"Panggil Bee aja seperti biasa. Gak ada akan ada yang curiga kan kalau kita in relationship, namaku kan Bilqis keluarga panggil aku Bi."
"We have no relationship."
Samapai kapanpun aku akan mengingat kalimat itu.
>_<
Bahkan hubungan yang aku pahami, lain dari hubungan yang kamu pahami.
Kamu tidak salah.
Aku yang salah mengartikan semua kedekatan kita.
Aku yang begitu mengangumimu sejak kecil perlahan menjelma menjadi cinta, hingga salah mengartikan jika apa yang kamu lakukan untukku sebulan terakhir waktu itu adalah bentuk balasan perasaannku.
Terima kasih atas waktu sebulan yang kamu beri, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasakan layaknya seorang kekasih dan memilikimu.
Tolong jangan lagi seret aku dalam jurang yang sama, perasaanku tulus, aku tidak sekuat yang terlihat. Jika sekali lagi kamu seret aku kejurang permainan yang sama, aku tidak yakin bisa kembali berdiri dan mengangkat kepala.
This is me, Bee Ganendra.
I'm not Your Baby Bee Qiss anymore
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Unik Muaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gue Suka
Semua peralatanku Bang Ar kembalikan, karna Bunda sudah mengizinkanku untuk membantu Elio. Tetapi ... Kami diusir dari rumah sehingga lantai tiga bangunan An Angel milik Kak An menjadi markas baru kami.
Didepanku Bang Ar sedang mengomel, aku yang mulai bosan karna sejak tadi mendapat omelan, diam-diam memasang satu peralatan kecil disalah satu telingaku, peralatan menguping yang aku ciptakan.
Aku meletakkan penyadap dimobil yang Elio gunakan semalam sehingga aku bisa menguping apa yang terjadi dimobil itu.
"Hemz ..."
Aku mendengus mendengar keputusan mereka yang akan backstreet, aku paham mereka masih saling cinta, tetapi sepertinya cerita mereka tidak sesimpel apa yang mereka ketahui.
Tuk ...
Aku menoleh kesamping karna ada yang menendang kakiku, Dia ... Sagara duduk disampingku, dan dia yang menendang kakiku.
Keningku mengerut dalam, tidak mengerti kenapa dia menendang kakiku.
"Abang lo lagi marah, kenapa lo malah mencibir?" Bisiknya begitu dekat dnegan telingaku.
Mataku membulat dan menatap Bang Ar lalu menyengir, "aku gak bermaksud mendengus sama Abang, sumpah."
Bang Ar melangkah lebar mendekat dnegan mata memicing.
Buru-buru kututup kedua telingaku dan berdiri sembari berlari kearah pintu lantai tiga sebelum Bang Ar berhasil mengambil alat kecilku.
"Elio nyampek!."
Setidaknya kehadiran dua sejoli itu membuat perhatian Bang Ar teralih.
*-*
Malas berkumpul dengan para cowok-cowok, aku turun kelantai satu dan memilih untuk mendengarkan diskusi para Raja, Elio dan Dia dengan menggunakan penyadap saja. Lagipula jika ada Dia (Sagara) mana biasa aku konsentrasi penuh.
Setelah diskusi mereka selesai, barulah aku mulai memesan makanan untuk kami semua. Pesanan yang pertama datang adalah makanan favoritku, cappuchino.
"Lo suka kopi?."
Deg ...
Ah ... Kenapa dia yang datang lebih dulu.
Aku menyengir dan mengangguk singkat, tidak ingin terlibat pembicaraan dengan dia. Tetapi dia malah duduk tepat disampingku, membuatku diam-diam mengetatkan rahang.
"Sekarang kita cukup dekat kan, untuk duduk bersama begini?."
Untung saja aku sudah meletakkan gelas kopiku diatas meja, kalau tidak ... aku tidak yakin kopi favoritku itu tidak akan tumpah karna mendengar pertanyaannya.
"Kalau gak jawab berarti iya" simpulnya.
Aku menghela nafas, lebih baik membiarkan dia menyimpulkan sendiri saja, aku takut salah bicara.
"Semakin gue kenal lo, gue semakin tertarik."
Jantungku serasa berhenti seketika.
Aku menoleh padanya dan tubuhku menegang seakan membeku karna aku tidak menyangka jika dia duduk disampingku, menghadap padaku dengan wajah condong kedepan, sehingga jika aku menoleh seperti sekarang ini, posisi wajah kami begitu dekat.
Jantungku yang semula seakan berhenti berdetak karna kalimat yang dia ucapkan, seketika bergemuruh.
"Gue pikir karna lo cewek satu-satunya lo akan manja ama Bokap lo, seperti Sakura ke Bokap gue, tapi ternyata enggak" dia tersenyum lebar aku melihat sudut bibirnya meski tidak menatapnya langsung. "Lo bahkan gak nangis atau melawan saat Bunda lo tadi ngejewer telinga lo, pasti sakit karna telinga lo sampe memerah" dia meringis.
Dia ... Dia memperhatikan aku sedetail itu, bahkan aku sendiri tidak sadar. Aku hanya merasa sakit tadi, tetapi aku tidak tahu jika telingaku sampai memerah dan terlihat jelas olehnya yang duduk disebrang meja.
Aku memberanikan diri untuk membalas tatapan matanya. Tatapan mata kami bertautan, dan dia tersenyum semakin lebar.
"Lagi-lagi ... You amaze me" ucapnya lirih, "dan kembali gue katakan ... Kalau gue merasa bangga mengetahui sifat dan kelebihan lo. Gue yakin selain keluarga lo, gue satu-satunya orang yang tau."
Aku berdecak dan mendorong wajahnya menjauh, menyembunyikan kegugupanku.
Dengan posisi kami yang begitu dekat, suaranya yang terdengar tulus dan sungguh-sungguh ... Dan jangan lupa perasaanku yang selalu menggebu untuknya membuatku serasa akan terbang.
Aku mendengar kekehan renyahnya, tanganku yang telah mendorong wajahnya menjauh dia tangkap dengan sebelah tangan dan tangan yang lain malah bertos dengan tanganku.
Jika aku bukan seorang hacker dan mengetahui apapun tentang dia, aku pasti tidak akan percaya jika dia tidak pernah berpacaran sebelumnya, karna apa yanh dia lakukan begitu lihai membuat perasaanku jungkir balik tak menentu sejak awal pertemuan kami setelah sepuluh tahun.
"Oh ... Jadi ini pacar lo?."
Aku juga mendengar kalimat dengan nada sinis itu, namun aku tidak menoleh kesamping seperti dia yang memutuskan tautan mata kami.
"Pantes lo sering nolak Yardan, ternyata udah punya pacar."
Kali ini aku menoleh kesamping karna merasa kenal dnegan si pemilik suara. Gladis, si penggila Yardan berdiri tidak jauh dari meja tempatku dan Dia duduk.
Aku menatap tajam padanya, kedang kepapa sedikit miring kekiri dan menarik sebelah bibirku, tersenyum sinis.
"Menurut lo ..." ucapku dnegan nada datar, "apa Yardan bisa nyaingin dia?" aku kembali menoleh padanya Dia dan tersenyum lebar.
Tatapan kami kembali bertautan, Dia membalas senyumanku dengan kedua alis terangkat.
Aku menggigit bibir bawah bagain dalamku, menahan diri agar tidak lepas kendali didepan Dia. Tatapan Dia begitu tajam.
"Bisa pergi?" Tanya Dia tampa menoleh pada Gladis, lebih tepatnya tampa memutuskan tautan mata kami, "Lo menggu."
Aku memutus tautan mata kami dan menatap Gladis dengan datar lalu melambaikan tangan. Gladis menatapku dnegan tatapan kesal sebelum berbalik badan dan pergi.
Seketika aku tidak tenang, perasaan khawatir dia tahu perasaanku membuatku gelisan dan memilih menatap kealain arah.
Bagaimana jika dia tahu aku menyukainya?.
Satu kalimat itu berputar dibenakku, membuatku tidak tenang.
"Menurut lo sendiri gimna?, apa gue bisa nyaingin Yardan itu?" Tanyanya dnegan nada terdengar begitu tenang.
Sekuat tenaga aku mengulum bibiku dan menggigitnya, menahan diri agar tidak mengatakan tentu lo jauh lebih perfect dari Yardan. Jika sampai aku mengatakan kalimat itu, tentu tamatlah sudah.
Pura-pura mencoba tenang, aku mengambil cappucino dan mengaduk-aduknya sebelum meminumnya agar mengurangi gugupku.
"Lagi-lagi gue suka sikap lo barusan."
Aku tidak tahu itu pujian atau hanya kalimat sarkasme, namun kalimat itu mampu membuat jantungku berdetak kencang.
"Ini ketiga kalinya ada yang bertanya gue pacar lo atau bukan" ucap Dia, "gimana kalau kita beneran pacaran aja?."
Aku berhenti menyedot cappucino, diam sejenak mencoba berfikir jernih setenang mungkin.
Tak ...
Kuletakkan gelas yang aku pegang diatas meja lalu menghadap pasa Sagara, menatap pria didepanku itu dnegan lekat dan sebisa mungkin mempertahankan wajah datarku.
"Gue suka semua tentang lo, gue tertarik sama lo, you amaze me" ucapku dengan tangan mengepal agar suara ku tidak terdengar bergetar, "ayo pacaran" lanjutku.
Dia terdiam, menatapku lekat.
Selama beberapa menit kami hanya saling bertatapan tampa mengatakan apapun.
Aku yakin, buku tanganku sudah memutih karna aku mengepalakan tangan demi menahan diri agar bisa tenang.
"Kenapa diam?" Tanyaku.
Aku membuang muka, memasukkan segala peralatanku kedalam ransel yang aku letakkan disampingku.
"Kalo lo gak nyaman dengan apa yang gue ucapin, begitu juga dengan gue."
Aku berdiri dan melangkah hendak naik kelantai tiga namun aku mengurungkan niatku saat melihat para Abang turun dan melihat kunci motor milik Bang As yang hanya digantung disaku celananya.
Set ...
Aku mengambil kunci motor milik Bang As dan melangkah pergi keluar dari Caffee and Resto An Angel tampa mendengarkan teriakan Abang-Abangku.
Bangakan aku hampir saja menambrak Bang Ar yang menghadang jalanku.
Aku marah, ya ... Aku marah pada diriku sendiri karna aku tahu dia hanya bercanda mengajakku pacaran, dan aku malah merasa dipermainkan begini.
*-*