NovelToon NovelToon
Penjahat As A Sister

Penjahat As A Sister

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Reinkarnasi / Cerai / Mengubah Takdir / Transmigrasi ke Dalam Novel / Penyesalan Suami
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Blesssel

Pantas saja dia sudah merasa curiga pada sampul buku itu yang tidak biasa. Alih-alih sekedar buku cerita biasa, ternyata itu adalah buku kehidupan terbuka dari masa depan beberapa orang, termasuk Victoria Hain. Sebuah tokoh dengan nama yang sama dengannya.
Sebuah tokoh yang kini dihidupi oleh jiwanya.

“Astaga, jadi aku adalah kakaknya antagonis?”
Adalah informasi paling dasar dalam cerita ini.

Alih-alih sebagai pemeran utama, Victoria Feyar berakhir menjadi kakak dari antagonis perempuan bernama Victoria Hain, yang akan mati depresi karena sikap dingin suaminya.

“Baiklah, mari kita ceraikan Kakak protagonis pria sebelum terlambat.” Adalah rencana Victoria, demi melindungi dirinya dan adik pemilik tubuh dari dua Kakak beradik pencabut nyawa.

Untungnya ini berhasil, meski bertahun kemudian Victoria dibuat kesal, karena mereka tidak sengaja kembali terlibat dalam situasi utama pada konflik cerita itu dimulai.

“Kakak Ipar, mohon bantu kami....”
-
“Dalam mimpimu.” -- Victoria.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blesssel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11

Disekolah Estella menjadi geram dengan sikap Viona. Hari ini gadis itu berpindah tempat dan duduk disampingnya. Estella yang sejak awal merupakan introvert, jelas tidak nyaman dengan keceriaan Karen yang secerah mentari pagi.

“Estella, kau dan Remi sudah sejak kapan bersahabat?”

Estella yang sedang menulis, tanpa sadar memberi tekanan pada pena. Saking kuatnya tekanan itu sampai ujung pena sampai patah, membuatnya semakin kesal saja.

Tapi tahu apa yang lebih mengesalkan? Reaksi Viona.

Dia bertepuk tangan meski pelan, menatap Estella dengan mata berbinar. “Hebat Estella, ini pertama kalinya aku lihat ujung pena bisa patah.”

Batas kesabaran Estella yang memang setipis kertas akhirnya robek juga. Dia menghentikan kegiatannya, dan menyamping menatap Viona tepat di mata. Saat ini lonceng istirahat belum lama berbunyi, jadi masih ada beberapa orang di kelas termasuk Remi yang sedang memperhatikan seksama keduanya.

“Viona dengar, aku tidak terlalu ingin berbicara. Tolong jangan terlalu dekat denganku, apalagi menanyakan Remi selalu.”

Viona yang mendengar ini jelas tidak setuju. Dia selalu mempertanyakan tentang mereka berdua, bukan hanya soal Remi saja. Sejujurnya dia sangat iri dengan persahabatan keduanya, bukan karena dia ingin menanyakan Remi.

Tapi bagaimanapun, di mata dan pendengaran Estella adalah kebalikannya.

“Estella aku pikir kau salah paham. Aku tidak menanyakan Remi, aku menanyakan kalian berdua. Maksudku bagaimana kalian—”

“Sudahlah, hentikan omong kosongmu.” Potong Estella cepat. Dia tidak ingin mendengar apapun saat ini.

Tapi BAMB, entah salah siapa, semudah itu Viona ceria, semudah itu pula dia ketika bersedih. Kecantikannya yang lembut, dengan bibir yang sedikit gemetar dan mata hampir berair, begitu kontras dengan Estella. Meski sama cantiknya, tapi aura Estella benar-benar dingin. Bahkan meskipun dia miskin, dia tetap menampilkan getaran anak orang kaya yang sombong.

Remi yang melihat perbedaan keduanya ini tertawa. Dia menertawakan Estella dan auranya yang sombong. Ingin sekali dia menggoda gadis itu saat ini, hanya saja tidak pas dengan suasana, ketika dilihatnya Viona yang sudah mau menangis.

“Hey ladies apa kalian tidak merasakannya? Entah kenapa sangat dingin disini?” Remi mencoba mencairkan suasana dengan humor garingnya.

Tapi bahkan setelah berakting seperti orang bodoh, dia malah tidak ditanggapi oleh keduanya. Dia melihat Viona yang mulai menunduk dengan bahu yang sebentar lagi akan bergetar, sementara Estella mempertahankan kedinginan pada sikap dan wajahnya.

Remi jelas ingin menengahi keduanya, jadi dia akan mulai dengan teguran. Tapi karena tidak enak menegur Viona yang bukan siapa-siapa, Remi berpikir hanya akan menegur Estella yang dekat dengannya. Tidak pernah menyangka bahwa hal itu akan menjadi lubang besar dihati Estella.

“Este, kau ini kenapa? Kenapa tiba-tiba begitu marah pada Viona. Kau kan bisa—”

“Rem, jangan ikut campur. Ini urusan antar kami,” peringat Estella, yang sudah semakin kesal saja.

“Apanya yang kami? Jelas-jelas kudengar ada namaku tadi, hayo? Bicara apa kalian sebenarnya?”

Tepat setelah kalimat itu, tangis Viona akhirnya pecah. Memang bukan pecah yang meraung-raung, karena yang dia lakukan hanya mendudukkan dirinya di meja dan mulai menunduk disana. Hanya isak kecil dan getaran bahu yang memperjelas segalanya.

Remi menatap Estella meminta solusi, tapi yang Estella terlanjur kesal hanya diam dan kembali menghadap meja. Melihat sikap Estella, Remi hanya bisa geleng-geleng kepala. Beralih menatap Viona lagi, dia sedikit bersimpati dibuat. Juga mengingat kebaikan gadis itu kemarin, Remi merasa sudah seharusnya dia berusaha menenangkan Viona.

Estella yang melihat dan mendengar upaya menghibur Remi pada Viona, segera mencibir, “Kek apa sih! Berlebihan sekali membesar-besarkan masalah.” Lepas mengatakan itu, dia berdiri dengan kasar dan melangkah keluar.

Remi sempat memanggilnya beberapa kali tapi tidak di hiraukan Estella. Membuatnya kini canggung sendirian. Untung saja tidak lama setelah itu, Viona akhirnya lebih baik. Ketika dia mengangkat kepalanya hal pertama yang dikatakan Remi adalah, “Aku minta maaf atas nama Estella.”

Viona yang mendengar itu terperangah. Benar-benar tidak mengira itu akan menjadi kalimat pertama Remi.

Semakin dia melihat pembelaan Remi pada Estella, semakin kompleks hatinya. Itu perpaduan antara kagum dan iri juga.

Viona mengangguk pada perkataan Remi tapi hatinya mulai jauh. Jauh membayangkan, bagaimana kalau dia juga memiliki sahabat seperti Remi. Pasti akan menyenangkan juga, pikirnya.

Sepulang sekolah mereka, Remi dan Estella akhirnya berbaikan kembali. Karena memang semudah itu hubungan persahabatan diantara keduanya.

“Rem, aku dapat telepon dari Kakakku, selesai les kita harus langsung pulang kerumah, keluarga Pamanmu akan datang.”

Mendengar mengenai keluarga pamannya, langkah Remi terhenti seketika. Estella yang melihat ini pun, hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Momen canggung akan selalu terjadi ketika membicarakan anak kedua dari Tuan Besar Hain itu.

“Hei jangan khawatir. Kalau mereka mengatakan sesuatu yang tidak baik, tinggal di balas saja. Memang kenapa kalau mereka orangtua? Mereka perlu menunjukkan rasa hormat yang sama, iya’kan?”

Estella mencoba menghibur hati Remi yang sebenarnya bukan fokus kesana. “Apa Allard juga datang?” tanya Remi.

Estella mengangkat bahunya. “Mana kutahu, diakan sepupumu bukan sepupuku.”

Mendengar ini, Remi berdecak kesal. Keceriaan dan kestabilan emosinya menurun mendengar hal ini.

“Kalau dia datang, kau sebaiknya jangan terlalu dekat dengan dia. Reputasinya seburuk wajahnya.”

Perkataan Remi disambut Estella dengan tawa terpingkal-pingkal. Remi yang tadinya sempat tidak mood kini ikut tertawa melihat Estella tertawa.

Pemandangan ini dilihat Viona dari kejauhan. Semenjak dimarahi Estella untuk tidak bicara dengannya, Viona menjadi sangat sedih. Dia pun tidak mencoba berbicara lagi pada Estella. Namun kebaikan Remi yang mencoba menghiburnya tadi, memberi kesan mendalam.

“Jika Estella tidak bisa, bukan berarti Remi juga tidak bisakan? Lagipula aku hanya ingin berteman.” Pikir Karen yang tanpa sadar telah menanamkan tekad. Sebuah tekad untuk menjadi teman Remi, meski itu artinya harus menghadapi ketidaksukaan Estella.

Di kediaman mereka, dilain waktu. Victoria memutuskan untuk mengomando apapun yang harus disiapkan, untuk kedatangan Paman dan Bibi Raphael.

Walaupun Raphael sudah mengatakan untuk tidak menyiapkan apapun, namun saat Victoria membelah ingatan tentang kedua orang itu, hanya keburukan saja yang ada dalam memori asli pemilik tubuh. Rasanya dia bisa mengerti, kenapa Raphael juga tidak menyukai dua orang itu.

“Tapi apapun itu tidak untuk malam ini. Bekerja sama-lah dengan baik, karena aku menginginkan penghinaan,” ujar Victoria, sambil mengusap kedua tangannya, melihat meja makan yang telah tertata cantik.

Sebenarnya ini bukan hanya soal menyiapkan jamuan agar keluarga Raphael itu tidak menghinanya. Karena entah dia akan mempersiapkan atau tidak, Bibi Raphael tetap akan mengkritik dan menghinanya. Ini tentang membiarkan mereka menghina dirinya, dan membalas mereka disaat yang tepat.

Victoria tahu hal ini akan membangkitkan kemarahan Raphael. Tapi dia berjanji, dia akan membungkam keduanya, lebih khusus Bibinya Raphael. Ini semua karena perempuan itu banyak bicara, sementara Raphael adalah seorang pria dengan harga diri tinggi tidak terbiasa menghadapi perempuan. Jadi Victoria ingin mengambil jalan ini, untuk menyenangkan mata dan hati Raphael.

Membayangkan kehebohan yang hendak dibuatnya sebentar, semakin menyenangkan hati Victoria. “Pertunjukan ini tidak gratis Raphael hehe ….” kekeh Victoria berharap mendapatkan timbal balik.

Dengan niat buruknya, Victoria akhirnya pergi bersiap, dimana tidak lama kemudian Raphael datang.

Melihat semua makanan tertata rapi di atas meja, Raphael yang telah memberi instruksi dan tidak dilaksanakan, menahan rasa ingin meledak. Meski ada para pelayan disitu yang bisa disalahkan atau ditanyakan, tapi dia memilih diam. Karena dia tahu, darimana semua tindakan ini berasal.

Kepala Pelayan yang telah kembali dari sakitnya, langsung datang menghadap. “Selamat datang Tuan.”

Melihat Raphael yang hanya menatap meja dia terburu-buru menjelaskan. “Maaf Tuan, ini semua di bawah perintah Nyonya. Saya sudah mencoba menghentikan, tapi para pelayan yang lain terus melakukan apa yang Nyonya perintahkan.”

Untuk sesaat, Raphael merasakan ketidaksenangan yang luar biasa. Semenjak tahun lalu, dia telah berhenti menyiapkan sambutan untuk dua orang itu, hanya dibuat semakin kesal ketika Victoria melanggar perintahnya hari ini.

“Dimana dia?”

“Nyonya? Nyonya di kamarnya Tuan.”

Tanpa kata lagi, Raphael segera naik ke atas. Langkahnya begitu cepat dan kasar, tapi begitu saat sudah di depan pintu kamar Victoria, dia berhenti dan menarik nafas panjang. Sebuah tata krama tetap dilakukannya.

TUK, TUK, TUK, — TUK, TUK, TUK

Ketukan yang berulang, tapi tidak mendapatkan jawaban semakin membuat kesal Raphael.

“Victoria! Cepat buka pintunya!”

Victoria yang sedang di dalam kamar mandi jelas tidak mendengarkan hal ini. Ada beberapa panggilan lagi dari Raphael, dan bahkan peringatan bahwa dia akan membuka pintu. Hanya saja semua benar-benar tidak terduga, manakala Raphael membuka pintunya, saat itu juga Victoria keluar dari kamar mandi.

Hanya dengan handuk pendek yang menutupi tubuhnya yang sintal, keduanya dibuat terdiam.

Victoria sendiri, meski terkejut dia masih memiliki ketenangan. Dia dengan tanpa prasangka, segera memikirkan alasan Raphael datang kemari. Bertanya-tanya, apakah pria ini ingin dilayani? Selayaknya suami dan istri?

Tapi seolah-olah bisa membaca pikiran Victoria, Raphael dalam ketenangan palsunya segera memarahi wanita itu.

“Singkirkan yang ada di kepalamu. Aku datang untuk bertanya, kenapa kamu berani menyiapkan meja untuk mereka? Bukankah sudah kukatakan, mereka akan datang tapi tidak ada sambutan.”

Rupanya kebencian Raphael lebih besar dari yang Victoria pikiran. Kecanggungan pria itu terhadapnya hilang seketika, ketika membahas dua orang itu. Kini giliran Victoria yang dibuat was-was.

“Em, Raphael begini …,” Victoria berjalan mendekati Raphael meski hanya dengan handuk. “... aku tidak bermaksud untuk untuk menentangmu. Tapi aku berencana untuk—”

“Untuk membiarkan mereka mempermalukanmu?”

“Oh tidak. Itu pasti akan terjadi. Aku tidak akan membiarkan—”

“Heii ….” Nada berat Raphael memotong, dengan langkahnya yang mendekat. Dia menatap jauh ke dalam mata Victoria, membuat udara sangat mencekat untuk mereka.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu belakangan ini. Entah sikap pemberontak ini memang dirimu sebenarnya atau bagaimana, aku tidak tahu dan tidak peduli! Tapi biar kuperjelas, … aku tidak menyukai apapun yang menentang atau mempermalukan diriku. Pastikan saja kamu memiliki sesuatu untuk membalik perkataan Bibi Yvone, atau aku tidak akan mengampuni sikap pemberontak ini.”

Tepat setelah mengatakan itu, Raphael langsung berbalik meninggalkan kamar Victoria. Membuat Victoria menarik nafas lega, dan mendudukkan dirinya di kasur.

“Oh astaga, sikap Raphael seakurat yang dijelaskan buku masa depan sialan itu,” gerutunya.

Tapi begitu dia masih mencoba tenang, atau rencananya terhadap Raphael tidak akan bisa digapai. Memilih memakai gaun ketat cokelat satin yang menutupi seluruh tubuh, Victoria memutuskan tampil menawan dengan tubuh berisinya.

Tidak tahu bahwa di pinggir kolam, Raphael menghisap-lepas cerutunya begitu cepat. Darah pria itu panas akan segala hal. Mulai dari ketidaksukaan akan kedatangan keluarga adik Ayahnya, kemarahan karena Victoria yang melawan apa yang dia katakan, hingga kecanggungan karena penampilan wanita itu yang masih sedikit terbayang dalam benak Raphael.

Memikirkan penampilan Victoria tadi, sejujurnya Raphael dibuat sedikit kesulitan menelan. Dia tidak pernah tahu, bahwa tubuh yang berisi bisa lebih memanaskan hawa dari pada tubuh kurus ideal menurut sebagian besar perempuan.

Tapi dalam segala pemikirannya yang coba dia sangkal, tiba-tiba saja sebuah mobil mewah memasuki kediaman mereka. Raphael kembali masuk dari pintu samping dan mendapati Victoria yang baru turun di tangga. Kepala Pelayan yang melihat, berpikir keduanya akan bertengkar.

Tapi hanya dengan saling tatap dan satu anggukan, Victoria turun dan mengambil tangan Raphael yang terulur padanya. Keduanya bergandeng tangan untuk menyambut pasangan antagonis utama dalam takdir novel masa depan ini.

1
Widiaaaa
cuma 1 bab aja thor/Doubt/
Blesssel: satu untuk hari minggu kak 😅
total 1 replies
Blesssel
Walaupun nggak komen, jangan lupa di like, di vote di hadiah ayo apa kek terserah! biar penulis tahu ada yang nunggu update
D'nindya Idsyalona
lnjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!