Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sebelas
Kalian menghafal nafas frustasi untuk kesekian kalinya. Hasil nilai mingguan sudah Ia berikan pada Elia kemarin malam dan berakhir dengan ponselnya yang lenyap saat itu juga. Elia tidak hanya menyitanya, melainkan melempar benda itu dan mempunyai kedalam kolam ikan yang berada di rumahnya. Uang jajannya juga kembali dipotong dengan anggapan Ia yang selalu fokus pada waktu main bukan pasar waktu belajar.
Alhasil, di sinilah hanya berada. Di perpustakaan dengan tumpukan soal baru sebagai soal remidi yang mulai di sini berganti. Hari ini ia mengerjakan tugas remidi sekaligus. Jika ulangan 1 sehari saja nilainya hancur, apa kabar remidi yang seperti ulangan ulang dengan jadwal tiga kali sehari? Yang ada bukannya menambah nilai, tetapi menurunkan nilai juga harga diri karena sebagai siswa keempat terburuk di kelasnya. Bisa-bisa Kania jadi beranjak menuju peringkat terakhir di semester ini.
Soal kimia yang menjadi ujian remidinya sekarang itu sudah kusut dan tidak berbentuk. Karena bukannya mengerjakan, Kania malah membuat kapal-kapalan, pesawat kertas bahkan merobek kertas itu untuk dijadikan dompet. Kotaknya sama sekali tidak bisa berpikir untuk yang namanya pelajaran. Tetapi coba kalau disuruh memikirkan Karel. Sudah pasti otaknya akan langsung bekerja.
"Cewek!"
Panggilan yang terdengar seperti bisikan usil juga siulan sekali itu membuat Kania mendelik kesal. Ia mendongak menatap sesumber suara yang sudah sangat ia hafal lupa dan suaranya. Tapi belum sempat memaki, perhatiannya teralih ketika wajah tampan Karel tiba-tiba terlihat jelas di kedua matanya. Bahkan di saat siang hari yang panas ini, Karel masih bisa terlihat dingin dan sangat menarik di matanya.
"Ngapain Lo?" Fabian, laki-laki yang baru saja memanggilnya seperti menggoda barusan menaruh kedua tangannya di atas meja Kania dan penyangga tubuhnya di sana. Ia memperhatikan kertas dengan bentuk aneh-aneh yang Kania buat kemudian membukanya satu persatu.
"Ya ampun, Nia,,," Fabian takjub sendiri." Ini soal kimia jadi keren begini Lo buat pesawat!"
Kania berdesis, kemudian mengambil paksa kertas yang Fabian ambil darinya barusan. Ada Karel di depan sana. Ia tidak mau malu karena Karel mengetahui dirinya sedang mengikuti remidi.
"Nilai Lo kemarin berapa?" Fabian kembali bertanya.
"Diem deh! Gak usah tanya-tanya," Kania mendelik sebal.
" Kata Sania nilai-"
Fabian menutup rapat bibirnya ketika melihat Kania menatapnya dengan tatapan sebal.
"Gak jadi!" Fabian mengangkat kedua tangannya di udara, kemudian beranjak dari meja Kania.
Ia kembali mendekat pada Karel yang baru saja menyerahkan kertas titipan guru di kelasnya untuk di perbanyak.
"Rel ," Fabian memanggil pelan. Ia kemudian menyenderkan tubuhnya pada pembatas bagian admistrasi perpustakaan, kedua matanya masih Fokus menatap ke arah Kania di ujung sana." Lo gak ada niatan berbagi ilmu?"
Kania yang awalnya mengacuhkan Kania akhirnya memilih untuk melihat ke arah gadis itu, karena fokus Fabian yang ke sana juga ucapan laki-laki itu barusan. Karel tidak menjawab, laki-laki itu kembali memainkan ponselnya sembari menunggu hasil pesanan fotokopiannya.
" Nilai kimia dua lima, fisika tujuh, matematika tiga puluh,," Fabian kembali berujar pelan. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya pelan dan menatap heran pada Kania yang sudah sibuk sendiri di depan sana." Nilai sama nomor absen nggak beda jauh. Bahkan nulis doang pun nggak dapat jatah nilai."
"Siapa?" Karel bertanya.
Fabian mengedikkan bahunya. "Kan dari tadi kita lagi ngomongin Kania, Rel," desisnya jengkel.
Karel mengangguk." Gue gak ngomongin dia," lanjutnya cuek. Karel benar kan? Yang sedari tadi membicarakan Kania adalah Fabian seorang, bukan dirinya.
"Kalau Sania yang begitu lo mau bantu?" Fabian kembali bertanya dengan fokusnya yang teralih pada Karel.
Karel menggeleng.
"Berarti emang Lo yang pelit ilmu-"
"Sania nggak perlu gue bantu, dia udah ranking pertama di kelas." Karel menyela. Ia tidak tertawa. Wajahnya tetap datar, takut tetap membuat Fabian menghela napas akan ucapan laki-laki itu.
"Harusnya Kania buat lo mati aja malam-"
Ucapan Fabian terhenti ketika tanpa aba-aba Karel berbalik dan melangkah pasti menuju tempat Kania berada. Ia melebarkan senyumnya, setidaknya kali ini dirinya berhasil memberi peluang bagi Kania untuk mendekati Karel.
Karel sudah bercerita adanya tentang nyawa laki-laki itu yang hampir hilang, jika saja Kania telat datang. Ia juga menceritakan Kania hampir membawanya pada maut lagi ketika memaksa untuk mengantar Karel menggunakan motor laki-laki itu.
Padahal kenyataannya ada ataupun tidak ada Kania, Karel akan berakhir baik-baik saja. Laki-laki itu tidak pernah gagal dari kejaran lawan, bahkan dalam kondisi sekarat sekalipun.
"Lu tolol atau bego sih? Ini HCL asam kuat, berarti pakai derajat ionisasi, Kania!" Karel yang entah datang dari mana itu tiba-tiba berucap galak. Ia mengambil alih kertas Kania yang sudah kusut itu dan menarik kursi yang berada di dekatnya.
Kania terkesiap, jelas. Ia baru saja menundukkan kepalanya setelah pembicaraan Karel dan Fabian yang menyinggung Sania. Tapi tiba-tiba Karel ada di hadapannya.
"Ini kan ada persennya. Kalau ada delapan puluh persen, berarti nilainya nol koma delapan." Karel mulai menulis pada kertas kusut itu. Ia heran, sebenarnya apa yang ada di otak Kania sampai soal semudah ini pun tidak berhasil gadis itu pecahkan.
Kalau yang Karel pikir adalah Kania mengerti. Maka Karel salah, karena pada kenyataannya, untuk menetap ke arah kertas itu saja Kania tidak mau. Kalau ada surga di depan mata, kenapa harus melihat ke arah neraka, iya kan?
Karel mendongak, kemudian berdesis karena mendapati Kania yang malah memperhatikan dirinya bukan pada kertas kusut itu." Ngerti gak?" tanyanya galak.
Dengan polos Kania menggeleng. Ia kemudian mengacak rambutnya frustasi dan mengerang pelan. " Kerjain buat gue dong, Rel!" pintanya.
"Dih!" Karel mendelik. Ia mengetuk kepala Kania menggunakan pulpen yang berada di tangannya dan menatap gemas gadis itu." Kerjain sendiri!"
Kania mengerucutkan bibirnya. Sejurus kemudian ia malah menelungkupkan tubuhnya, membiarkan kepalanya tertidur pada tangan nya dan memilih kembali menatap kareef dengan posisi itu.
"Enggak. Kalau kamu duduk di sini terus aku baru mau ngerjain."
"Najis!" Karel mengutuk. Ia tidak masalah dengan permintaan Kania. Yang menjadi masalah adalah kata aku dan kamu dalam kalimat itu.
Kania mencebik. Ia kembali menegakkan tubuhnya." Udah sana pergi pergi!" Ia melayangkan tangannya ke udara dan mengusir laki-laki itu.
Ia senang ada Karel di sini, ia juga senang Karel mau berada di dekatnya. Tapi ia tahu, pasti ada embel-embel nama lain di kalimat selanjutnya.
"Orang gue disuruh Fabian!"
Benar kan? Sesuai dengan dugaannya. Kami yang merasa jengah jika Karel selalu seperti itu. Apakah real sagengsi itu sampai tidak mau mengaku kalau ia memang peduli padanya?
"Udah gue bilang! Kalau mau peduli itu nggak usah pakai embel-"
"Iya-iya!" Karel berdesis. " Udah sini gue liat!" Ia kembali menarik paksa kertas yang Kania ambil darinya dan kembali membaca soal-soal di sana.
"Yang mana yang belum Lo kerjain?"
Kania mengedikkan bahunya acuh, kemudian menggeleng." Belum ad ayang gue kerjain," akunya.
"Terus Lo ngapain aja dari tadi?!" tanya Karel tak habis pikir.
"Itu!" Kania menuju ke arah pesawat kertas dan juga kapal-kapalan yang masih setia dalam bentuknya. Ia melebarkan senyumannya kemudian menaruh kedua sikunya di atas meja dengan alis yang bergerak naik turun." Keren kan gue? Kreatif banget," ucapnya dengan bangga.
Karel mendengus. Di mana sisi kreatifnya? Semua orang juga bisa membentuk model kertas seperti itu dan ia juga yakin, semua orang kecuali Kania jauh lebih kreatif karena tidak menggunakan kertas ujian untuk membuat bentuk seperti itu.
Ia mulai mengerjakan soal-soal kimia dengan bantuan Kania yang mulai mengembalikan kertas-kertas sobekannya pada bentuk semula.
"Anggap aja ini rasa terima kasih gue buat malam itu." Karel berucap. Ia kembali memperhatikan Kania yang juga sedang menatapnya. " Setelah ini gak usah deket-"
"Sini!" Kania kembali menarik kertas itu." Jangan pegang-pegang soal gue!"
"Lebih baik gue minta ngedate di mall sama lo, dibandingkan ngedate di perpus kayak gini," cibirnya.
"Udah sana pergi!" Ia kembali memerintah."lebih baik gue dapat nilai jelek dibandingkan hilang kesempatan buat bareng sama Lo."
Karel heran." Ya bagus dong sekarang!" Bantahnya." Gue bantuin lo supaya nilai lo bagus dan lo dapat kesempatan buat bareng gue."
"Iya juga,," Kania mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. Ia kembali melepas kertas itu untuk kembali Karel kerjakan." Ah, tapi enggak!" Kania kembali menarik kertas itu. Bayangkan saja, kertas yang sudah kusut dan tidak berbentuk sekarang dijadikan bahan tarik-menarik.
"Gak mau tahu! Pokonya Sabtu kini lo harus nonton sama gue!" putus Kania kemudian. Ia merapihkan berbagai kertas dan alat tulisnya di atas meja perpustakaan, kemudian bangkit dari kursinya.
"Kalau nolak,,," ia menggantungkan ucapannya, kemudian melebarkan senyumnya." Aku mau ketemu sama papa Praja."
Karel membulatkan matanya." Najis!"
Apa-apaan itu? Sejak kapan Karel mengizinkan Kania untuk memanggil Praja dengan sebutan papa? Enak saja! Karel belum mau berbagi papa dengan Kania.