Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seina hilang
Aku buru-buru pulang karena kekhawatiran ku semakin menjadi. Selain semalam ada dua orang yang mengintai di rumahku, Eva juga mengatakan untuk selalu waspada, takut mereka mengincar Seina. Ada apa sebenarnya? Apa yang di rahasiakan istriku sehingga tidak bisa berbicara banyak di kantor polisi? pikiranku semakin runyam.
"Ndin!" panggilku setelah tiba di rumah.
"Assalamualaikum Mas." adik iparku Zalli yang sedang duduk itu berdiri menyapaku.
"Wa'alaikum salam. Syukurlah kau sudah di sini." aku terduduk di kursi.
"Tadi aku jemput ibu dulu Mas, soalnya ibu menghubungiku minta ikut kemari." kata Zalli.
Tak lama kemudian ibu keluar menggendong Seina. "Kamu itu, ngapain minta Seina di bawa ke rumah Andin. Biar ibu saja yang mengurus Seina." ucapnya.
"Bukan begitu Bu. Aku... Aku merasa seina akan lebih aman di rumah Andin. Lagipula aku harus bolak-balik ke kantor polisi." ucapku.
"Ya nggak usah terlalu bolak-balik, jangan hanya mengurus istrimu yang menjadi tersangka itu saja, kerjaan kamu juga harus dipikirkan. Lama-lama bisa di pecat." kata ibu.
"Bu, Eva bukan tersangka. Polisi pun masih menginterogasi, baru dugaan." kesalku, entah mengapa semakin ke sini ibu semakin tak suka dengan Eva. Aku bingung, apa salah istriku.
"Sama aja, polisi udah nangkep istrimu artinya dia bersalah!" ibu membawa seina ke belakang, enggan berdebat denganku.
"Sabar ya Mas." kata Zalli, adik iparku itu menepuk bahuku. "Biar kami menjaga Seina, Mas fokus saja sama kasus Mbak Eva, Kasihan dia." kata Zalli.
Aku jadi teringat tujuanku meminta Zalli ke sini, aku penasaran dengan sosok Dias yang menampakkan diri pada istriku.
"Mas mau tanya soal_" Aku melirik ruang tengah, tak mau pembicaraan kami di dengar ibu.
"Ada sesuatu yang belum selesai Mas, dan itu ada hubungannya sama istrimu." kata Zalli.
"Sama Eva?" tanyaku, aku tak percaya, tapi....
Apakah benar Eva dan Dias kembali memiliki hubungan? Ataukah benar istriku itu adalah...
"Berprasangka yang baik-baik saja Mas, belum tentu kejadiannya seperti kata orang. Tapi juga harus tetap waspada, kita tidak tahu siapa yang benar-benar baik, atau berpura-pura baik. Namanya juga manusia." Kata Zalli.
"Ikuti kata hatimu, sejatinya suami itu ya melindungi istrinya." kata Zalli.
"Apakah sosok Dias itu benar ada?" tanyaku penasaran.
"Mas mau lihat? Aku bisa buka mata batinnya Mas, tapi resikonya berat sih..." kata Zalli, malah cengengesan.
"Emang bisa?" tanyaku.
"Bisa, pake amalan aja kalau mau. Tapi siap mental, karena tidak semua jin itu rupanya ganteng atau cantik. Kebanyakan bikin astaghfirullah." dia terkekeh.
Aku jadi bingung, tapi aku penasaran. "Kenapa Eva bisa melihat dia?
"Ya, karena amalan Mbak Eva yang tidak dia sadari, kebanyakan zikirnya tapi tak sengaja niatnya. Jadinya seperti itu. Makanya kalau zikir, itu niatnya satu aja, karena Allah. Soal hidup yang kurang beruntung itu semua ujian, jangan berzikir atau membaca suatu surah dengan niat selain itu. Mending cuma mata batinnya terbuka, lha kalau stress?"
Aku mengangguk, pernah aku mendengar hal seperti itu dari teman ku. Ada juga yang kebanyakan mengamalkan satu surah, tubuhnya langsung terasa mengambang, mungkin kelelehan, tapi mungkin juga seperti apa yang di katakan Zalli. Tergantung niatnya.
"Bisa di tutup kan, Li?" tanyaku.
"Bisa Mas, tapi tetap sensitif setelahnya nanti. Gak buta tuli kayak sebelumnya, mesti ngerasa -rasa gitu, auranya terbaca meskipun udah ga bisa lihat."
"Gak pa-pa." aku menyetujuinya.
"Sebaiknya Maghrib saja Mas, kalau siang begini gak fokus, mas juga lelah." katanya.
Benar sekali, aku sangat lelah dan kurang tidur tentunya. Jangankan untuk zikir dan membaca amalan-amalan yang di sebutkan Zalli, mendengar orang bicara pun aku tak fokus, mataku pedih dan keningku terasa berat. Akhirnya aku tertidur di sofa, mengumpulkan energi untuk mengunjungi istriku nanti sore, semoga Eva di bebaskan.
Siang itu, entah sudah berapa lama aku berlayar mengarungi mimpi, mimpiku menjadi satu dengan rengekan seina yang terbawa masuk ke gendang telinga. Aku merasa diriku ikut mengobrol dan melakukan aktifitas, nyatanya aku masih terlelap di sofa, ditempat semula.
"Sen! Bangun!"
Teriakan ibu, membuat aku sedikit terjaga dari mimpi, namun untuk bangun aku masih enggan. Aku merasa, masalah yang ku lalui ini hanyalah mimpi, berat sekali.
"Seno! Bangun cepet!" teriak ibu lebih keras, hingga separuh sadarku kembali.
"Ya Bu?" aku merasa tengkukku semakin berat, mataku kesat. Ah rupanya aku terlalu nyenyak.
"Bangun Sen, kamu lihat ini." Ibu meraih bahuku, agar segera duduk melihat apa yang di sodorkan padaku.
"Ini apa?" tanya ku. Ku bolak-balik amplop berwarna cokelat itu.
"Gak tahu, kata kurirnya penting dan harus di buka langsung sama kamu. Ada hubungannya sama polisi kali?" ucap ibu.
Ku buka amplop berwarna cokelat itu, tak sabar aku ingin melihat apa di di dalamnya.
Foto!
Dias! Eva?
Aku tercengang melihat lembaran foto yang menampilkan gambar istriku dan Dias sedang berpegangan tangan saling menoleh.
Ada empat lembar, Semua foto diambil di tempat yang sama, yaitu di jalanan tengah kota. Aku tahu karena di sini ada pelanggan aktif yang selalu memesan roti dalam jumlah yang banyak. Mengapa kemarin dia berbohong? Eva sudah tak jujur. Tak ku pungkiri, hatiku berdenyut nyeri melihat ini.
Dreettt.... Ponselku bergetar. Seketika keningku bertaut karena yang menelepon ku adalah Andin.
"Kenapa Ndin?" tanyaku.
"Mas, aku di copet!" katanya.
"Hah! Di copet, dimana?" tanyaku, aku tidak tahu jika Andin keluar, karena aku baru saja bangun tidur.
"Di depan Indomart tikungan Mas." katanya menangis. Kemudian melanjutkan ucapannya dengan terburu-buru. " Seina hilang Mas."
"Astaghfirullah. Ndiiin!" aku segera beranjak, meraih kunci motor menghidupkan kendaraan ku.
"Kenapa Mas?" tanya Zalli.
"Seina hilang, Li! Andin di depan sana!" ucapku setelah itu langsung tancap gas.
Tikungan itu tak jauh, hanya jarak beberapa rumah saja namun sepi warga, hanya ada kendaraan berlalu lalang di depan sana jika siang hari. Penghuni rumah malas keluar karena cuaca panas berdebu. Kesempatan inilah yang di gunakan orang-orang itu untuk menculik Seina.
"Dimana? Kemana Seina Ndin?" tanya ku, kulihat adikku ini terluka, bibirnya pecah, hidungnya berdarah.
"Mereka lari kesana Mas, motornya ini!" tunjuk Andin. Ternyata adikku ini sempat berkelahi, berebut Seina dengan dua orang laki-laki. Motor yang tergeletak itu sudah di dikerubungi pegawai Indomart.
Aku berlari masuk kedalam semak belukar yang mengarah ke belakang rumahku, aku harus menemukan Seina. Aku tidak akan membiarkan anakku celaka.
Eva, kamu sungguh keterlaluan mempermainkan aku, dan sekarang Seina. Aku ikhlas jika Eva selingkuh, aku akan melepaskannya. Asal jangan membahayakan Seina.
Tapi, jika istriku pelakunya, mengapa ada orang mengincar Seina?
Arrrggg!!! Aku benar-benar emosi memikirkan masalah rumit ini.
"Seiinaaaa....!"
Aku berteriak berharap anak ku menyahut dengan tangisnya. Namun tak ada jejak apapun di sini, satu-satunya jalan yang bisa di tembus dalam semak belukar yang padat ini adalah menuju rumahku. Artinya mereka sudah sering mengintai rumahku.
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya