Lintang Anastasya, gadis yang bekerja sebagai karyawan itu terpaksa menikah dengan Yudha Anggara atas desakan anak Yudha yang bernama Lion Anggara.
Yudha yang berstatus duda sangat mencintai Lintang yang mengurus anaknya dengan baik dan mau menjadi istrinya. Meskipun gadis itu terus mengutarakan kebenciannya pada sang suami, tak menyurutkan cinta Yudha yang sangat besar.
Kenapa Lintang sangat membenci Yudha?
Ada apa di masa lalu mereka?
Apakah Yudha mampu meluluhkan hati Lintang yang sekeras batu dengan cinta tulus yang ia miliki?
Simak selengkapnya hanya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Bercerita lewat telepon
Lintang membuka kamar ibunya. Meletakkan tas dan melepas sepatu. Menghampiri ranjang, tangannya terulur mengelus kening sang ibu lalu menciumnya. Mengamati wajah tua yang sedikit kurus, namun tetap cantik.
Kehilangan sosok suami di usia senja. Menghabiskan sisa hidupnya hanya dengan bayang-bayang semu. Entah impian apalagi yang belum terwujud, yang pastinya Lintang pun ingin sang ibu mempunyai kesempatan untuk sembuh, menikmati masa tuanya bersama orang-orang yang disayangi.
Kejadian di ruangan Yudha membuatnya tak nyaman. Apalagi saat Lion memintanya makan bersama sang papa. Itu adalah momen yang tak bisa Lintang tolak, takut membuat Lion tersinggung dan bersedih seperti penolakan sebelumnya.
Dari lubuk hati yang terdalam, Lintang ingin menjauh dari Yudha, namun ia harus memikirkan cara dan juga pekerjaan baru yang tak mungkin didapatkan dalam sekejap.
"Aku bertemu dengan dia lagi, Bu. Sekarang dia sudah punya anak yang sangat tampan dan lucu. Pasti dia juga menikah dengan perempuan yang cantik dan kaya," gumam Lintang mengadu.
Ia tak pernah menyesali perjodohan yang batal itu, namun sangat di sayangkan dengan sikap Yudha menimbulkan banyak masalah di keluarganya. Hingga ibunya kini menjadi orang yang lupa segalanya, termasuk dirinya.
Lintang tersenyum lalu mengambil piring kosong dan gelas yang ada di meja sisi pembaringan. Itu artinya sang ibu makan seperti biasa. Ia keluar, dalam benaknya terbesit nama Arif. Satu-satunya orang yang bisa menolongnya.
"Apa aku minta bantuan mas Arif saja, siapa tahu di kantornya ada lowongan kerja."
Lintang ke kamar, setelah mandi dan menjalankan kewajibannya sebagai muslim, ia keluar. Menatap rumah Luna yang tertutup rapat, lalu menatap motor Arif yang terparkir di depan.
"Mbak Luna… "
Lintang mengetuk pintu rumah Luna. Terus memanggil nama sang penghuni yang belum juga keluar.
"Sebentar," sahut suara dari dalam. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Luna membuka pintu. Nampak Arif duduk di ruang keluarga sambil menyalakan tv.
"Ada apa, Lin?" tanya Luna menggiring Lintang duduk di ruang tamu.
"Aku ke sini mau bicara dengan mas Arif." Mendengar namanya disebut, Arif mematikan tv nya dan beralih duduk di samping sang istri.
"Ada apa?" tanya Arif kemudian.
"Apa di kantor mas Arif ada lowongan kerja untuk perempuan?"
Lintang mengusir rasa malu, bagaimanapun juga ia ingin keluar dari kantor Yudha.
"Nggak ada. Kemarin ada, tapi untuk laki-aki, dan kayaknya sudah ada yang masuk. Memangnya kenapa dengan pekerjaan kamu yang sekarang?"
Lintang menunduk lalu tersenyum. Tidak semua masalah harus diceritakan pada orang lain juga. Termasuk perkara yang membelitnya saat ini.
"Tidak apa-apa mas, siapa tahu ada pekerjaan yang lebih mapan saja." Jawaban yang menurut Arif sedikit Ambigu, namun tetap diterima oleh akal nya.
"Nikmati prosesnya saja, Lin. Dimanapun kita bekerja, kalau dijalani dengan ikhlas pasti akan membawa berkah."
"Aamiin, " jawab Lintang mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
Senja berlalu, usai sholat maghrib, Lintang membuka sosmed. Tujuannya masih sama, yaitu mencari peluang pekerjaan baru. Ia tak ingin dihantui dendam yang membara. Cepat atau lambat Yudha pun akan tahu jati dirinya.
"Aku harus minta bantuan siapa lagi."
Lintang semakin bingung.
Menggigit ujung kukunya, mencari deretan nama yang masuk dalam list sahabat, baik di kantor saat ini maupun teman kuliah.
Ponsel yang beberapa menit ia letakkan berdering. Nomor tak dikenal berkedip di layar.
"Ini nomor siapa?" ucap Lintang kecil. Menerka-nerka siapa sang pemilik nomor itu.
Saking penasaran nya, Lintang mengangkat teleponnya, menyapa lembut dengan ucapan salam.
"Waalaikumsalam," jawab suara berat dari seberang telepon. Lintang tahu siapa itu, dadanya kembali sesak dengan mata berkaca. Ingin sekali Lintang menutup sambungannya, Namun suara rengekan yang terdengar lagi-lagi membuat Lintang tak tega.
''Ada apa bapak menelpon saya?" tanya Lintang tanpa basa-basi, ia ingin segera mengakhiri percakapan yang belum dimulai.
"Lion menangis, dia ingin bertemu kamu. Maaf sebelumnya kalau saya mengganggu malam-malam begini."
Sikap dan tutur sapa Yudha sangat lembut, entah itu karena Lion atau apa. Yang pastinya jauh berbeda dengan lima tahun yang lalu.
"Berikan hp nya pada dia, biar saya yang bicara," pinta Lintang.
Suara tangis menembus gendang telinga Lintang. Mana mungkin ia diam saja saat anak itu menginginkannya.
"Lion kenapa?" tanya Lintang dengan nada lembut khas seorang ibu yang berbicara dengan anaknya.
"Tante cantik bohong, katanya ingin tidur dengan ku, tapi kenapa tidak ke sini?" ucap Lion tersendat, menahan tangis.
Seolah-olah anak itu adalah umpan yang jitu untuk meluluhkan hati Lintang. Melenyapkan setiap rasa benci yang membuncah di ubun-ubun.
"Tapi, Sayang. Tante benar-benar nggak bisa, ibu tante lagi sakit, dia butuh teman."
Yudha meraih ponselnya lagi. Mendekap tubuh mungil Lion yang masih sibuk dengan tangis. Hatinya ikut tersayat melihat putranya yang terus meneteskan air mata.
"Aku tidak tahu apa yang kamu berikan pada Lion sampai dia sangat menyayangimu. Tapi aku mohon jangan permainkan hati dia. Jangan berjanji jika kamu tidak bisa menepati. Aku tidak mau dia mengharapkan orang yang tidak menyayanginya dengan tulus. Dan jangan memakai alasan ibumu sakit."
Suara Yudha nampak serius.
Lintang memejamkan mata, ingin berteriak, mengolok yang pernah dilakukan Yudha padanya, namun semua itu di urungkannya.
"Terserah apa kata bapak tentang saya. Orang seperti saya bukanlah apa-apa. Ibu memang sakit. Itu bukan alasan yang saya buat. Dan saya harap bapak mengerti dengan ini. Bukan cuma Lion yang butuh kasih sayang, tapi ibu saya juga, karena didunia ini yang ia miliki hanya saya."
Entah kenapa, Yudha merasa terenyuh mendengar itu. Ia memang tidak pernah tahu siapa Lintang, namun setelah mendengar ucapannya barusan. Ia bisa menyimpulkan bahwa Lintang hidup hanya berdua dengan ibunya.
"Tante cantik…. "
Lion menjerit. Suaranya sangat memilukan yang membuat Lintang iba.
"Sayang, dengarkan tante, Kali ini tante akan bacakan dongeng untuk kamu lewat telepon. Lain kali tante akan tidur dengan Lion, tapi untuk malam ini Lion yang pintar, anggap saja guling yang ada di samping Lion itu tante."
Seketika Lion menatap Guling yang ada di pinggir ranjang lalu memeluknya dengan erat. Ponsel masih di telinga untuk mendengarkan cerita dari Lintang.
Sisa isakan tangis terdengar di bibir mungil Lion. Sesekali tertawa dan menutup mulutnya. Menyahut cerita Lintang yang menurutnya sangat seru. Semakin lama mata bocah itu semakin menyipit hingga bibirnya tak lagi menjawab apa yang dikatakan Lintang.
Yudha menempelkan benda pipi di telinganya. Seperti Lion, mendengarkan cerita Lintang yang masih berlanjut.
Ehemm
Yudha berdehem dan tersenyum kecil yang hanya bisa disaksikan cicak di dinding.
"Lion sudah tidur, terima kasih atas waktunya. Maaf tadi aku marah."
Tut Tut Tut
Lintang menutup teleponnya tanpa menjawab ucapan Yudha.
🤡 lawak kali kau thor