Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Setelah menyusuri jalan selama 15 menit, akhirnya Alana sampai di depan rumahnya. Dengan segera, ia membuka pintu dan melangKah masuk.
"Aku pulang,” sapa Alana.
Tak ada jawaban Ia memeriksa seisi ruangan yang kosong itu. Sepertinya hari ini tidak ada siapa pun di rumah.
"Hmm... Tidak ada satu orang pun di rumah ya? Yes!! Apakah ini saatnya aku membuat ayam geprek?" Gumam Lana dengan riangnya.
Alana segera membuka kantong belanjaannya, dan membayangkan hidangan pedas yang akan memuaskan rasa laparnya membuat air liurnya menetes.
Namun, saat ia mulai menyiapkan bahan-bahan.
kreeek...
Saat suara pintu kamar di belakangnya terbuka, wajah bahagia nan riang itu lenyap seketika. Alana menoleh perlahan, merasakan kecemasan menyelusup ke dalam hatinya, seiring dengan detak Jantungnya yang kian memompa. Tangannya meremas roknya kuat-kuat. Sorot matanya menajam menampilkan ketakutan yang kian mendalam.
"Lana... Bisa tolong ambilkan obat sakit kepala untuk ayah?" seru Pak Budi, ayah Zayn, dari dalam kamarnya. Suara itu mengingatkan Alana pada betapa tidak berdayanya ia terhadap situasi ini.
"Ah... iya," jawab Lana gugup.
Ia berusaha menahan rasa cemasnya dan bergegas menuju laci obat, tangannya bergetar saat mencari obat yang diminta. Ketika ia menjatuhkan satu botol obat, suara kerasnya mengisi ruangan, dan rasa panik datang menyergapnya.
Dengan napas menderu, Lana melangkah perlahan menuju pintu kamar Pak Budi.
“Kenapa kamu nggak masuk, Lana? Ayo, bantu Ayah minum obat ini,” suara Pak Budi terdengar serak, namun setiap kata yang diucapkannya penuh penekanan, membuat Alana membeku di tempat.
"Ayah susah duduk sendiri, kamu mau bantu Ayah, kan?"
Nada suaranya yang memaksa membuat wajah Lana semakin pucat. Semua keinginannya untuk menghindar seketika lenyap. Dengan ragu-ragu, Lana melangkah ke kamar dan mendekat, menyerahkan segelas air dan obat kepada Pak Budi.
"I-ini o-batnya, Pak," ucap Lana lirih suaranya semakin bergetar ia segera menundukkan pandangan, menghindari tatapan pak Budi yang semakin intens. Bukannya mengambil obat, Pak Budi malah meraih tangan Lana, menelusuri kulit halusnya dengan lembut. Tangan Lana mulai gemetar, udara di kamar terasa semakin berat.
"Tenang saja, Lana," bisik Pak Budi dengan nada yang membuat bulu kuduknya meremang. Lana berusaha menarik tangannya, tetapi pak Budi menahannya. Ia tak bisa menarik lebih kuat takut menjatuhkan nampan yang ia bawa. Dalam hati, ia berdoa agar semua ini segera berakhir, sementara ia terjebak dalam situasi yang membuatnya semakin gelisah.
Tiba-tiba, terdengar suara bising dari luar.
Ting...nong! Ting...nong! Ting...nong! Ting...nong!
Suara bel rumah dipencet bertubi-tubi, seakan memberi secercah harapan bagi Lana untuk bisa keluar dari situasi yang menyesakkan ini.
"Cih! Siapa sih itu?!" Pak Budi menggerutu dengan nada jengkel, tampak kesal terganggu di tengah momen yang diinginkannya.
"Biar saya lihat," ucap Lana cepat-cepat, memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri dari situasi tegang di dalam kamar. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung bergegas menuju pintu, jantungnya berdebar keras sambil berharap sosok di luar bisa menjadi penyelamatnya kali ini.
"Ceklek...!"
Begitu pintu terbuka, Lana terkejut melihat sosok lelaki menyebalkan yang baru saja ia temui, Zidan, berdiri di depan rumahnya. Pemuda itu tampak sama kagetnya, matanya sedikit menyipit, seolah memastikan bahwa ia tidak salah orang.
"Kamu... bukannya wanita yang punya rokok tadi? Kamu tinggal di sini?" tanya Zidan dengan nada bingung, lalu pandangannya menyapu ke arah dalam rumah. "Katanya ini tempat tinggal pemilik rumah? Apakah beliau nggak ada?"
“Ada perlu apa dengan bi… ah, ibu saya…?” Lana berusaha menjawab dengan tenang meski suaranya masih sedikit bergetar.
Zidan tersenyum, seakan tidak menyadari kecanggungan Lana. “Hari ini aku akan pindah ke rumah bawah,” ujarnya sambil menunjuk ke arah rumah yang dimaksud.
“Ya?” Mata Lana membulat, terkejut mendengar rencana Zidan. Namun, ia segera menetralkan ekspresinya. "Oh, begitu… Kalau begitu, aku antar kamu ke sana, ya," katanya, berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah.
Setibanya di depan rumah baru Zidan, Lana menunjukkan beberapa hal yang perlu diperhatikan. “Password kuncinya 2727. Kalau mau buang sampah, bisa buang di sana,” katanya sambil menunjuk tempat sampah di depan mansion.
Zidan tertawa kecil, memasukkan tangan ke saku dan menatap Lana dengan ekspresi usil. “Kamu baik juga ternyata,” ujarnya santai. “Oh ya, tadi kayaknya kamu dijambak cukup keras, ya? Haha. Kamu nggak apa-apa?”
Lana langsung melotot padanya, merasa tersinggung dengan candaan itu. "Selamat tinggal!" ucapnya singkat, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan Zidan dengan langkah cepat.
"Oh iya… Terima kasih ya," jawab Zidan pelan sambil melambaikan tangan, tersenyum canggung melihat respons Lana yang dingin. Namun, Lana tak lagi memperhatikannya, fokusnya sudah teralihkan oleh kegelisahan yang baru saja ia tinggalkan di rumah.
Ia terus berjalan tanpa menoleh, matanya terpaku pada jalan di depannya. Begitu tiba di tangga menuju rumahnya, Lana berhenti sejenak dan duduk di ujung bawah tangga, tubuhnya terasa lelah dan pikirannya kacau. Rasa cemas yang tadi sempat mereda kini kembali menguasai dirinya. Bayangan Pak Budi yang mengusik batas-batas pribadinya kembali hadir.
““Haaah… Aku nggak mau balik ke rumah. Zayn, kapan pulang ya…?” pikir Lana dengan frustrasi, mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menahan air mata yang mulai jatuh. Hatinya terasa penuh, namun ia tak tahu ke mana harus melarikan diri dari semua beban yang ada.
Tak jauh dari sana, Zidan yang baru saja melangkah keluar rumah barunya, terhenti ketika matanya menangkap sosok Lana yang terisak pelan di ujung tangga. Rasa iba menyelusup ke dalam hatinya; meski mereka baru saja bertemu, ia merasa tak tega melihat wanita itu bersedih.
Sreek…! Suara pintu kaca luar mansion berderit saat digeser, dan tanpa berpikir panjang, Zidan segera meletakkan kemejanya di atas kepala Lana. Lana terkejut, mendongak dengan ekspresi bingung. Matanya yang masih dipenuhi air mata menatap Zidan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
“Eh... apa yang kamu lakukan?” tanya Lana, merasa canggung dengan perhatian mendadak itu.
Zidan tersenyum lembut, “Kamu terlihat kedinginan. Aku pikir ini bisa membantu,” katanya, dengan suara yang ramah dan menenangkan. Sambil berbicara, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memastikan tidak ada orang lain yang menyaksikan momen pribadi ini.
Setelah itu, Zidan berbalik, menatap ke luar pintu, berencana untuk merokok sambil memberikan waktu bagi Lana untuk menenangkan diri. Dia tahu bahwa terkadang, kehadiran seseorang bisa lebih menenangkan daripada kata-kata. Meski ia tidak tahu pasti masalah apa yang sedang dihadapi Lana, ia bisa merasakan bahwa beban di pundaknya pasti sangat berat sampai-sampai membuatnya menangis.
Lana seketika tersadar bahwa ia sedang menangis dan langsung menarik kemeja itu untuk menutupi wajahnya yang memerah. “Aduh!! Haa... kenapa aku harus terlihat seperti ini di depannya?! Memalukan sekali!” batinnya, merutuki dirinya sendiri.
Namun, di tengah rasa malunya, ada perasaan yang mulai menghangat di dalam hatinya. Mungkin sebuah kata canggung darinya bisa lebih menguatkan daripada sekadar kata-kata penghibur yang biasa saja. Lana merasakan betapa perhatian Zidan, meski sederhana, memberi sedikit harapan dan penghiburan di saat yang penuh kesedihan ini.
Beberapa menit kemudian, Zidan merasakan dinginnya udara malam yang menusuk hingga ke tulangnya, dengan segera ia menutup pintu kaca itu.
“Ssssh... dingin. Aku pergi dulu, ya? Jangan terlalu lama duduk di situ. Jaga kesehatanmu,” katanya sambil tersenyum sebelum meninggalkan Alana.
Alana mengangguk pelan namun tetap tidak beranjak dari tempatnya. Saat ia mencoba menenangkan pikirannya, tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat, dan pintu mansion terbuka lebar. Zayn muncul di ambang pintu, terlihat lelah setelah bimbel. Ia terlonjak saat melihat Alana duduk menunduk di tangga. Namun rasa kagetnya segera tergantikan oleh rasa khawatir saat ia melihat Alana yang tampak kuyu dengan mata bengkak.
“Alana? Kenapa kamu di sini?” tanyanya, langkahnya cepat mendekati Alana. “Kamu terlihat tidak baik. Apa yang terjadi?”
Alana mengangkat kepala sedikit, mencoba memberi senyum cerah, senyum yang selalu ia tampilkan untuk menutupi rasa sakitnya.
“ Haha..aku nggak papa kok, Za. Cuman kecapean aja, biasa lah” jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan meski hatinya bergetar.
Zayn menatapnya dengan skeptis, tidak terpengaruh oleh senyum palsu itu.
Aku hapal dengan senyuman itu, pasti ada yang kamu sembunyikan. Aku harap kamu tidak memendam rasa sakitmu sendiri La, pikirnya dalam hati.
“Ayo kita masuk, di sini dingin,” ucap Zayn, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Alana. Alana hanya mengangguk, mengikuti langkah Zayn menaiki tangga menuju pintu masuk rumah. Setiap langkah terasa berat, namun kehadiran Zayn memberikan sedikit ketenangan.
Sesampainya di dalam Alana segera bergegas menuju kamarnya dan berbaring di atas ranjang. Matras yang empuk dan selimut yang hangat membuatnya merasa nyaman. Dalam sekejap, ia terbuai dan terlelap dalam tidur yang nyenyak.