Muak seluruh semesta saling membunuh dalam pertikaian yang baru, aku kehilangan adikku dan menjadi raja iblis pertama kematian adikku menciptakan luka dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Actions That Cost Thousands of Lives
"Revalon," Eika berkata lembut setelah memastikan Arata telah kembali ke kamarnya untuk beristirahat, "ikutlah denganku ke ruang teh."
Revalon mengikuti langkah Eika dalam diam, menyadari perubahan atmosfer dari sahabatnya. Para maid dengan sigap menyiapkan ruangan pribadi Eika—sebuah ruangan elegant dengan jendela-jendela tinggi yang menghadap ke taman mawar perak.
Setelah teh dituang dan para maid undur diri, Eika menatap tajam ke arah Revalon. "Kau bisa saja terbunuh hari ini."
Revalon yang baru saja akan menyesap tehnya, terhenti. "Apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura bodoh," suara Eika berubah dingin. "Kau tahu persis siapa Arata. Empat Dewa Perang terkuat dari Dunia Atas telah jatuh di tangannya—esensial divine mereka bersemayam dalam pedang Agroneme Arata, aku juga sangat takut saat dia tiba disini."
Revalon meletakkan cangkirnya perlahan. "Dan jangan lupakan puluhan Dewa Minor yang mencoba menghalangi jalannya."
"Tepat," Eika mengetuk meja dengan jarinya, menciptakan riak kecil di permukaan teh mereka. "Lalu dengan bodohnya kau memancing amarahnya seperti itu? Menghancurkan karyanya? Menguras energi spiritualnya?"
"Aku tahu apa yang kulakukan, Eika," Revalon menjawab tenang. "Justru karena dia adalah Arata sang pembunuh dewa, aku harus memastikan dia untuk tidak mengincar nyamamu dia telah berkelana dunia hanya untuk membunuh. Sebab itu aku menjadi sosoknya yang lain di dunia Endignyu seolah-oleh menuntunnya kemari — itu efektif dia malah jadi muridmu sekarang."
"Dengan mempertaruhkan nyawamu?"
"Dengan memastikan bahwa dia bisa mengendalikan amarahnya," Revalon menatap lurus ke mata Eika. "Kau lihat sendiri, dia tidak langsung menyerangku meski aku menghancurkan karyanya. Dia mencari pertolonganmu terlebih dahulu. Itu menunjukkan kemajuan besar dalam pengendalian dirinya."
Eika menghela napas panjang. "Tetap saja, itu terlalu beresiko. Bagaimana jika dia lepas kendali? Bagaimana jika esensial divine para dewa perang bangkit? Kau tahu sendiri apa yang terjadi — kau tau dia membunuh dewa untuk bisa menandingi dari Dewa Noah."
"Ya, aku tahu," Revalon tersenyum tipis. " Arata benar-benar dikendalikan oleh rasa bersalah dan takut mati dibunuh Dewa Noah. Tapi justru karena itulah aku harus melakukan ini, Eika. Untuk memastikan bahwa dia tidak akan pernah mengancam nyawa temanku."
"Dengan mengorbankan dirimu sendiri?" Eika menggeleng. "Kau terlalu ceroboh, Revalon meski itu terimakasih banyak."
"Dan kau terlalu khawatir," Revalon tertawa kecil. "Bukankah ini yang selalu kita lakukan? Aku yang ceroboh dan kau yang selalu menjagaku?"
"Ini berbeda," Eika menatap ke arah taman, dimana bunga-bunga mawar perak berkilau di bawah cahaya bulan. "Dia hanya mengejar kepuasannya."
"Justru karena itu dia membutuhkanmu," Revalon menjangkau tangan sahabatnya. "Dan setelah apa yang kulihat hari ini, aku yakin kau adalah guru yang tepat untuknya. Dia mulai belajar mengendalikan amarahnya, mulai memahami makna sejati dari penciptaan. Itu semua berkat kau, Eika."
Eika terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Kau tetap harus berjanji untuk tidak melakukan hal seperti ini lagi. Setidaknya, tidak tanpa memberitahuku terlebih dahulu."
"Baiklah, baiklah," Revalon mengangkat tangannya. "Aku berjanji. Lagipula..." dia menyeringai jahil, "kurasa aku sudah cukup menguji kesabaran sang pembunuh dewa untuk saat ini."
"Revalon!"
Tawa renyah Revalon memenuhi ruangan, berbaur dengan aroma teh yang menguar lembut. Di luar, bulan perlahan naik lebih tinggi, menyinari kastil tempat dua dewi menikmati hangatnya secangkir teh.
Fajar menyingsing di ufuk timur, menciptakan semburat keemasan yang memantul di permukaan danau kristal. Arata telah berada di ruang kerjanya sejak sebelum matahari terbit, jemarinya bergerak dengan presisi mengukir setiap detail pada manekin di hadapannya. Kali ini, tidak ada keraguan dalam setiap gerakannya—hanya kepastian dan pemahaman mendalam akan setiap lekuk dan guratan yang ia ciptakan.
Sinar mentari yang merembes masuk melalui jendela tinggi menyinari sosok manekin yang kini berdiri sempurna. Setiap detail terangkum dengan begitu akurat—dari tatapan mata yang tajam namun menyimpan kehangatan, hingga postur tubuh yang memancarkan aura seorang pejuang. Bahkan goresan-goresan halus bekas pertarungan masa lalu terpahat dengan begitu natural pada permukaan kayunya.
Eika memasuki ruangan tepat ketika Arata menyelesaikan sentuhan terakhir. Langkahnya terhenti sejenak, terpukau oleh kesempurnaan karya di hadapannya. Manekin itu bukan sekadar replika fisik Arata—ia adalah cerminan jiwa sang pembunuh dewa yang kini sedang dalam proses transformasi.
"Mengagumkan," Eika berkata dengan nada takjub yang tulus. "Kau tidak hanya menciptakan sebuah manekin, Arata. Kau telah menuangkan esensi dirimu ke dalamnya."
Arata berbalik, ada kilat kepuasan di matanya yang biasanya dipenuhi kegelisahan. "Aku telah sampai jauh di titik ini. Kali ini... kali ini aku benar-benar memahami apa yang Anda ajarkan. Tentang menciptakan, bukan menghancurkan."
"Dan kau telah melakukannya dengan sempurna," Eika tersenyum hangat, menghampiri manekin tersebut untuk mengamati lebih detail. "Lihat bagaimana kau menangkap setiap detail dengan begitu cermat, namun tetap mempertahankan esensi yang lebih dalam. Ini bukan sekadar tiruan—ini adalah refleksi sejati."
"Saya mulai mengerti," Arata mengangguk pelan, "bahwa kekuatan tidak selalu tentang menghancurkan. Terkadang... terkadang kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang bermakna."
Eika meletakkan tangannya di bahu Arata, matanya memancarkan kebanggaan yang tak terkatakan. "Selamat, Arata. Kau telah melewati ujian ini dengan sangat baik. Dan yang lebih penting, kau telah memulai perjalanan untuk memahami makna sejati dari kekuatanmu."
Sinar matahari semakin terang, memandikan ruangan dalam cahaya keemasan, seolah alam sendiri turut merayakan pencapaian ini. Di sudut ruangan, tanpa sepengetahuan mereka, setangkai mawar perak mulai mekar. Pertanda peperangan antara seluruh alam dewa akan kembali pecah.
Eika terdiam sejenak, mengamati manekin di hadapannya dengan seksama. Ada sesuatu yang masih kurang—sesuatu yang akan membuat karya ini benar-benar sempurna.
"Arata," ia berkata lembut, "izinkan aku memberikan sentuhan terakhir pada karyamu."
Arata mengangguk, mundur selangkah untuk memberi ruang. Eika mengangkat kedua tangannya, jemarinya yang lentik mulai bergerak dalam pola rumit di udara. Cahaya keperakan mulai menari di sekitar jari-jarinya.
"[D'leaks]," bisiknya, suaranya mengalun bagai melodi kuno.
Seketika, cahaya keperakan itu melesat menyelimuti manekin Arata. Perlahan namun pasti, permukaan kayu yang halus mulai bertransformasi. Tekstur kayu berubah menjadi tekstur kulit manusia yang sempurna—persis seperti kulit dan wajah seperti Arata sendiri.
"Lihatlah," Eika tersenyum, menunjuk pada detail-detail yang kini semakin nyata.
Bekas luka di bahu—hasil pertarungan dengan Dewa Perang. Guratan halus di punggung tangan—jejak dari pertempuran melawan Dewa Perang Timur. Bahkan rona kulit kecokelatan yang terbakar matahari selama pengembaraannya kini tercetak sempurna pada permukaan manekin.
Arata terpana. Tangannya terulur, menyentuh permukaan manekin yang kini terasa hangat dan hidup. "Ini... mengagumkan," bisiknya.
"Sihir D'leaks adalah sihir transformasi tertinggi," Eika menjelaskan. "Ia tidak sekadar mengubah penampilan, tapi juga menuangkan esensi kehidupan ke dalam objek yang disentuhnya."
Manekin itu kini berdiri dengan kesempurnaan yang nyaris mencengangkan—sebuah replika hidup dari sang pembunuh dewa. Namun ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya. Jika mata Arata sering dipenuhi kegelisahan dan amarah, mata manekin ini memancarkan kedamaian dan kebijaksanaan—seolah menjadi cerminan dari sosok yang mungkin akan menjadi diri Arata di masa depan.
Di kejauhan, setangkai mawar perak yang baru mekar itu berkilau semakin terang, seolah beresonansi dengan sihir yang baru saja dilepaskan. Pertanda bahwa roda takdir telah mulai berputar, dan peperangan besar di alam para dewa tak lagi dapat dihindari.