NovelToon NovelToon
My Lecture, Like My Sugar Daddy

My Lecture, Like My Sugar Daddy

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda / Nikah Kontrak / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Sugar daddy
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Licia Bloom

"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."

"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.

Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.

Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.

Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dosenku Suamiku?!

Hari pertama aku pindah ke rumah Om Lino ... lebih chaos daripada hari pernikahan kami. Kalau di pesta pernikahan kemarin aku masih bisa tersenyum meskipun canggung, kali ini? Rasanya seperti petaka. Aku yang sebelumnya sudah canggung, kikuk, dan gak nyaman bakal serumah dengan cowok, malah disambut dengan tiga 'anak' Om Lino yang langsung bikin aku gemetaran.

Aku berdiri di tengah ruang makan, mataku melotot ke arah kucing-kucing Om Lino yang mulai mendekat. Salah satunya, si kucing hitam yang tajam matanya, menatapku dengan intens. Aku nggak bisa, nggak bisa deh!

“OM, KOK GAK BILANG SIH KALAU KUCINGNYA MASIH ADA DI RUMAH OM?!” teriakku panik sambil naik ke atas meja makan. Aku nggak peduli lagi kalau itu aneh, yang penting aku aman.

Om Lino, yang dari tadi cuma berdiri di sana, tampak kebingungan melihat tingkahku yang sudah kayak orang gila gara-gara tiga ekor kucing itu.

“OM! TOLONGIN KEK! MALAH DIEM!” Aku berteriak lagi, berharap dia segera melakukan sesuatu.

Om Lino akhirnya mengangkat alisnya, sepertinya baru sadar betapa paniknya aku. “Kamu benar-benar setakut itu dengan kucing, Jihan?” tanyanya dengan nada tenang, meskipun aku jelas-jelas berteriak.

“Masih aja ditanya! Apa kurang jelas?!” jawabku, hampir menangis. “Iya! Saya takut! Takut banget! Saya udah bilang saya phobia kucing, Om Linooo!”

Dia menghela napas pelan, seperti sedang mencoba memahami atau mungkin menenangkan diriku. “Tapi mereka peliharaan saya. Mereka akan tinggal bersama kita .…”

“Apa?!” aku hampir melompat dari meja saking kagetnya. “Gak! Gak mau!” Aku menatap Om Lino penuh kekesalan, merasa dunia ini benar-benar gak adil. “Kalau mereka ada di sini, saya bakal balik ke rumah Bunda lagi!”

Om Lino masih diam di tempat, ekspresinya ragu. Dia terlihat berpikir keras. “Tapi—”

“Om pilih saya atau mereka?!” potongku dengan nada yang semakin tinggi. Jantungku berdegup cepat, takut kalau jawabannya malah bikin aku kecewa.

Om Lino terdiam lama. Wajahnya serius, dan itu bikin aku makin gugup. Gila, apa dia beneran segitu sayangnya sama kucing-kucing itu sampai nggak bisa memilih?

“Ooom!” Aku mulai merengek dari atas meja, merasa situasi ini semakin nggak nyaman. “Om Linooo! Saya gak suka kucing, Om! Sumpah!”

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, aku melontarkan kompromi terakhirku. “Bisa dibuang aja gak sih kucingnya?” tanyaku, berharap ada jalan tengah.

Om Lino langsung menatapku tajam, sorot matanya berubah jadi lebih tegas dari sebelumnya. “Tidak,” jawabnya singkat, tanpa memberi ruang untuk negosiasi.

Lalu, dengan gerakan yang sangat tenang, Om Lino mengangkat salah satu kucingnya yang berwarna hitam di antara dua kucing oren. Kucing itu melirikku dengan tatapan penuh misteri, seakan menantangku. Rasanya aku ingin lari ke luar rumah, tapi kaki ini seolah tertanam di lantai.

“OM! KOK SAYA DITINGGAL?!”

Om Lino baru saja pergi, membawa kucing hitam itu dengan dua ekor lainnya yang mengikuti di belakangnya. Aku masih berdiri di atas meja makan, menggigil, merasa terjebak dengan perasaan campur aduk yang datang begitu saja. Kucing-kucing itu sudah pergi, tapi rasa takutku masih menggantung di udara.

Aku mendengus kasar, merasa kesal pada diriku sendiri. Perlahan, aku menurunkan kaki dari meja dan kembali ke lantai.

“Jahat,” gumamku pelan, mengusap kedua sudut mataku yang berair. Ada rasa cemas yang terus mengganggu. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungku yang masih berdebar kencang.

Aku mengerti kenapa Om Lino begitu, mungkin dia pikir aku terlalu berlebihan atau aneh karena phobia terhadap kucing. Kucing kan pada umumnya dianggap binatang yang lucu bagi banyak orang. Kucing juga salah satu binatang yang paling disukai banyak orang, dan aku ... aku berbeda. Aku nggak bisa menjelaskan rasa takut yang datang begitu mendalam. Trauma itu datang begitu saja, tanpa bisa ditahan.

Aku mencoba berdamai dengan diriku sendiri. Tapi phobia itu, ya phobia. Walau bahkan yang kutakuti itu dianggap lucu oleh banyak orang. Terlepas dari itu, aku tetap merasa takut, dan itu bukan hal yang bisa diabaikan begitu saja.

Tapi, aku merasa Om Lino nggak mengerti. Dia sepertinya menganggap enteng rasa takutku ini.

Lalu, suara Om Lino kembali terdengar. “Jihan?”

Aku mengangkat sedikit wajahku, tapi tetap enggan menatapnya. Aku malah lebih memilih menunduk, dan tak merespon panggilannya. Aku masih merasa kesal dan sedikit tersinggung.

Namun, tanpa aku duga, Om Lino tiba-tiba jongkok di depanku, seakan ingin memastikan apa yang sedang kurasakan. Aku terkejut, dan refleks mataku melebar saat dia berada tepat di hadapanku.

Nih Om-om mau ngapain sih?

"Kamu baik-baik saja?" suara Om Lino terdengar lembut dan seperti khawatir.

Aku terdiam, masih merasa agak bingung dengan tindakannya. Masih bergeming beberapa saat, aku akhirnya memberanikan diri menjawab, "Hah?"

"Kamu masih merasa takut?" dia bertanya lagi, wajahnya kini lebih dekat, matanya menatapku dengan penuh perhatian.

Aku menghela napas pelan, mencoba meredakan ketegangan. “Engg ... nggak?”

Om Lino mengangguk pelan, seolah paham dengan jawabanku, meski ada nada penyesalan dalam suaranya. “Maafkan saya. Saya lupa kalau kamu memiliki phobia pada kucing.”

Aku merasa sedikit canggung dengan kata-katanya. Aku menunduk, merasa seperti sudah berlebihan.

Om Lino melanjutkan, “Besok saya akan membawa mereka ke rumah orang tua saya. Jadi kamu tidak perlu khawatir lagi setelah ini.”

Aku terdiam, mulutku mengatup. Tiba-tiba aku merasa gusar, merasa bersalah karena menilai Om Lino dengan cara yang salah. Dia ternyata tidak seburuk yang kupikirkan. Dia benar-benar peduli, bahkan mengorbankan kucing-kucing kesayangannya demi aku.

Benar-benar orang yang lebih baik daripada yang kubayangkan sebelumnya.

***

Dalam hidup, ada dua hal yang paling aku benci. Pertama, aku gak suka kucing. Kedua, aku gak suka duduk terlalu lama. Dan sekarang, sialnya, aku harus melakukan yang kedua: duduk berjam-jam di auditorium, mendengarkan sambutan panjang lebar dalam acara orientasi mahasiswa baru.

Capek banget. Serius, duduk lama itu capek. Bokongku udah mulai mati rasa, dan aku bisa merasa tulang-tulang pantatku protes keras. Belum lagi, rasa bosannya itu bikin aku pengen nangis.

Kupikir PKKMB bakal seru kayak cerita zaman dulu—maba dimarah-marahin, disuruh ini itu, dihukum, atau apalah yang bikin deg-degan. Tapi kenyataannya? Aku cuma disuruh duduk manis sambil mendengar sambutan dari para petinggi kampus yang rasanya gak ada habisnya.

Aku melirik ke Aruna, yang duduk di sebelahku, sambil menyenggol lengannya pelan. “Eh, Run, lo tahu gak sih, ospek zaman dulu kayak gimana?” tanyaku setengah berbisik.

Aruna menoleh dengan alis terangkat. “Kenapa nanya gitu? Zaman dulu kan maba disiksa abis-abisan. Gak kebayang deh, kayaknya brutal banget.”

“Tapi seru, kan?” Aku mengedikkan bahu, mencoba memberi alasan.

“Seru dari mananya, Han?” kali ini Diandra ikut bicara. Dia menatapku dengan ekspresi gak percaya.

“Ya, seru aja. Ada tantangan gitu. Daripada gini, diem aja dengerin orang ceramah panjang lebar. Bosen tau,” keluhku sambil menggoyang-goyangkan kakiku yang mulai kesemutan.

Aruna menggelengkan kepala, mulutnya menyunggingkan senyum miring. “Lo aneh banget, sumpah.”

Dari sebelah kanan, Ayyara terkekeh kecil. “Eh, Han, besok pas PKKMB fakultas coba deh lo request ke kating. Minta dihukum aja biar gak bosen.”

Aku meliriknya dengan mata berbinar. “Itu ide bagus banget, Yar. Makasih ya!”

“Dih, sinting,” balas Ayyara sambil tertawa ngakak.

Meski bosan setengah mati, setidaknya aku duduk bersama tiga orang ini. Mereka adalah alasan aku masih bisa bertahan di acara ini tanpa kehilangan akal sehatku.

Kami berempat punya cerita sendiri tentang gimana akhirnya bisa kuliah bareng. Aku lolos lewat jalur SNBP. Aruna dan Diandra nyusul lewat SNBT. Dan Ayyara, dengan semangat pantang menyerahnya, ikut jalur mandiri. Akhirnya kami semua berakhir di jurusan keperawatan dalam kampus yang sama. Bener-bener gak terpisahkan emang.

Nah, untuk bestie cowok kita—David dan Noah—mereka juga satu kampus sama kita, kok. Cuma beda prodi. David di Ilmu Gizi, Noah di Ilmu Kesehatan Masyarakat. Tapi masih satu fakultas, Fakultas Kedokteran.

“Enak ya kita bisa ketemu terus,” kata Aruna sambil tersenyum kecil.

Aku menghela napas panjang. “Ketemu terus mah urusan nanti. Yang penting sekarang acara ini kapan selesai, sih? Ngantuk banget.”

“Itu masih sesi perkenalan dosen, Han. Sabar dulu,” jawab Aruna dengan nada tenang.

Aku mendesah pelan. “Sabar? Gue mau pulang, Run. Ngantuk banget.”

Ayyara, yang sedari tadi diam, menyenggol lenganku. “Udah, lo ngeluh mulu. Sini nyender aja di gue. Tidur deh.”

Aku melongo. “Serius, Yar?”

“Ya udah, cepet sebelum gue berubah pikiran.”

Tanpa pikir panjang, aku menyender di bahunya. Rasanya nyaman, seperti bantal empuk di tengah kegaduhan. Aku memejamkan mata, mencoba melarikan diri dari kebosanan ini.

Lagipula, aku duduk di barisan belakang. Gak mungkin ada yang sadar kalau aku ketiduran.

“Baik, selanjutnya kami perkenalkan dosen muda kita, dosen pengampu mata kuliah wajib Bahasa Indonesia, dan juga mata kuliah Linguistik Umum; Marlino Samudera Alvarendra M. Pd.”

Hmm ... nama itu kok kayak familiar banget, ya? Aku coba mikir, tapi otakku lagi males kerja. Mataku mulai mengantuk.

“Loh, itu dosen? Gue kira tadi dia kating.” Diandra berkomentar sambil melirik ke depan.

Aruna ikut menimpali, matanya menyala. “Wah, ada dosen ganteng juga ternyata.”

Ayyara yang masih menjadi sandaranku menyahut, “Di prodi kita pasti ada matkul Bahasa Indonesia, kan?”

“Iya, itu mata kuliah wajib,” jawab Diandra. Dari suaranya, kayaknya cuma dia yang biasa-biasa aja.

Aruna langsung ngakak, “Asik! Bisa sekalian cuci mata kita, guys.”

Aku cuma mendengarkan mereka semua. Mereka ngomongin apa sih? Emang dosennya seganteng itu? Duh, aku males banget buka mata. Udah capek duduk berjam-jam, sekarang digangguin soal dosen ganteng pula.

“Matkul wajib setahu gue biasanya cuma satu semester aja, sih.” Ayyara menambahkan, masih dengan suara penuh semangat.

Aruna yang masih semangat ikut ngoceh, “Ah, tau gini kita masuk prodi bahasa aja nggak sih? Biar diajarin dia sampai semester akhir. Atau dapat dosen PA dia gitu. Kan lumayan bimbingan sambil cuci mata.”

Diandra yang sepertinya mulai risih ngeliat Aruna bercanda, menjawab sambil tertawa. “Wkwk, lo mau jadi perawat nggak sih sebenernya, Run?”

“Kalau dosennya gitu, gue sih rela pindah cita-cita ya, bun,” jawab Aruna santai.

Aku cuma geleng-geleng kepala. Temen-temenku kok pada asik ketawa, sih? Nggak bisa tidur jadinya. Pusing! Aku mulai buka mata, melihat mereka yang terus aja bercanda.

“Kenapa sih?” Aku akhirnya bertanya, suaraku masih agak berat karena ngantuk.

Aruna pun menjawab, “Itu loh, coba lo liat di panggung. Ada dosen muda yang ganteng.”

“Mana?” Aku mengedipkan mata, bingung, dan langsung memfokuskan pandangan ke depan. “LAH KOK ADA OM?!”

Semua langsung pada kaget, dan Aruna sempat melotot ke aku. “A-anjir, Jihan ....”

Ayyara buru-buru membekap mulutku, “Syuuut! Jangan teriak-teriak. Mau ditegur kating beneran lo?”

Tapi aku nggak peduli. Aku udah terlanjur teriak kaget, dan sekarang mataku nggak bisa lepas dari sosok yang ada di atas panggung itu. “Kok Om Lino bisa ada di sana, woi?!”

Diandra yang kebingungan langsung nanya, “Siapa yang lo panggil Om, Han? Salah satu dosennya ada om lo?”

“Gak, gak. Tadi itu nama dosennya ada Marlino, Marlino gitu, ya?” aku bertanya memastikan.

Ayyara yang mendengar langsung mengangguk. “Ya ada. Itu dosen yang kita omongin barusan.”

Aku masih bengong, mencoba menyerap informasi. “Dia ngajar apa?”

Aruna menjawab dengan mantap. “Kalau di prodi kita, sih, matkul wajib Bahasa Indonesia katanya.”

Pantas saja! Pantas Om Lino ngomongnya baku banget, udah kayak KBBI berjalan. Gimana nggak coba? “Dia dosen bahasa Indonesia ternyata,” gumamku sambil meringis pelan.

Eh bentar ... itu berarti Om Lino dosenku?! Demi apa?! Inikah yang disebut dosenku suamiku?!

1
Rian Moontero
lanjooott thoorr💪💪🤩🤸🤸
Sakura Jpss
seruuu! Lucu, gemess, baperrr🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!