NovelToon NovelToon
Tetangga Gilaku

Tetangga Gilaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Teman lama bertemu kembali / Enemy to Lovers
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."

"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"

Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15

Bri menghela napas panjang begitu langkahnya tiba di depan rumah. Hari itu melelahkan—deadline proyek yang menumpuk, atasan yang banyak menuntut, dan perjalanan pulang yang penuh kemacetan membuatnya ingin segera masuk, mandi, lalu rebahan tanpa diganggu siapa pun. Namun, sebuah pemandangan di depan pagar rumahnya membuatnya terpaksa menahan rencana itu.

Di sana, Raga, tetangga yang tinggal di rumah sebelah, sedang mengobrol dengan satpam kompleks, Pak Ujang. Pria itu bersandar santai di motornya, sesekali tertawa kecil, terlihat begitu menikmati percakapan.

Bri tak punya masalah dengan Pak Ujang. Tapi Raga? Ah, pria itu seperti kutu yang selalu mencari celah untuk mengganggu hidupnya. Setiap kali mereka bertemu, ada saja cara Raga untuk memancing emosinya.

Meskipun begitu, Bri tetap menjaga sopan santun. Ia tidak mau memberikan kesempatan bagi Raga untuk memulai ‘permainan’ seperti biasanya.

“Malam, Pak. Mau mulai jaga ya Pak ?” sapa Bri sambil membuka pagar.

Pak Ujang mengangguk. “Iya, Mbak Bri. Ini baru mau ke pos.”

Dari samping, Raga meliriknya dengan tatapan iseng. Bibirnya melengkung, menunjukkan seringai khasnya yang menyebalkan.

“Mbak Bri baru pulang ya?” tanyanya dengan nada yang terlalu riang untuk ukuran basa-basi.

Bri menatapnya dengan sinis. “Haruskah aku menjawabnya?"

“Wah. Aku bermaksud beramah tamah tapi dibalas sinis olehnya," ucapnya pura-pura sedih menatap Pak Ujang yang tertawa melihat mereka berdua.

Bri menarik napas panjang. Raga memang selalu punya cara untuk menguji kesabarannya. “Tidak ada yang ramah darimu tentunya,” balas Bri dengan nada setenang mungkin.

Raga tampaknya belum puas. “Aku ini mendapat gelar kehormatan dari pak RT loh, sebagai tetangga yang paling ramah di sini,” ucapnya dengan nada pura-pura serius. Pak Ujang yang mendengarnya mengangguk setuju dengan hal itu.

"Benar mbak. Tapi terkadang kelewat ramah juga," ucap Pak Ujang sesumbar.

“Mungkin hanya saya yang belum melihat hal itu ya pak. Atau memang nyatanya tidak ada alias pura-pura ramah,” bisik Bri sebelum berbalik dan masuk ke rumah, meninggalkan Raga yang masih tersenyum menatapnya.

***

Di dalam kamar, Bri berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang masih sedikit berantakan. Matanya masih tampak sedikit mengantuk, tetapi ia tetap berusaha fokus mengenakan pakaian kerja yang telah ia siapkan sejak semalam. Aroma kopi dari dapur mulai menyebar ke seluruh rumah, mengingatkannya bahwa ia harus segera sarapan sebelum berangkat.

Di meja makan, sepiring roti panggang dan segelas kopi hitam sudah menunggunya. Bri menarik napas panjang sebelum duduk, mengambil roti dengan gerakan malas, sambil sesekali melirik jam dinding yang berdetak tenang. Waktu masih cukup, tetapi ia tak bisa berlama-lama jika tak ingin terlambat. Bri bersiap untuk berangkat kerja. Setelah mengenakan blazer dan mengambil tasnya, ia berjalan keluar dengan penuh semangat. Tapi saat membuka pagar, langkahnya terhenti.

Sebuah mobil hitam terparkir tepat di depan rumahnya, menghalangi akses mobilnya keluar. Bri menghela napas panjang. Matanya membaca plat nomor mobil itu dan mencari tahu siapa pemiliknya. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah. Dari rumah sebelah keluarlah Raga yang sibuk dengan berbagai berkas di tangannya.

"Ini mobilmu?" tanya Bri penasaran.

Pria itu meliriknya. “Oh, pagi, Bri. Tumben kamu berdiri di situ, menunggu seseorang?” tanyanya sambil menyeringai. Raga segera membuka pintu mobil itu dan meletakkan barang-barang di dalam. Tangannya mengepal. Ia sudah bisa menebak bahwa ini pasti ulah pria menyebalkan itu. Tanpa menunggu lebih lama, Bri berdiri di depan pagar dengan kaki bersekap pinggang. Menunggu.

Bri menarik napas dalam-dalam. “Kenapa kau parkir di situ? Mobilku tidak bisa keluar.”

Raga melirik posisi mobilnya, lalu mengangkat bahu. “Oh, ya? Aku tidak sadar.”

Bri mendengus. Tidak sadar? Mustahil.

“Aku kasih waktu satu menit untuk memindahkan mobil itu,” ancam Bri.

Alih-alih langsung menurut, Raga justru berjalan santai ke belakang mobilnya. Ia bersandar di pintunya dan menatap Bri dengan mata yang penuh kesenangan.

“Hal yang harusnya kau tanyakan adalah kenapa aku memarkirkan mobil ini di depan rumahmu,” ucapnya dengan nada licik.

Bri mendengus. “Aku tak mau tau.”

“Ada mobil blind van parkir di depan rumahku tadi pagi. Aku tidak bisa masuk ke rumah, jadi aku parkir di sini.”

Bri tertawa sinis. “Jadi solusinya menghalangi mobilku keluar? Kau pikir itu masuk akal?”

Raga mengangkat bahu. “Aku pikir kau tidak akan pergi sepagi ini.”

Bri menutup matanya sejenak, menahan diri agar tidak berteriak di tengah kompleks.

“Raga, geser mobilnya sekarang,” katanya dengan suara lebih dalam.

Raga tersenyum kecil, lalu akhirnya membuka pintu mobil dan menyalakan mesin. Dengan kecepatan yang sengaja dibuat lambat, ia memundurkan mobilnya sedikit demi sedikit, seolah ingin menguji kesabaran Bri lebih lama.

Begitu ada cukup ruang, Bri langsung masuk ke mobilnya dan melajukan kendaraan tanpa menoleh ke arah Raga lagi. Di kaca spion, ia masih bisa melihat pria itu berdiri di samping mobilnya, menyeringai puas.

Bri tahu ini belum selesai. Raga tidak akan melewatkan satu pun kesempatan untuk mengganggunya. Dan ia, entah bagaimana, mulai merasa tertantang untuk tidak kalah dari pria itu.

Bri mengira masalah parkir itu selesai begitu ia berangkat kerja. Namun, saat pulang sore harinya, ada hal lain yang lebih menjengkelkan menunggunya.

Ia mendapati Raga sedang duduk di motor di depan pagar rumahnya lagi, kali ini dengan sebuah kantong plastik di tangan. Begitu melihat Bri turun dari mobil, Raga melambai.

“Aku beli martabak. Mau?” tanyanya santai.

Bri mendelik. “Kenapa kau harus makan di depan rumahku?”

“Kenapa tidak? Anginnya enak di sini,” jawabnya enteng. Bri mengerang pelan. Raga benar-benar ujian kesabaran terberat dalam hidupnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Bri masuk ke rumah, menutup pagar dengan sedikit lebih keras dari biasanya, dan bersumpah dalam hati ia tidak akan membiarkan Raga menang dalam permainan ini. Yang ia tidak tahu, Raga justru tersenyum kecil, menikmati setiap momen dalam ‘permainan’ mereka.

1
Siska Amelia
okayy update kok dikit dikit
lilacz
dari segi alur dan penulisan membuat aku tertarik
lilacz
jgnn lama-lama update part selanjutnya ya thor
Karangkuna: terima kasih untuk dukungannya :)
total 1 replies
ulfa
wah genre favorit aku, dan ceritanya tentang enemy to lovers. ditunggu next part ya kak. semangat /Smile/
Karangkuna: happy reading, terima kasih sudah mampir :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!