~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Yang Tidak Di Inginkan
“Bisa gak kamu buka pintunya lebih cepat!”, ketus Fajar, yang berada tepat di depan pintu kamar Jingga.
“Maaf Tuan, saya sedang sholat tadi”. Ia kembali menundukkan kepalanya, sungguh menakutkan aura wajah Fajar ketika sedang marah seakan ingin menelan hidup-hidup.
“Cepat ganti bajumu, ikut aku sebentar”.
“Rumah utama Papa, Mama sedang sakit. Aku hitung sampai sepuluh jika kamu terlambat aku akan memberikan hukuman”.
“Perhitungan di mulai dari sekarang, cepat!”. Fajar berteriak tepat di depan wajah Jingga. Reflek membuat Jingga mendur beberapa langkah menjauh darinya.
Jingga, begitu kalang kabut masuk dalam kamarnya, mengganti baju rumahan menjadi gamis sederhana yang ia punya.
Kini keduanya berangkat menuju rumah utama Pak Angga, tak ada obrolan yang terlontar sepanjang perjalanan. Fajar menatap datar tanpa ekspresi. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Fajar yang tak kunjung membuka suara, sementara Jingga yang tak berani berbicara.
Dalam keadaan yang canggung Jingga memutuskan untuk melarikan pandangannya ke arah jendela kaca mobil. Menatap lampu-lampu jalanan dengan warnanya yang begitu indah.
Indah sekali, Jingga tertegun dan lupa akan keberadaan Fajar yang ada di sebelahnya untuk sementara.
Tanpa Jingga sadari, laki-laki di sebelahnya menatapnya dengan lekat. Sorot matanya begitu tajam seolah menunjukan sebuah isyarat kebencian.
Sejurus kemudian Fajar mengalihkan pandangannya, dengan fokus pada kemudinya, ia enggan menggunakan sopir ketika sedang bersama Jingga, ia tak ingin orang lain mengetahui perlakuannya pada Jingga sepeti apa.
Hampir dua jam perjalanan, sampailah mereka di halaman luas rumah Pak Angga. Penjaga dengan sigap membukakan pintu rumah itu dan mempersilahkan untuk masuk kala mengetahui yang datang adalah Tuan muda dan istrinya.
Pak Angga sudah berdiri di depan pintu utama rumah mereka.
“Assalamualaikum, Tuan selamat malam”, sapa Jingga dengan mengulurkan tangannya pada Pak Angga dan mencium punggung tangan mertuanya.
“Wassalamualaikum nak, Fajar mana?”.
“Tuan Fajar masih di belakang sedang memarkirkan mobil, sebentar lagi menyusul”.
“Tuan?, kamu memanggil suamimu dengan sebutan Tuan?”. Pak Angga menatap Jingga dengan banyak pertanyaan, sepertinya keadaan rumah tangga anaknya tidak baik-baik saja.
“Tidak Tuan, saya hanya belum terbiasa saja memanggilnya”.
“Memangnya harus memanggil seperti apa? Seorang upik abu juga pantasnya memanggil majikannya dengan sebutan Tuan!”. Ucap Fajar yang berjalan masuk ke dalam rumahnya dan melewati Pak Angga serta Jingga yang masih berdiri di ambang pintu.
“Fajar!”,
“Papa tidak pernah mengajarkan kamu berkata kasar pada wanita, apa lagi dia istrimu!”. Pak Angga sedikit menaikan intonasi nada bicaranya menatap lekat pada anak semata wayangnya.
“Istri? Aku bahkan tak menginginkannya sama sekali Pa, itu kan hanya kemauan dan keinginan Papa saja”.
“Cukup Fajar, Papa hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu”.
“Terbaik untukku? dengan memilih seorang seorang upik abu seperti dia”. Tangan Fajar terulur menunjuk ke arah Jingga. Jingga menunduk tak berani memandang mereka.
“Ya Allah begitu tak diinginkan aku dalam keluarga ini”.
Brak...bark...
Pak Angga menutup pintu rumahnya dengan cukup keras sekali hingga pintu itu bergetar. Dua lelaki beda usia itu saling menatap dengan tatapan yang tajam. Pak Angga tak suka dengan cara Fajar memperlakukan serang perempuan seperti itu. Terlebih saat ini Jingga adalah istrinya. Ia begitu malu merasa gagal menjadi orang tua.
“Pa....”
Bu Nadin datang menghampiri Pak Angga dan mencoba untuk memenangkannya, ia mengelus-elus lembut lengan suaminya. Namun tak dapat di pungkiri tatapan Bu Nadin pada Jingga menunjukan rasa kebencian yang tiada terkira.
“Bukannya membawa kedamaian dalam keluargaku, yang ada semakin membaut runyam hubungan anak dan bapak”, teriak Bu Nadin dalam hatinya yang tak mampu ia lontarkan saat itu juga.
“Mari-mari kita makan saja dulu”, tangan Bu Nadin menggandeng suaminya dan membawanya ke meja makan, berharap di sana akan menemukan ketengan selepas kegaduhan.
Jingga memberanikan diri melakukan hal yang sama dengan Bu Nadin mencoba menenangkan suaminya dengan memegang lembut tangan Fajar.
“Lepaskan aku!”, Teriak Fajar pada Jingga yang membuat nyali Jingga hilang seketika. Badannya bergetar hebat kala mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Mungkin jika di lakukan tanpa sepengatahuan orang lain ia akan tegar, namun kala di lakukan di depan mertuanya pertahanan Jingga hampir runtuh saat itu juga.
Iya mencoba tersenyum pada semua.
“Tidak bisakah kamu berlaku sopan sedikit pada wanita!, dia istri kamu. Tidak bisakah kamu membedakan mana berlian dan juga kuningan?”.
Pak Angga kembali menekankan intonasi suaranya.
“Hentikan...hentikan semuanya”.
Teriak Bu Nadin dengan memegang kepalanya yang terasa begitu berat juga berputar-putar. Suaranya semakin lirih.
“Berhenti....”.
Sejuruh kemudian.
Bruk..
“Mama”.
Suara spontan tiga orang yang berada di meja makan memanggil namanya.
Dengan sigap Fajar meraih tubuh Bu Nadin, mengangkatnya menuju kamar. Jingga dan Pak Angga turut menyusul di belakangnya dengan rasa cemas yang luar biasa.
Pak Angga meraih ponsel yang ada di saku celananya, lekas menghubungi dokter pribadi keluarga agar segera datang ke rumah dan memeriksa istrinya.
Jingga berjalan mendahului suaminya, lekas membukakan pintu kamar Bu Nadin, kamar yang begitu luas nan indah dengan dekorasi serba putih menghiasi setiap sisi ruangan.
Fajar lekas membaringkan Bu Nadin, dengan cukup hati-hati di ranjang yang empuk juga mewah.
Jingga membuka sendal yang di gunakan Bu Nadin, kemudian ia duduk di sebelah kaki Bu Nadin, sedikit memberikan pijatan pada kami mertuanya. Sementara Fajar sangat khawatir dengan keadaan Mamanya, berkali-kali ia mencium dan menepuk-nepuk secara lembut pipi sang Mama.
“Mama bangun Ma...”.
“Ma lihat Fajar ada di sini”.
Suara Fajar terdengar bergetar begitu khawatir dengan keadaan Mamanya, sedangkan Pak Angga duduk di sebelah Bu Nadin dan membelai lembut rambut istrinya yang tergerai bergelombang.
Lima menit kemudian.
Bu Nadin tak kunjung membuka matanya, dua laki-laki di sebelahnya tampak begitu sangat cemas sekali melihat wajah Bu Nadin, yang semakin pucat.
“Permisi saya mau ambil minyak angin dulu”.
Tak ada jawaban yang keluar dari kedua laki-laki yang sedang berada di sebelah Bu Nadin.
Dengan langkah tergopoh-gopoh Jingga menghampiri Susi, pelayan yang biasanya membantu Bu Nadin menyiapkan segala hal.
“Mbak Susi, ada minya angin?”.
Tak butuh waktu yang lama Susi, menyerahkan sebotol minya angin dalam wadah kecil dan menyerahkan pada Jingga. Ia kembali berlari menuju kamar mertuanya.
“Jangan harap kamu bisa mendapat perhatian Mama dengan bertindak seperti itu”.
Fajar mendengus kesal, dalam hati memperhatikan Jingga yang seakan-akan peduli dengan keluarganya. Padahal menurut Fajar, Jinggalah segala sumber permasalahan dan perdebatan yang terjadi di keluarganya.
.
.
.
.
.
Mohon dukungannya ya kak 😊