ada kabar. Jarang muncul. Tapi begitu Alma pergi, tiba-tiba kau datang, dengan segala pesona, dengan perusahaan, dengan proyek besar. Kau pikir aku tidak melihat pola itu? Kau bukan hanya sekadar rekan bisnis, Rania. Kau adalah bayangan yang selalu berusaha menggantikan sesuatu yang tidak pernah bisa kau sentuh.”
Rania mengangkat dagunya, matanya berkilat menahan emosi.
“Kau terlalu percaya diri, Abraham. Aku tidak pernah berniat menggantikan siapa pun. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku bisa berdiri sejajar denganmu ... bahkan lebih.”
Abraham tertawa dingin. “Sejajar? Kau pikir bisa menyaingi Biantara dengan cara murahan seperti menahan pembayaran proyek? Dengan permainan kotor seperti itu? Jangan bandingkan permainanmu dengan kekuatan yang sudah dibangun Alma bersamaku dulu. Biantara berdiri karena kerja keras, bukan karena intrik murahan.”
Wajah Rania berubah pucat sesaat, lalu ia menekan kedua tangannya di meja, condong mendekat.
“Jangan pernah sebut nama Alma di hadapanku seolah dia lebih dariku! Kau tidak tahu seberapa lama aku menahan diri. Kau tidak tahu seberapa besar aku menunggu.”
Abraham menatapnya dingin, matanya seolah menusuk jiwa.
“Itu dia, pengakuan yang akhirnya keluar juga. Jadi benar, sejak dulu tujuanmu adalah aku. Bahkan sebelum Alma pergi. Kau pikir aku tidak tahu tatapanmu setiap kali kita bertemu di forum luar negeri dulu? Kau pikir aku buta terhadap semua sinyalmu? Aku hanya memilih menutup mata, Rania, karena aku setia pada Alma.”
Senyum Rania perlahan hilang. Rahangnya mengeras. “Dan sekarang Alma sudah tiada,” katanya lirih, hampir seperti bisikan, “apa itu berarti kau akan terus menutup mata selamanya?”
Keheningan panjang memenuhi ruangan. Abraham tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Rania dalam, sorot matanya tajam sekaligus menyimpan luka lama yang tak pernah sembuh. Jari-jarinya mengetuk meja perlahan, menahan sesuatu yang tak terucapkan.
Akhirnya, ia berdiri. Suaranya berat, namun jelas. “Rania, kau bisa gunakan segala cara untuk menekan perusahaan ini. Kau bisa coba menyerangku lewat bisnis, lewat media, bahkan lewat gosip murahan. Tapi ingat satu hal, kau tidak akan pernah bisa menggantikan Alma. Tidak di rumahku, tidak di hidupku, tidak di hatiku. Dan semakin keras kau mencoba, semakin jelas aku melihat obsesi itu.”
Rania menggenggam tangannya di pangkuan, wajahnya merah, entah karena marah atau karena terluka oleh kata-kata itu. Namun ia cepat menegakkan bahunya, memaksakan senyum tipis.
“Kau terlalu yakin, Abraham. Jangan sampai keyakinan itu membuatmu kehilangan segalanya. Kita lihat saja … siapa yang akan bertahan lebih lama.”
Abraham menatapnya sekali lagi, dingin seperti es.
“Kau boleh coba, Rania. Tapi aku janji, setiap langkahmu akan berakhir di hadapanku. Dan aku tidak akan membiarkanmu menang.”
Suasana ruang CEO itu tegang, seperti dua api yang saling berhadapan, siap meledak kapan saja. Tidak ada yang mau mundur, tidak ada yang mau mengalah. Julio mengetuk pintu lagi, membuka sedikit dengan wajah ragu.
“Tuan … rapat dengan investor sebentar lagi dimulai.”
Abraham tidak menoleh, matanya tetap terkunci pada Rania.
“Suruh mereka menunggu. Pertemuan ini belum selesai.”
Rania tersenyum samar, matanya berbinar dengan kepuasan aneh.
“Akhirnya … kau mengakuinya. Bahwa aku adalah gangguan yang tidak bisa kau abaikan.”
Abraham mengatupkan rahangnya. Ia tahu, pertempuran ini baru saja dimulai dan bukan hanya soal bisnis, tapi tentang masa lalu, obsesi, dan nama Alma yang terus menghantui.
'Abraham kejutan besar menunggumu,'
Pertemuan mereka pun berakhir dengan keheningan yang menggantung, seakan udara di ruangan itu menahan napas, menunggu siapa yang lebih dulu jatuh dalam permainan berbahaya ini.
Btw terimakasih author bacaan yng bagus 👏👏👏❤❤❤
ceritanya keren thor.
terus semangat berkarya thor 🥰 🥰 🥰 🥰