Almira Dolken tidak pernah menyangka hidupnya akan bersinggungan dengan Abizard Akbar, CEO tampan yang namanya sering muncul di majalah bisnis. Sebagai gadis bertubuh besar, Almira sudah terbiasa dengan tatapan meremehkan dari orang-orang. Ia bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan Abizard, meskipun jarang bertemu langsung dengan bos besar itu.
Suatu hari, takdir mempertemukan mereka dengan cara yang tak biasa. Almira, yang baru pulang dari membeli makanan favoritnya, menabrak seorang pria di lobi kantor. Makanan yang ia bawa jatuh berserakan di lantai. Dengan panik, ia membungkuk untuk mengambilnya.
"Aduh, maaf, saya nggak lihat jalan," ucapnya tanpa mendongak.
Suara berat dan dingin terdengar, "Sepertinya ini bukan pertama kalinya kamu ceroboh."
Almira menegakkan tubuhnya dan terkejut melihat pria di hadapannya—Abizard Akbar.
"Pak… Pak Abizard?" Almira menelan ludah.
Abizard menatapnya dengan ekspresi datar. "Hati-hati lain ka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan Almira saat mendengar kepergian Abizard
Abizard tersenyum tipis, meski wajahnya tampak lelah. Ia tahu maksud baik ayahnya, tapi pikirannya tetap kembali pada Almira. Meski hatinya hancur, ia tak ingin gadis itu tahu soal penyakitnya. Ia ingin Almira melanjutkan hidup tanpa terbebani rasa bersalah atau kesedihan karena dirinya.
"Ayah, Bu... Aku janji akan menjalani semua pengobatan. Kalau perlu, kita pergi ke luar negeri. Tapi tolong... Jangan libatkan Almira," pinta Abizard lirih.
Melisa menggenggam tangan putranya dengan erat, matanya penuh haru.
"Baik, Zard... Ibu janji. Kita akan fokus pada kesembuhanmu dulu."
Namun, meski Melisa berjanji, hatinya tetap ragu. Ia tahu betapa besar cinta putranya pada Almira, dan ia juga tahu betapa Almira masih mencintai Abizard meski gadis itu terus menutup hatinya.
---
Sementara itu, di rumah Almira, Debora terus berusaha meyakinkan sahabatnya untuk memberikan kesempatan kedua pada Abizard.
"Al, kau yakin ingin mengakhiri semuanya seperti ini? Kau bahkan belum mendengar penjelasan terakhir dari Abizard. Apa kau tidak penasaran, kenapa dia begitu keras kepala mempertahankanmu?" tanya Debora sambil menatap sahabatnya tajam.
Almira menghela napas berat, matanya menerawang jauh.
"Aku... aku hanya takut, Deb. Takut semuanya berulang. Takut aku akan terluka lagi. Rasa sakit itu terlalu dalam..."
Debora menatap Almira dengan penuh iba.
"Rasa sakitmu memang besar, Al. Tapi bukankah cinta itu juga berarti memberi kesempatan? Setidaknya sekali lagi, dengarkan dia."
Perkataan Debora terus terngiang di benak Almira, bahkan saat malam tiba. Ia menatap kotak berisi kalung berbandul bintang yang pernah ia tolak. Perasaannya berkecamuk—antara rasa rindu dan ketakutan.
---
Beberapa hari kemudian, Almira akhirnya tak tahan lagi. Ia berdiri di depan rumah Abizard dengan wajah cemas. Melisa terkejut melihat kedatangan Almira.
"Almira? Ada apa?" tanya Melisa bingung.
Almira mencoba tersenyum, meski air matanya hampir tumpah.
"Tante, bisakah kita bicara sebentar?"
Melisa mengangguk dan mempersilakan Almira masuk. Mereka duduk di ruang tamu, dan Almira menggenggam tangan Melisa dengan erat.
"Almira, ada apa?."
Dengan wajah sendu menahan airmata Almira mencoba memberitahukan maksud dan tujuannya,
"Tante bisakah Almira berbicara dengan Abizard? Almira sudah ke kantornya tapi Abizard tidak berada di kantor."
Melisa terdiam sejenak,lantas Melisa semakin menggenggam erat tangan Almira,
"Almira,maafkan aku ,sebenarnya Abizard sudah meninggalkan kota ini."
Melisa pun merasa sedih telah membohongi Almira,namun Melisa sudah berjanji pada putranya agar menyembunyikan penyakitnya dari Almira.
Almira merasa dadanya mendadak sesak.
"Apa??!!! Ke-kemana Tante?."
Melisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tak bisa menahan tangisnya,namun janji kepada Abizard mengharuskannya untuk tidak berbicara.
"Aku sendiri tidak tahu ,Al. Abizard tak memberitahuku sama sekali."
Dunia Almira seolah berhenti seketika. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah.
"T-tidak mungkin... Zard tidak mungkin meninggalkanku. Zard pernah bilang,dia akan menungguku. Kenapa dia membohongi dan meninggalkanku?"
Melisa membuang wajahnya kesamping dan mengusap air matanya agar tak terlihat oleh Almira.
Melisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia harus tetap tenang agar tidak terlalu terlihat gugup di depan Almira.
"Almira, mungkin Abizard hanya butuh waktu. Dia pasti ingin kau melanjutkan hidup tanpa terikat kenangan yang menyakitkan," ujar Melisa pelan.
Almira menggeleng, hatinya penuh dengan rasa bersalah.
"Tapi aku belum sempat mendengar penjelasannya, Tante. Aku belum mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan pertanyaan-pertanyaan ini?" suaranya bergetar, air mata terus membasahi pipinya.
Melisa menatap Almira dengan iba, namun ia tetap tidak bisa mengungkapkan kebenaran.
"Percayalah, Al. Jika Abizard benar-benar mencintaimu, dia pasti akan kembali ketika waktunya tiba. Mungkin kau hanya perlu menunggu sebentar," ucap Melisa, mencoba menenangkan Almira.
---
Malam itu, Almira tidak bisa tidur. Perkataan Melisa terus terngiang di benaknya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kepergian Abizard.
Pikirannya dipenuhi oleh kenangan bersama Abizard—tawa, canda, bahkan pertengkaran kecil yang selalu berakhir dengan pelukan hangat. Semakin ia mencoba melupakannya, semakin kenangan itu menguasai pikirannya.
Akhirnya, Almira mengambil ponselnya dan mencari kontak Abizard. Jarinya gemetar saat ia menulis pesan singkat.
"Zard, di mana kamu? Tolong beri aku jawaban..."
Namun, pesan itu tak kunjung terkirim. Nomor Abizard sudah tidak aktif. Hatinya semakin hancur.
---
Sementara itu, di rumah sakit, Abizard terbaring lemah di ranjang. Matanya menatap kosong ke langit-langit. Meski tubuhnya terasa berat dan rasa sakit terus menghantamnya, pikirannya tetap tertuju pada Almira.
"Maaf, Al... Aku hanya ingin melindungi mu dari rasa sakit ini," gumam Abizard pelan.
Melisa yang duduk di sampingnya menggenggam tangan putranya dengan lembut. Ia tahu Abizard sedang berjuang keras, bukan hanya melawan penyakitnya, tapi juga melawan rasa rindunya pada Almira.
"Zard, kau harus kuat... Demi kami semua," bisik Melisa, berusaha menyembunyikan rasa sedihnya.
Abizard menoleh pelan, tersenyum samar.
"Ibu, aku akan berusaha... Tapi kalau waktuku sudah habis, tolong katakan pada Almira bahwa aku mencintainya. Selalu."
Mata Melisa kembali berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan putranya lebih erat.
"Tidak, Zard. Kita tidak akan menyerah. Kau akan sembuh, dan kau sendiri yang akan mengatakannya pada Almira."
---
Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Melisa, Almira masih merasa ada sesuatu yang janggal. Namun ia memilih diam, mencoba menunggu dan berharap Abizard akan muncul kembali. Sayangnya, harapan itu terus memudar seiring berjalannya waktu.
Sementara itu, Felisha kembali muncul dengan niat yang jelas—ia tidak akan membiarkan Almira terus menjadi sosok yang memenuhi pikiran Abizard.
Suatu sore, Felisha datang ke rumah Almira. Almira terkejut melihat kedatangan gadis itu.
"Felisha? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Almira dengan nada datar.
Felisha tersenyum sinis, matanya menatap Almira penuh keyakinan.
"Kita perlu bicara, Almira. Tentang Abizard."
Almira mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Felisha melipat tangannya di depan dada, suaranya berubah serius.
"Abizard sudah pergi, bukan? Apa kau tahu kenapa? Itu karena dia akhirnya menyadari siapa yang benar-benar ada untuknya selama ini. Aku."
Almira terdiam, hatinya terasa seperti terhujam pisau tajam.
Felisha melanjutkan,
"Aku selalu ada untuknya, Al. Di saat kau menolaknya, akulah tempat dia kembali. Jadi jangan berharap dia akan kembali padamu lagi."
Almira menatap Felisha tajam, mencoba menyembunyikan luka di hatinya.
"Kalau kau benar-benar ada di hatinya, kenapa dia tidak memilihmu dari awal, Felisha?" balas Almira tegas, meski suaranya sedikit bergetar.
Felisha terkekeh kecil, merasa tersudut tapi tak ingin kalah.
"Mungkin karena dia terlalu baik untuk melupakanmu begitu saja. Tapi lihatlah kenyataannya, Almira. Kau sudah tak berarti lagi baginya. Dia sudah pergi. Dan sekarang, aku akan memastikan kau benar-benar keluar dari hidupnya."
---