Bunga itu telah layu sejak lama, menyisakan kelopak hitam yang berjatuhan, seperti itulah hidup Hanna Alaya Zahira saat ini, layu dan gelap.Hanna adalah seorang sekretaris yang merangkap menjadi pemuas nafsu bosnya, mengantungi pundi-pundi uang dalam rekeningnya, namun bukan tanpa tujuan dia melakukan itu. Sebuah rahasia besar di simpan bertahun-tahun. Pembalasan dendam.. Edgar Emilio Bastian bos yang dia anggap sebagai jembatan mencapai tujuannya menjadikannya simpanan dibalik name tag sekretarisnya, membuat jalannya semakin mulus. Namun, di detik-detik terakhir pembalasan dendam itu dia justru terjerat semakin dalam pada pria itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlalu Meremehkan
Hanna melirik Naomi yang duduk dengan memalingkan wajahnya ke jendela, hingga dia membelokkan arah dari rumah Naomi yang mereka tuju.
Naomi menoleh, menatap dengan penasaran, namun tetap diam dan tak bertanya.
Hanna menghentikan mobilnya di depan penjual eskrim di pinggir jalan, lalu keluar untuk membeli dua eskrim dan kembali masuk ke dalam mobil.
"Jangan sampai jatuh di mobilku, ya!" peringatnya saat Hanna memberikan satu cone kepada Naomi.
Naomi berdecak, "Siapa yang minta?"
"Emang enggak, masa aku makan sendiri. Aku butuh sesuatu untuk mendinginkan otakku yang panas."
Naomi mengerutkan keningnya.
"Aku heran sekali, kamu berani memaki orang dewasa seperti ku dan pengasuhmu yang lain, sampai mereka mengundurkan diri. Tapi kamu gak berani lawan mereka?"
"Mereka berani kasar, kalau kamu dan pegawai Papa, udah pasti tunduk dengan apapun yang aku lakuin. Kalau sampai kalian berani sama aku, kalian akan di pecat."
Hanna mendengus, "Aku gak tunduk ya! Dan kalau dalam pertandingan kamu tuh cemen, cuma jago kandang. Buktinya sama mereka kalah." Hanna memasukan eskrim ke mulutnya.
"Mereka bilang aku kampungan." Naomi cemberut.
Hanna tertawa, "Ya, itu. Bener kata mereka. Mana ada anak sd tampilannya kayak gini," tunjuk Hanna pada wajah Naomi. "Biar apa sih? Biar di perhatiin?"
Naomi terdiam, karena perkataan Hanna benar.
"Aku yakin kamu juga sering buat masalah di sekolah?"
"Bukan urusan kamu."
"Ya, iya bukan. Aku kan cuma ngomong doang." Lalu tatapan Hanna jatuh pada wajah Naomi. "Kamu tahu, kalau itu gak sering di bersihin kulit kamu akan rusak ... nah, ada satu," tunjuk Hanna pada pipi sebelah kiri.
Hanna memasukan ujung cons ke mulutnya lalu membuka tas untuk mengambil kapas dan micellar water.
Naomi sempat menghindar saat Hanna akan mengusapkan kapas tersebut ke wajahnya, namun Hanna justru mencengkram rahang Naomi lalu mengusapkannya berulang hingga make up di wajah Naomi hilang.
"Wah, cantik," pujinya. "Aku heran, guru kamu kerjanya apa, sih? Anak sebengal ini di biarin aja."
Naomi mendengus "Bosen kali."
Hanna mencebik, lalu menyerahkan botol micellar water-nya pada Naomi. "Nanti abis pake make up bersihin pake itu, baru cuci muka!"
Naomi tertegun dengan mata yang menatap botol berisi cairan bening di tangannya.
"Lumayan dingin nih otak, kita bisa pulang sekarang." Hanna kembali melajukan mobilnya untuk mengantar Naomi pulang.
....
Hanna akan kembali melajukan mobil saat Naomi sudah memasuki rumah. Namun matanya justru menemukan ponsel Naomi di kursi, tempat yang tadi di duduki Naomi.
"Bocah ceroboh." Hanna mengambilnya bermaksud memberikannya pada petugas keamanan untuk memberikannya pada Naomi. Namun saat keluar dari mobil, dia justru tak menemukan siapapun disana.
Dengan terpaksa Hanna memasuki rumah mewah tersebut untuk memberikan ponsel Naomi.
Hanna berjalan memasuki satu persatu ruangan di rumah besar tersebut. Namun dia justru mengeryit saat tak melihat satu orang pun.
"Pada kemana sih?" perasaan kemarin saat dia datang, dia melihat pelayan berlalu lalang.
Hanna menaiki tangga satu persatu dan menemukan lima pintu berjejer. Hanna mengeryit saat melihat punggung Naomi memasuki pintu di ujung lorong.
"Masa mesti teriak sih." itu terlalu jauh, bisa- bisa dia membuat gaduh di rumah tersebut. Hanna memutuskan untuk menghampiri Naomi dengan memacu langkahnya ke ujung lorong.
Namun saat dia baru saja melewati pintu kedua, Hanna mengeryit saat melihat pintu tersebut sedikit terbuka.
Rasa penasaran membuatnya berhenti lalu mendorong pintu sedikit lebih lebar saat mendengar suara pria yang dia kenal.
Edgar.
Pria itu terdengar tertawa, sementara suara lain terdengar terkekeh.
"Aku tahu kamu tidak akan bisa lepas dari sentuhanku, Edgar." suara itu diiringi desahan, membuat Hanna mendatarkan wajahnya.
Beberapa saat kemudian hanya terdengar suara desahan dan nafas berat begitu kentara, membuat Hanna memutuskan pergi dari sana.
Hanna mengetuk pintu kamar Naomi, hingga beberapa saat Naomi muncul masih dengan seragam melekat di tubuhnya.
"Kamu?" Naomi mengerutkan keningnya.
"Hape kamu," ujar Hanna sambil menyerahkan ponsel di tangannya. "Kalau gitu, aku pergi dulu." Hanna memutar langkahnya untuk segera keluar dari rumah besar tersebut. Saat kembali melewati kamar kedua, Hanna berhenti sejenak dan mendengar suara desahan itu berganti dengan jeritan kecil yang menjijikan. Hanna melanjutkan langkahnya hingga dia berhenti di ujung tangga lalu menoleh sesaat untuk memastikan, dan kembali berjalan menuruni tangga untuk segera meninggalkan rumah tersebut.
Sepanjang jalan Hanna menahan kesal. Ingatan tentang tawa Edgar dan desahan menjijikan dari Siska membuatnya ingin meledak.
Dia marah. Bukan karena cemburu, melainkan marah jika ternyata dia belum bisa menjerat Edgar. Nyatanya pria itu masih akur bersama istrinya. Dan bercinta dengan mesra.
Dia harus memikirkan rencana selanjutnya, untuk membuat Edgar takluk padanya, hingga melakukan apapun bahkan meninggalkan Siska demi dirinya.
Tapi bagaimana caranya. Dia bahkan sudah memberikan tubuhnya untuk di nikmati Edgar setiap saat. Tetap saja Edgar belum menunjukan jika dia sudah memilikinya.
Hanna memukul setir. Apa dia terlalu meremehkan Edgar?