Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 Kepedulian Bu Nia
Setelah beberapa saat, Mbak Diana menutup telepon dan menatap Bu Nia dengan senyum yang lembut.
"Bu Nia, saya telah berbicara dengan atasan saya dan kami dapat memberikan keringanan biaya operasi untuk bu Naya. Kami juga akan memproses permohonan bantuan dari pemerintah untuk membantu biaya pengobatan,"
"Terima kasih, Mbak. Saya sangat berterima kasih atas bantuan Mbak," ucap Bu Nia bersyukur, ia merasa lega.
Mbak Diana tersenyum dan mengangguk.
"Sama-sama, Bu. Kami ingin membantu keluarga bu Naya dalam masa sulit ini. Sekarang, saya akan membantu Ibu untuk mengurus proses administrasi dan mempersiapkan bu Naya untuk operasi," katanya ramah.
Bu Nia mengangguk dan mengikuti Mbak Diana ke ruang administrasi, ia merasa lega dan berharap bahwa semuanya akan berjalan dengan baik dan lancar.
Di ruang administrasi, Mbak Diana meminta dokumen penting Naya untuk pengisian formulir dan berkas lainnya. Namun Bu Nia tidak bisa memberikannya, karena Bu Nia bukanlah bagian dari keluarga Naya.
Mbak Diana menatap Bu Nia dengan heran, "Lho, Bu? Bagaimana saya bisa membantu Ibu mengisi formulir dan dokumen lain kalau berkas datanya saja tidak ada?"
Diana menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela nafas dalam-dalam.
Bu Nia merasa malu dan tidak enak hati karena tidak bisa memberikan dokumen yang dibutuhkan.
"Maaf, Mbak. Saya tidak membawa dokumen-dokumen Naya karena saya tidak memiliki akses ke dokumen-dokumen tersebut. Saya hanya ingin membantu Naya karena saya merasa kasihan padanya," jelas Bu Nia berusaha agar wanita cantik di depannya bisa memahami kondisi dan situasi yang terjadi.
"Jadi maksud Ibu..."
"Saya bukan bagian keluarga Naya," jelasnya lagi.
"Saya pikir Ibu adalah keluarga Naya. Bagaimana Anda bisa membantu Naya jika Anda tidak kenal dia?" tanyanya sambil mengerutkan keningnya.
Bu Nia tersenyum dan menjelaskan, "Saya hanya penumpang bus yang kebetulan duduk di sebelah Naya. Saya tidak kenal dia sebelumnya, tapi saya merasa kasihan padanya karena dia sendirian dan memerlukan bantuan,"
Mbak Diana memijat pelipisnya, memikirkan cara praktis untuk membantu menyelesaikan administrasi Naya.
"Diana..." tegur salah seorang dokter yang keluar dari dalam ruang administrasi.
"Eeh iya dok?"
"Ada apa, apa ada masalah?"
"Ini dok. Ibu ini yang mengajukan keringanan biaya tapi beliau tidak bisa memberikan dokumen yang dibutuhkan. Padahal dokumen itu sangat penting untuk pengisian data pasien,"
Dokter tersebut tersenyum, "Diana jangan dibikin ribet ya. Kalau ketahuan dokter Dikara kamu yang akan kena masalah,"
Mbak Diana tersenyum dan menggelengkan kepala, "Iya, dok, saya tahu. Saya hanya ingin memastikan bahwa semua prosedur dapat diikuti dengan benar,"
Dokter tersebut tertawa dan berkata, "Diana, kamu terlalu perfeksionis. Kadang-kadang kita harus fleksibel dan memprioritaskan kepentingan pasien, apalagi kondisi pasien dalam keadaan akan melahirkan. Lakukan secepatnya, agar pasien bisa segera ditangani!" titah dokter tegas.
Mbak Diana mengangguk dan berkata, "Baik, dok. Saya akan mencoba untuk memproses permohonan keringanan biaya ini secepat mungkin."
Dokter yang bernama Amanda mengangguk lalu keluar dari ruangan tersebut menuju lobi untuk menyambut kedatangan kekasihnya.
Selepas dr. Amanda berlalu di hadapannya, Mbak Diana mengangguk dan berkata, "Baiklah, Bu. Saya akan mencari cara lain untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Terima kasih atas bantuan Anda."
"Maaf ya Mbak,"
Mbak Diana tersenyum dan mengangguk, "Tidak apa-apa, Bu. Saya menghargai kebaikan hati Ibu. Ibu benar-benar orang yang baik."
Bu Nia merasa malu dan menggelengkan kepala, "Tidak, Mbak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang."
"Silakan Ibu bisa menunggu pasien di ruang tunggu dekat ruang operasi!"
"Baik Mbak terima kasih atas bantuannya,"
Mbak Diana tersenyum sambil mengangguk.
Bu Nia duduk di ruang tunggu, menunggu kabar tentang Naya dan bayinya. Waktu terasa berjalan sangat lambat, dan Bu Nia merasa seperti berada di dalam kekosongan yang tidak berujung.
Ia membuka mata dan menatap sekeliling ruang tunggu, melihat orang-orang lain yang juga menunggu kabar tentang keluarga mereka.
Tiba-tiba ponsel Bu Nia berdering, tertera nama anaknya di sana.
"Assalamualaikum. Ya hallo Reno?"
"Mama...mama di mana sih kok dari tadi engga nyampe-nyampe?" tanya anaknya, Reno dari seberang sana.
"Iya nak. Mama sedang berada di rumah sakit,"
"Hah, siapa yang sakit?"
"Ibu-ibu hamil mau melahirkan. Ini mama sedang menunggunya selesai operasi,"
"Ya Mam. Sempat-sempatnya Mama nolongin orang. Ya sudah Reno jemput aja ya Mam. Reno engga mau buka puasa sendirian. Rumah sakit mana Mam?"
Bu Nia tersenyum dan merasa lega karena anaknya Reno akan menjemputnya.
"Baik, nak. Mama akan menunggumu. Rumah sakitnya di..."
Bu Nia melihat sekelilingnya dan melihat nama rumah sakit yang tertempel di tembok.
"Rumah Sakit Ummu Kultsum. Tapi, nak, Mama harus menunggu sampai ibu-ibu hamil itu selesai operasi dan dalam keadaan baik dulu. Mama tidak bisa meninggalkannya sendirian."
"Ooh ya sudah Reno jemput Mama ya!"
"Ya hati-hati, nak!"
Bu Nia menutup ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam tasnya. Seraya menatap lurus ruang operasi.
Bu Nia menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia memikirkan tentang Naya dan bayinya, berharap bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar.
Ia juga memikirkan tentang anaknya, Reno, yang akan segera menjemputnya. Bu Nia tersenyum sedikit, merasa lega karena akan segera bertemu dengan anaknya. Namun, hatinya masih terasa berdebar, menunggu kabar baik dari persalinan Naya.