Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 12
"Gisela! Gisel! Di mana kamu!" Suara Abram terdengar menggelegar di rumah tersebut. Gisela yang saat itu sedang membersihkan piring bekas makan malam pun, bergegas mencuci tangan lalu berjalan tergesa mendekati Abram.
Kening Gisela mengerut dalam saat melihat kilatan amarah dari sorot mata suaminya. Padahal ia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Belum juga Gisela membuka suara, tamparan Abram sudah mendarat mulus di pipi Gisela hingga membuat kepala wanita itu sampai tertarik ke samping.
"Apa Nyonya Vera tadi pagi ke sini?" tanya Abram. Gisela hanya mengangguk karena ia masih sibuk mengusap pipinya yang terasa memanas. "Dan kamu bilang kalau Stevani adalah pelayan di sini? Kenapa kamu merendahkan Stevani? Seharusnya kamu bisa mengatakan kalau dia teman kamu bukan pembantu rendahan sepertimu!" bentaknya menggebu-gebu.
Seusai makan malam tadi, Abram lalu bercinta dengan Stevani. Namun, ketika telah selesai dan sama-sama sampai pada puncaknya, Stevani menangis dalam pelukan Abram. Lelaki itu mengadu jika tadi pagi Vera datang dan Gisela bersikap sangat sombong. Hanya karena ada Vera di sana, Stevani diperlakukan selayaknya pembantu oleh Gisela dan Vera. Abram yang terbakar emosi, tanpa meminta penjelasan terlebih dahulu bergegas turun dan langsung memberi perhitungan kepada Gisela. Tanpa mengetahui kalau itu adalah akal licik Stevani saja.
Gisela mengangkat kepala dan menatap mata suaminya yang masih menyorotkan amarah di sana. Setelahnya ia mendes*hkan napas ke udara secara kasar. Ternyata, Stevani pandai bermain sandiwara. Wanita itu benar-benar licik. Namun, Gisela berusaha untuk tetap tenang karena melawan orang seperti Stevani tidak bisa memakai emosi.
"Apa kekasihmu yang bilang seperti itu?" Gisela bertanya santai embari menatap Abram. Bibir wanita itu tersenyum simpul seolah tidak terluka ataupun cemburu. Akan tetapi, hal itulah yang membuat Abram mendadak gelisah sendiri. Hati lelaki itu justru merasa tidak tenang.
"Ya." Amarah Abram mulai menurun. Tidak setinggi tadi. "Kupikir kamu lugu, ternyata itu hanya pura-pura. Sungguh licik," umpatnya. Menatap penuh kebencian ke arah suaminya.
"Seharusnya kalian berterima kasih padaku, Mas. Coba saja kalau aku bilang dia adalah selingkuhanmu. Mungkin bukan tubuhmu saja yang akan babak belur dipukuli papa, tapi karirmu juga akan hancur." Gisela sungguh tidak memiliki ketakutan sedikit pun. Ia berusaha untuk tetap tenang dan biarlah Abram yang gelisah.
"Berani sekali kamu berbicara seperti itu!" Abram hendak menampar Gisela lagi karena wanita itu sudah lancang. Namun, tangannya hanya mengatung di udara. Abram mengurungkan niatnya saat melihat sorot mata Gisela. Ada sebuah perasaan aneh yang menjalar menyusup masuk ke hatinya dan Abram tidak tahu perasaan apa itu. Karena selama bersama dengan Stevani, dia belum pernah merasakannya.
"Kenapa kamu tidak jadi menamparku, Mas? Padahal aku sudah siap. Setidaknya, ini tidak akan terlalu sakit saat aku dalam posisi siap, tidak seperti tadi. Aku bukan hanya sakit, tapi juga terkejut," ujar Gisela tanpa memudarkan senyumnya. Sungguh, wanita itu pintar bermain dengan suasana.
"Memangnya apa yang bisa kamu lakukan sampai-sampai berani berbicara selancang itu padaku?" Abram tidak sekalipun mengalihkan pandangannya dari istrinya.
"Aku hanya berbicara faktanya. Kalau seandainya mereka tahu kalau ternyata kita tinggal bertiga, aku yakin kamu akan mendapat kecaman dari banyak orang. Kamu akan dianggap bukan lelaki baik karena berani berselingkuh dan bisa saja kamu mengalami penurunan. Ingat, kamu salah satu pengusaha muda di negara ini dan semua hal yang kamu lakukan akan menjadi perhatian publik," kata Gisela panjang lebar.
"Cih! Aku tidak takut. Padahal seharusnya yang dihujat itu kamu. Hanya karena ambisi untuk mendapatkanku kamu sudah menjadi orang ketiga dalam hubunganku dan Stevani," ucap Abram setengah membentak.
"Aku? Kenapa aku yang salah? Sepertinya bukan aku yang seharusnya salah, tapi kamu. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau sudah memiliki kekasih? Seandainya aku tahu itu maka aku tidak akan memaksa agar kamu mau menikahiku." Gisela tanpa takut membalas ucapan Abram.
Ia memang menyesal sudah menikahi Abram yang memiliki kekasih, tetapi untuk sekarang ia juga tidak mungkin mundur. Ia tidak ingin keluarganya mendapatkan aib karena perceraian itu sangat berpengaruh besar terhadap masa depan keluarganya termasuk karir papanya.
"Aku bisa mengatakan kalau semua ini adalah akal-akalan kamu karena ingin mengeruk hartaku. Mudah bukan?" Abram masih menantang, tetapi tidak ada sedikit pun ketakutan yang terpancar dari wajah Gisela.
"Silakan saja. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, Mas. Kalau aku ini adalah istri sahmu. Yang lebih berhak atas dirimu. Seharusnya kamu juga tahu kalau apa pun di dunia ini pasti ada pro dan kontra. Mungkin mereka akan membela kekasihmu, tapi aku yakin akan ada banyak yang membela istri sah. Meskipun dia lebih dulu menjadi kekasihmu, tapi sekarang posisiku di hidupmu lebih tinggi darinya, Mas."
Mulut Abram terbungkam rapat saat mendengar ucapan Gisela. Ia tidak menyangka kalau wanita itu ternyata sangat pandai berbicara hingga membuatnya kalah telak. Abram pun membenarkan sebagian ucapan istrinya dan hal itulah yang membuatnya tidak bisa mendebat wanita itu lagi.
Ketika suasana sedang tegang, terdengar teriakan dari Stevani dari kamar hingga membuat Abram berlari kencang. Meninggalkan Gisela begitu saja. Awalnya Gisela tidak peduli, tetapi ia juga merasa penasaran dengan hal apa yang membuat Stevani berteriak sekencang itu. Akhirnya, Gisela pun ikut menyusul ke kamar utama meskipun langkahnya sangat berat.
"Kamu kenapa, Sayang?" Abram memeluk Stevani erat. Merasa khawatir karena wanita itu terus saja mengerang sembari memegangi perutnya. "Apa kamu baik-baik saja?"
"Perutku sakit sekali, Mas," rintih Stevani. Tanpa menunggu lama, Abram pun membopong Stevani dan berjalan ke luar kamar dengan langkah lebar. Namun, ketika sampai di ambang pintu langkah Abram terhenti lalu ia berbalik dan berdecak kesal saat melihat Gisela yang hanya berdiri di samping tempat tidur. Tanpa ada pergerakan sama sekali.
"Kenapa kamu diam saja? Ikut denganku!" perintah Abram. Suaranya terdengar sangat tinggi.
"Aku pikir, aku tidak harus ikut, Mas." Gisela berusaha menahan tawa. Ia tidak ingin dicap sebagai orang yang tidak baik karena tertawa di atas penderitaan orang lain.
"Ikut. Kalau aku butuh apa-apa, kamu bisa ku suruh-suruh. Aku tidak menerima penolakan." Abram pun kembali berbalik dan berjalan cepat menuruni tangga. Sementara Gisela memang mengekor, tetapi ia berjalan sangat santai. Seperti seorang putri Solo.
"Aku lupa kalau di sini aku adalah pembantu." Gisela terkekeh karena ucapannya sendiri.
"Kenapa kamu lama sekali! Bisakah kamu berjalan lebih cepat!" Abram yang sudah masuk ke mobil, menggeram marah karena Gisela berjalan sangat lambat. Rasanya Abram ingin menyeret wanita itu agar lekas, tetapi ia juga tidak ingin meninggalkan Stevani sendirian.
Ketika wanita itu sudah masuk ke mobil, Abram pun segera melajukan ke rumah sakit. Selama dalam perjalanan, ia terus merasa khawatir melihat Stevani yang terus mengerang kesakitan.
"Sabar sedikit, Sayang. Aku akan berusaha agar cepat sampai di rumah sakit." Abram mengusap puncak kepala Stevani untuk menenangkannya. Mereka sangat tidak peduli pada perasaan Gisela. Pamer kemesraan di depan wanita itu.
Jangan bersedih, Gis. Bertahanlah dan biarkan tangan Tuhan yang berbicara.