Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berikan Cintamu
"Rasminah? Jadi, ibuku tadi sengaja mengajak kamu ngobrol cuma mau ngomongin mantan pengasuh aku?" Yudis mengernyitkan keningnya.
"Kalau kamu butuh cinta dan perhatian, cari aja mantan pengasuh kamu. Bukan malah ngejar-ngejar aku," ujar Hana melipat kedua tangannya.
Terkekeh-kekeh Yudis mendengar perkataan Hana. "Ayolah! Aku ini pria dewasa, bukan anak kecil! Lagipula, cara menyayangi pengasuh dan gadis pujaan itu berbeda."
"Apa pun itu, aku tetap pada pendirianku. Aku nggak bisa menerima kamu. Aku mau menggapai karir dulu, dan fokus sama diri sendiri. Dan, satu hal yang harus kamu ingat baik-baik. Status sosial kita jauh berbeda. Apa kamu nggak lihat gimana reaksi ayah kamu tadi? Bukankah itu sudah jelas kalau dia tidak setuju kalau kamu dekat dengan aku?" jelas Hana.
"Aku nggak peduli sama restu ayah. Dari dulu dia itu angkuh, nggak bisa diajak kompromi. Kalaupun aku harus memilih, aku lebih rela mati sama kamu daripada hidup nyaman bersama keluarga sendiri," sanggah Yudis, bersikukuh.
"Terserah kamu mau berkata apa. Yang jelas, aku nggak bisa menerima kamu," tegas Hana menatap wajah Yudis dengan yakin. "Mulai hari ini, carilah perempuan yang sepadan dan bisa menerima kamu dengan setulus hati. Aku yakin, bukan hal sulit buat kamu untuk mencari perempuan seperti yang diinginkan ayah ibu kamu. Aku harap, kamu mengerti dengan semua penjelasanku kali ini," imbuhnya.
Yudis mendesah panjang, lalu memandang Hana sambil tersenyum kecut. "Ya, aku juga tau betul, mencari perempuan yang diharapkan ayah bukanlah hal sulit. Kamu tau apa yang sulit buat aku?"
"Apa?" tanya Hana penasaran.
Dengan lembut, Yudis memegang kedua pipi Hana. Ditatapnya gadis itu lekat-lekat, sembari berkata, "Melupakan kamu."
Hana melepaskan kedua tangan Yudis dari wajahnya, lalu melengos meninggalkan tempat parkir. Keteguhan hatinya membuat ia enggan melihat sorot mata pria yang haus kasih sayang itu. Sedikit saja ia terenyuh oleh latar belakang Yudis dan permintaannya, maka goyah sudah tekadnya membalas kematian Alin. Bagaimanapun juga, perbuatan Yudis di masa lalu sulit untuk dimaafkan.
Hana bergegas menaiki taksi. Sepanjang perjalanan, gadis itu melamun, mencoba memahami kepribadian Yudis lebih dalam lagi. Menurutnya, meskipun Yudis memiliki kenangan pahit di masa lalu, itu bukan berarti menjadi alasan kuat untuk melakukan kejahatan.
Namun, di sisi lain, Hana pun menimbang kembali permohonan Julia saat akan duduk di acara perjamuan makan malam beberapa saat lalu. Wanita Italia itu tampak menaruh harapan pada Hana. Julia sangat ingin membuat putranya bahagia dan tenang seperti kebanyakan orang. Selain itu, ia meyakini, bahwa dengan mengenal Hana, putra semata wayangnya dapat berubah menjadi lebih baik.
"Tapi aku bukan malaikat. Seseorang bisa berubah atas kehendaknya sendiri, bukan pengaruh orang lain," desis Hana, sambil menatap gedung-gedung tinggi di luar jendela mobil.
Sementara itu, Yudis yang baru saja duduk di jok mobil, mengalihkan pandangan ke paper bag tempat Hana duduk sebelumnya. Diambilnya benda itu, lalu menarik baju yang dipakai sang gadis pujaan sebelum datang ke acara makan malam. Yudis mencium aroma tubuh Hana yang membekas pada pakaian itu sambil memejamkan mata. Terbayang di benaknya, betapa indah malam itu jika Hana bersedia menghabiskan waktu bersamanya di sebuah kamar hotel.
"Malam ini kamu boleh saja menolak aku, Hana. Tapi lihat saja nanti. Cepat atau lambat, aku pasti bisa menikmati setiap inci dari tubuhmu," gumam Yudis, sembari mengulas senyum licik.
***
Hari demi hari telah berlalu. Mencari pekerjaan baru rupanya tak semudah membalikkan telapak tangan bagi Hana. Berbekal ijazah SMA, ia melamar ke setiap toko dan perusahaan yang bersedia menerima jasanya. Namun, tetap saja, penolakan demi penolakan diterimanya setiap kali menyodorkan surat lamaran kerja.
Alih-alih kembali ke kampung halaman, Hana memutuskan untuk rehat sejenak. Pada kesempatan itu, ia menyambangi rutan tempat Anwar ditahan. Mungkin dengan bertemu pria yang telah menjadi kambing hitam bagi anak-anak penguasa, hatinya merasa tentram di tengah-tengah rasa penat mencari pekerjaan baru.
Setibanya di rutan, Hana akhirnya dapat bertemu dengan Anwar. Pemuda berwajah kalem itu tampak lebih kurus dan lesu dari sebelumnya. Semburat kekhawatiran tergambar jelas di wajah Hana tatkala memandang kondisi Anwar yang memprihatinkan.
"Anwar, apa kamu baik-baik aja?" tanya Hana, cemas.
"Aku baik-baik aja. Nggak usah khawatir," jawab Anwar, disertai senyum simpul.
"Anwar, aku nggak habis pikir, kenapa kamu harus mengakui kesalahan yang nggak kamu perbuat? Apa kamu nggak mau, hidup bebas dan menyelesaikan kuliah kayak biasanya?"
"Bukannya nggak mau, Hana. Posisi aku lagi nggak menguntungkan saat ini. Keluargaku diancam habis-habisan kalau aku nggak bersedia menjadi tumbal atas kejahatan mereka. Kamu tau, kan, keluarga mereka berempat bukan orang sembarangan. Jangankan membungkam aku, menyuap pengadilan pun dapat mereka lakukan."
"Tapi ini nggak adil, Anwar. Aku yakin, kalau Alin masih hidup dan tau para pelakunya berhasil bebas, dia nggak bakal diam gitu aja. Demi Tuhan, Anwar! Aku masih nggak terima dengan semua ini. Apalagi saat melihat para bajingan itu merayakan kebebasan di restoran mewah, hati aku panas banget!"
Tercengang Anwar mendengar kabar perayaan kebebasan teman-temannya dari Hana. "Mereka merayakan kebebasan? Sialan emang! Nggak tau malu tuh orang-orang!" umpatnya kesal.
"Ini nggak bisa dibiarin, Anwar. Kita harus melakukan sesuatu demi keadilan Alin," cetus Hana.
Anwar mendesah kasar, sambil menggaruk belakang kepalanya. "Kita harus punya rencana matang buat menjerat mereka. Kumpulkan bukti dan saksi yang kuat. Kalau perlu, hubungi ibu Alin buat membuka kembali kasus ini."
"Bukti? Saksi? Kita harus mencarinya ke mana? Aku yakin, polisi sudah mendapatkan cukup bukti dan saksi sebelum mengajukan perkara ke pengadilan."
"Terkadang kita harus berusaha sendiri sampai semuanya terang benderang. Memangnya kamu nggak bisa bersaksi buat keadilan Alin?"
Hana menggeleng pelan. "Akan sangat sulit, Anwar. Apalagi Yudis masih sering mengancam aku. Aku beneran bingung!"
"Seandainya saja orang tua mereka bukan orang berkuasa ...." Anwar termenung sejenak, hingga sebuah ide tiba-tiba muncul di pikirannya. "Bagaimana kalau kita lumpuhkan dulu orang tua mereka? Aku yakin, Yudis, Viktor, Andra, sama Kevin, pasti nggak akan berdaya tanpa kekuatan orang tua."
"Bagaimana cara melumpuhkannya? Aku lihat di acara makan malam lalu, mereka itu kayak susah banget buat dikalahkan."
"Aku pernah berbincang-bincang dengan salah satu napi di sini. Orang tua keempat pelaku pembunuhan Alin pernah bersekongkol untuk melenyapkan seseorang dengan menyewa preman. Anak dari korban pun pernah berusaha buat membalas dendam dan membuat kerusuhan di keluarga mereka. Tapi sayang, anak itu masih terlalu muda dan rentan bersikap gegabah."
"Di mana kita bisa menemukan anak itu? Apa kamu tau siapa namanya?"
"Dia teman sekolah adik aku. Namanya Dewa. Tapi ... aku sebenarnya masih nggak yakin, apakah langkah ini akan berhasil atau gagal. Soalnya anak sekolah mentalnya masih labil, takutnya malah jadi beban."
"Terus, kita harus gimana? Apa ada lagi orang lain yang dekat dengan keluarga para pelaku? Barangkali aku bisa mencari bukti lebih lanjut buat menjerat mereka."
Anwar mengangguk takzim. "Kalau soal koneksi, masih ada Bu Laras. Bos parfum itu kenal dengan keluarga keempat pelaku. Siapa tau, dengan begitu kamu bisa mendapatkan bukti lebih konkret. Jangan lupa, rekam semua percakapan di antara mereka buat dijadikan bukti. Ingat! Jangan gegabah!"
"Baiklah. Aku akan coba memata-matai mereka. Siapa tau, aku bisa mendapatkan informasi penting tentang skandal yang pernah dilakukan orang tua dari keempat pelaku."
"Ya. Untuk sementara lakukan saja dulu rencana mendekati Bu Laras. Kalau seandainya rencana ini gagal, maka jalan satu-satunya cuma dengan memanfaatkan Yudis. Dia masih ngejar-ngejar kamu, kan?"
Terperangah Hana mendengar nama itu keluar dari mulut Anwar. "Yudis? Apa kamu gila? Ini sama aja masuk ke kandang harimau!"
"Ayolah! Kamu pengen keadilan buat Alin, kan? Kalau kita nggak bisa selamatin Alin sewaktu hidup, apa salahnya buat terus berusaha mendapatkan keadilan setelah Alin tiada? Aku mohon, singkirkan dulu egomu. Gunakan cinta buat memperalat Yudis."
Sejenak, Hana termangu memikirkan usul dari Anwar. "Hm ... sebelum berpikir jauh, sebaiknya kita lakukan rencana awal. Apa kamu bisa kasih alamat rumah Bu Laras?"
"Tentu."
Hana menyerahkan secarik kertas dan pulpen pada Anwar. Pemuda itu mencatat alamat dari sang bos parfum, lalu memberikannya pada Hana.
Setelah mendapatkan informasi dan rencana awal demi keadilan Alin, Hana pun bergegas meninggalkan rutan. Ia berharap, dengan melumpuhkan orang tua para pelaku lebih dulu, dapat membuatnya mampu bersaksi dan terbebas dari ancaman Yudis.
Ketika keluar dari gerbang rutan, Hana terkejut melihat Yudis berada di pinggir jalan. Pemuda berkacamata itu tampak santai bersandar di mobil, lalu berjalan mendekati Hana.
"Katanya pengen punya pasangan baik-baik. Tapi, kok kamu malah datang ke sini? Habis ngapain aja sama si Anwar?" sindir Yudis, memandang sinis.