"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11: Lee Namjin
Langit malam dihiasi bintang-bintang yang jarang terlihat di tengah hiruk-pikuk kota besar. Gedung tempat berlangsungnya acara megah itu kini mulai sepi, meski masih ada beberapa orang yang tertahan di pintu keluar, berbincang sambil sesekali tertawa. Keramaian perlahan memudar, berganti dengan suasana tenang yang menyelimuti jalanan di sekitar gedung.
Namjin melangkah keluar dari pintu utama dengan langkah santai, setelan rapi yang ia kenakan membuatnya terlihat lebih menonjol dibanding orang-orang lain yang juga meninggalkan tempat itu. Di sisinya, seorang wanita cantik dengan gaun sederhana tetapi elegan berjalan seiring, tampak memandangnya dengan kagum. Cahaya lampu jalan memantulkan kilauan lembut dari permata kecil di kalungnya, menambah keanggunan dirinya.
Angin malam bertiup pelan, membelai lembut rambut mereka yang tertata rapi. Suara langkah kaki mereka terdengar samar, seiring suasana di sekitar yang mulai sunyi. Di kejauhan, gemerlap lampu kota menjadi latar belakang yang indah untuk mengakhiri malam yang penuh kesan.
“Aku tidak menyangka bahwa acaranya akan sebagus itu,” ujar Namjin sambil berjalan santai keluar dari tempat acara, beriringan dengan seorang wanita cantik di sampingnya. Malam sudah larut, tetapi suasana masih ramai oleh para pengunjung yang pulang perlahan-lahan.
“Oppa benar sekali, semua orang di sana terlihat sangat berbakat. Tapi, di antara semuanya, kau lah yang terbaik,” puji wanita itu dengan nada lembut, matanya bersinar penuh kekaguman.
“Kau sudah mengatakan itu berkali-kali. Aku sampai lelah menghitungnya,” balasnya dengan tawa kecil yang hangat, tetapi nadanya tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Pria manis itu tersenyum hingga menunjukkan lesung Pipit nya.
“Karena pujian itu memang pantas kau dapatkan, oppa. Lukisan-lukisanmu terjual secepat kilat. Banyak kolektor yang berebut ingin memilikinya,” wanita itu tersenyum sambil menatap Namjin dengan bangga.
“Terima kasih sudah mau menemani aku di sini. Aku tahu acara seperti ini mungkin sedikit membosankan.” ucap nya setelah terdiam beberapa saat.
“Justru aku yang harus berterima kasih. Kau membawaku ke dunia yang penuh seni dan keindahan seperti ini. Aku bersyukur bisa berada di sampingmu,” ucapnya, nada suaranya dipenuhi kehangatan. Namjin sedikit terkejut mendengar kata-katanya.
“Apa?” tanyanya, mencoba memastikan maksud ucapan wanita itu.
Keduanya tiba-tiba terdiam. Mata mereka saling bertemu, seolah waktu berhenti di antara mereka. Tak ada suara lain yang terdengar, hanya detak jantung yang semakin keras. Lamunan mendalam mulai membayangi pikiran masing-masing, menciptakan ruang kosong yang hanya dipenuhi oleh kehadiran satu sama lain. Namun, momen itu terhenti tiba-tiba ketika seorang pria yang kebetulan lewat mendekati mereka.
“Permisi, apa ada masalah di sini?” tanyanya dengan nada ramah, seolah ingin memastikan jika semuanya baik - baik saja, keduanya tersentak dari lamunan mereka.
“Ah, tidak… tidak ada masalah,” jawab Namjin dan wanita itu serempak, nada bicara mereka terdengar gugup. Pria itu hanya mengangguk sebelum pergi, tampak kebingungan karena reaksi mereka yang aneh.
“Orang yang sangat… random,” kata wanita itu sambil terkekeh pelan, membuat Namjin tertawa kecil.
“Ayo masuk, aku akan mengantarmu pulang,” ujar Namjin sambil membukakan pintu mobil untuk wanita itu, senyumnya tulus dan hangat.
“Haruskah? Arah kita berbeda, kan?” tanya wanita itu dengan keraguan, meski matanya menunjukkan rasa ingin tahunya.
“Besok kita masih harus pergi bersama. Ayolah,” Namjin memanfaatkan momen itu dengan wajah imutnya yang selalu bisa membuat orang lain merasa lebih baik.
“Ahh, baiklah, oppa. Terima kasih untuk ini,” jawab wanita itu, senyum manis tak bisa disembunyikannya.
“Tidak baik seorang wanita pulang malam sendirian. Memang kamu tidak takut diculik orang?” tanya Namjin sambil terkekeh, menghidupkan mesin mobilnya. Suara mesin yang meraung itu terasa hangat di tengah malam yang tenang.
“Aku ingin diculik oleh seorang mafia tampan dan dijadikan istri olehnya, seperti di novel-novel!” ucapnya sambil menatap Namjin dengan mata berbinar, membayangkan skenario yang konyol sembari tertawa pelan.
“Hahaha… Bagaimana kalau kamu justru diculik untuk dijadikan makanan hewan peliharaan mereka?, masih tetap mau ?,” Namjin membalas dengan lelucon yang membuat mereka berdua tertawa lepas, menghilangkan ketegangan di antara mereka.
" Tidak.. dengan wajah ku yang cantik pasti Mafia ajushi akan tergila - gila " Tutur nya yang di jawab gelak tawa oleh Namjin.
( Catatan: Ajushi (아저씨) dalam bahasa Korea merujuk pada pria yang lebih tua, biasanya di atas usia 30 tahun. Istilah ini digunakan untuk menyapa atau merujuk kepada pria dewasa, seperti paman atau lelaki yang tidak terlalu dekat tetapi sudah dianggap lebih tua. Tolong koreksi jika author salah ).
" Ya .. mereka memang suka wanita cantik seperti mu , tapi kau sungguh mau menikah dengan mereka? " Tanya Namjin lagi.
" Apa akan seindah yang di kisahkan di novel? " Tanya wanita tersebut, berharap Namjin menjawab sesuai ekspektasi nya.
" Pertanyaan bodoh macam apa itu ? Kau tahu banyak penulis novel romantis yang kisah cinta nya tragis, karena apa , Terkadang, karya yang dihasilkan tak seindah jiwa yang menciptakannya. " jawab Namjin, sembari terkekeh mendengar penuturan dari wanita tersebut.
“Bukankah kisah cinta di novel-novel itu sangat romantis, oppa?” tanya wanita tersebut, kini terlarut dalam imajinasinya sendiri.
“Eum… { Namjin terdiam sejenak, memikirkan pertanyaan itu } Kamu betul. Bukankah semuanya terlihat seperti template yang digunakan berulang kali oleh orang yang berbeda? Rasa sakit, perjuangan, lalu kebahagiaan?” tanya Namjin, membiarkan pikirannya mengembara.
“ Oppa benar kisah cinta mereka semua itu klise. Awalnya benci jadi cinta. Bukankah itu hal yang tidak masuk akal? Bagaimana seseorang bisa mencintai orang yang sudah menyakiti mereka?” wanita itu mempertanyakan pertanyaan Namjin sebenarnya, suara penuh rasa ingin tahu.
“Itulah wanita, mereka mudah tersentuh oleh sikap manis seseorang yang sebenarnya bisa saja menghancurkan kehidupan mereka,” jawab Namjin, nada suaranya kini lebih serius. Ia fokus menatap jalanan ibu kota yang berkilau di bawah cahaya lampu malam, pikirannya menerawang jauh.
Dalam keheningan itu, suasana terasa lebih dalam, seolah mereka berdua berbagi pemikiran yang lebih dari sekadar percakapan biasa.
“ Oppa…” panggil wanita itu, suaranya lembut, penuh harapan.
“Emm…” gumam Namjin tanpa menoleh, masih terfokus pada jalanan yang berkelok-kelok di depannya.
“Apa itu cinta?” tanya wanita tersebut lagi, matanya berkilau dalam cahaya lampu mobil yang berkelap-kelip.
Suasana hening sejenak, keduanya merenung dengan pikiran masing-masing. Akhirnya, pria manis itu membuka mulutnya dengan suara pelan.
“Alasan kita hidup!” jawabnya, nada suaranya seakan menggugah makna dalam.
“Kenapa seseorang harus dipaksa selalu mencintai? Apakah kita tidak bisa hidup tanpa harus terikat oleh hubungan yang rumit seperti cinta?” tanya wanita itu, pertanyaannya menggantung di udara. Dia mengamati Namjin dengan penuh perhatian, menanti jawabannya.
“Seseorang tidak harus dipaksa mencintai, karena cinta yang dipaksakan hanya membawa kepalsuan. Kita bisa hidup bahagia dengan cara kita sendiri, menemukan makna di luar hubungan romantis. Hidup bukan hanya tentang cinta, tetapi tentang menemukan kebebasan dan kebahagiaan dalam diri kita sendiri. Kamu tidak harus mencintai seseorang jika memang tidak mau,” ujar Namjin dengan keyakinan, setiap kata-katanya dipenuhi pemahaman yang dalam.
Wanita itu terdiam mendengar kata-kata bijaksana dari pria tampan di sampingnya. Dia mengagumi cara Namjin berpikir, merasa beruntung bisa berbagi momen ini. Kata-katanya selalu tepat dan penuh makna, seakan mampu merangkum seluruh keraguan dan pertanyaannya menjadi satu jawaban yang memuaskan.
“Oppa, aku suka cara kamu berpikir, Kadang aku merasa terjebak dalam ekspektasi orang lain tentang cinta. Seolah cinta harus menjadi segalanya, dan seolah-olah orang akan mati jika hidup tanpa cinta ” ujarnya pelan, merasakan kehangatan di dalam hatinya.
“ Cinta memang penting, tetapi jangan biarkan itu mengatur hidupmu, hiduplah untuk dirimu sendiri terlebih dahulu. Ketika kamu bahagia dengan dirimu sendiri, cinta akan datang dengan sendirinya. Jangan pernah memaksa kan diri untuk mencintai orang lain sebelum bisa mencintai diri mu sendiri ” Namjin menanggapi, senyumnya lebar dengan lesung pipit yang membuat hatinya bergetar.
“Tapi kebanyakan orang lebih memilih untuk mencintai orang lain daripada dirinya sendiri, karena itu lebih mudah,” ucapnya lagi, nada suaranya mengandung keprihatinan.
“ Itulah sebabnya banyak orang yang sakit hati, dibodohi, dan diperbudak oleh cinta. Kau tahu orang-orang yang menggemari idol/artis ?” tanya Namjin, matanya menyala dengan semangat.
“Apa hubungannya?” tanya wanita itu, penasaran dengan arah pembicaraan Namjin.
“Tentunya ada… daripada mencintai dirinya sendiri, mereka lebih memilih untuk mencintai idola mereka yang jelas-jelas kecil kemungkinannya untuk mereka temui secara langsung. Bukankah aneh jika seseorang mencintai seseorang yang sama sekali belum pernah dia temui, bahkan sudah pasti tidak akan menjadi milik mereka?” tuturnya, ekspresinya serius namun masih ada sedikit senyum di bibirnya.
“Haiss… kamu berbicara terlalu jauh, oppa. Kau tahu mereka itu hanya tahu bagaimana rasanya bahagia, tanpa tahu maknanya. Yang mereka lakukan tidak salah, karena terkadang cinta itu datang pada waktu dan tempat yang tidak seharusnya. Mereka tahu jika mereka tidak mungkin memiliki idola mereka. Tapi apa salahnya jika mereka menikmati hidup mereka dengan cara seperti itu? Mereka nyaman dengan apa yang ditampilkan oleh idola mereka itu, sekalian semua itu hanya kebohongan, ” tutur wanita itu, menegaskan pandangannya dengan penuh keyakinan. Dia menggerakkan tangannya untuk menekankan poinnya, menambahkan kedalaman pada kata-katanya.
“Aku hanya pikir jika itu aneh. Mencintai diri sendiri itu lebih baik daripada mencintai orang lain,” ujar Namjin, tertawa kecil dengan pendapatnya yang teguh.
“Arrasso, ucapanmu memang tidak pernah gagal ” sambung wanita itu sembari terkekeh, wajahnya bersinar dengan tawa yang tulus.
( catatan: Arrasso dalam bahasa Korea berarti "oke" atau "baiklah" Tolong koreksi jika author salah) .
Namjin menatapnya dengan penuh perhatian, merasakan kehangatan di dalam hati. Mereka berbagi tawa, dua jiwa yang mencoba memahami satu sama lain di tengah kerumitan perasaan dan ekspektasi.
“Kau tahu, mungkin aku tidak sepenuhnya setuju denganmu, tapi aku menghargai pandanganmu. Setiap orang memiliki cara mereka sendiri untuk menemukan kebahagiaan,” ujar Namjin, suaranya lembut dan bijak.
“Dan mungkin, aku akan mencoba lebih mencintai diriku sendiri juga seperti yang kamu katakan, siapa lagi yang akan mencintaiku jika bukan diriku sendiri iyakan?! ” wanita itu menambahkan, senyum manis menghiasi wajahnya.
Namjin mengangguk sembari mengusap pelan rambut wanita yang ada di samping nya , merasakan momen itu menjadi semakin intim. Mereka berdua melanjutkan perjalanan, berbagi pandangan dan impian, menambah kedalaman hubungan mereka dengan setiap kata yang terucap.
"Ketika kita tertawa maka dunia akan ikut tertawa bersama kita, tapi ketika kita menangis kita hanya akan menangis sendirian , Kita lah yang harus kita cintai di dunia ini, sedekat apapun kita dengan seseorang yang tahu dan paham atas apa yang terjadi dalam hidup kita , hanya diri kita sendiri, " lanjut pria manis itu , pandangan nya tetap pokus pada jalanan malam yang terasa cukup senggang malam itu.
Wanita itu tersenyum saat Namjin tanpa sadar mengusap kepala nya lembut , dia merasa terinspirasi oleh kata-kata Namjin. Di dalam hatinya, ia merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mereka terus melanjutkan perjalanan, berbagi pemikiran dan tawa, seolah malam ini menjadi saksi dari sebuah ikatan yang tak terduga dua jiwa yang saling melengkapi, tanpa perlu terikat oleh definisi cinta yang rumit.
“Oppa, jika seperti itu, bagaimana pendapatmu tentang pernikahan? Apakah pernikahan sangat penting?” tanya wanita itu lagi setelah beberapa saat terdiam, matanya menyiratkan keingintahuan yang mendalam.
“Pernikahan penting bagi sebagian orang karena dianggap sebagai komitmen resmi untuk berbagi hidup dengan seseorang yang mereka cintai. Namun, bagi sebagian yang lain, kebahagiaan dan kebebasan bisa didapat tanpa pernikahan. Itu semua tergantung pada apa yang membuat seseorang merasa utuh dan puas dalam hidup. Pernikahan bukan satu-satunya jalan menuju kebahagiaan, tapi jika itu dilakukan dengan cinta dan saling pengertian, bisa menjadi hal yang indah,” ujar Namjin, suaranya tenang dan berwibawa.
“Artinya?” tanya wanita itu, masih belum puas dengan jawaban Namjin. Wajahnya menunjukkan ketidaktahuan, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Artinya, pernikahan dan menikah bukanlah cara utama untuk mencapai kebahagiaan. Prinsip hidup setiap orang itu berbeda-beda. Kamu tidak harus menikah jika ingin bahagia, karena menikah tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Tapi jika pun memang kamu yakin untuk menikah, apakah kamu siap untuk menjalani semuanya?” Ujar Namjin, membalikkan pertanyaan dengan tatapan yang serius.
“Not for now, kurasa besok atau lusa,” jawabnya sembari terkekeh, sedikit mengalihkan perhatian dari pertanyaan berat itu. Senyumnya menunjukkan bahwa dia tidak ingin terlalu terikat dengan hal-hal yang rumit saat ini.
“Setidaknya kau tetap bahagia dengan pilihanmu. Tidak perlu dengarkan ucapan orang lain. Terlalu banyak orang jahat di dunia ini, dan kita tidak akan bisa melawan semuanya,” ujar Namjin lagi, menatap lurus ke depan, seolah memikirkan banyak hal.
“Kita hanya perlu tutup telinga agar tidak mendengar apa yang mereka katakan, bukan?” tanya wanita itu lagi, mencoba memahami sudut pandang Namjin.
“Emm… jika kita tidak bisa menutup mulut orang lain, maka kita yang harus menutup telinga kita,” jawabnya, memberikan saran yang penuh makna.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya keduanya sampai di apartemen milik si wanita. Namjin memarkir mobilnya di depan gedung, lalu menatap wanita itu dengan lembut.
“Aku senang bisa berbincang denganmu malam ini. Terima kasih sudah mengizinkanku untuk mendengarkan pandanganmu. ” Tutur namjin sembari tersenyum tipis .
“Aku juga senang, oppa. Sering-seringlah kita berbincang seperti ini, dari dulu aku selalu merasa tenang setelah mendengar kan ucapan mu ” jawab wanita itu, tersenyum manis sambil membuka pintu mobil.
Wanita itu melangkah keluar dari mobil, dan diikuti oleh Namjin yang seolah ingin mengantarkan nya tepat di tempat tujuan nya .
“Besok kita akan pergi ke tempat tadi?” tanya wanita itu lagi, matanya berbinar penuh antusias.
“Tidak, kita menghadiri acara outdoor sepertinya. Banyak kolektor lukisan dunia yang akan datang, dan aku akan menunjukkan karyaku di sana,” jawab Namjin, senyum bangga terlukis di wajahnya.
“Aku siap menemanimu,” ujarnya, semangatnya tak terbendung.
“Memang seharusnya seperti itu. Kau kan bekerja untukku,” ujar Namjin sambil terkekeh, nada candanya menghangatkan suasana malam itu.
“Bukankah itu terlalu jujur? ” jawab si wanita sambil tertawa geli mendengar penuturan Namjin.
“Lebih baik jujur walaupun kenyataan itu pahit,” ujar Namjin lagi, menatap ke depan dengan serius seolah menekankan pentingnya kejujuran dalam hidup.
“Hemm… karena yang manis itu kamu,” jawabnya sembari tersenyum, dan Namjin yang mendengar hal tersebut sedikit tercengang. Dia tidak menyangka Ji-won akan berbicara seperti itu, dan hatinya berdebar, menghadapi momen yang aneh ini.
"Yakkk... Kang Ji-won, apa itu?" ujar Namjin, merasa salah tingkah dengan ucapan wanita yang di panggil Ji-won itu.
"Kau merona, oppa," Ji-won menjawab sambil tertawa geli melihat ekspresi Namjin yang tampak bingung.
"Ya Tuhan," ungkap Namjin, tidak tahu harus berkata apa lagi.
Kang Ji-won adalah teman Namjin sejak kecil, dan hubungan antara keluarga Lee dan keluarga Kang sangat dekat. Tuan Lee Jungwan (ayah Namjin) dan Nyonya Lee Hana (ibu Namjin) adalah sahabat karib orang tua Ji-won.
Kang Ji-won adalah wanita yang mempesona, dengan aura kecantikan yang alami dan karisma yang sulit diabaikan. Dia memiliki tinggi sekitar 165 cm, berambut panjang yang berkilau, dan mata yang tajam namun lembut. Wajahnya simetris dengan tulang pipi yang sedikit menonjol, memberikan kesan elegan. Tidak hanya tampak menarik, Ji-won juga memiliki kecerdasan yang luar biasa; ia seorang penulis berbakat yang karya-karyanya telah mendapatkan pengakuan luas.
Meskipun sama - sama menyukai seni seperti Namjin, Ji-won lebih fokus pada sastra tulis, dan sering kali terinspirasi oleh pengalaman hidupnya dan orang-orang di sekitarnya. Dia adalah sosok yang ceria dan penuh semangat, dan selalu mendukung Namjin dalam setiap langkahnya, terutama dalam dunia seni lukis yang mereka cintai.
"Sudah lah, sana masuk. Di sini dingin. Jika terlalu lama di luar, kamu akan berubah jadi Frozen food," ujar Namjin.
"Ngarang! Mana ada Frozen food itu manusia? Memang nya masih ada orang kanibal " balasnya sambil tertawa.
"Ya, apapun itu, asalkan kamu bahagia," jawab Namjin , sembari memutar bola matanya malas .
"Baiklah, hati-hati saat berkendara. Sampai jumpa besok," ujar Ji-won, melambaikan tangan sebelum memasuki apartemennya.
"Baiklah... sampai jumpa besok," jawab Namjin yang mulai masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan tempat tinggal sahabatnya itu.
"Dia sangat tampan," gumam Ji-won, menatap kosong ke arah mobil Namjin yang semakin menjauh dari pandangannya, sambil tersenyum kecil, merasakan harapan yang menghangatkan hatinya.
....
Beberapa hari telah berlalu semenjak kejadian tersebut. Kehidupan Yoora semakin hari semakin menyedihkan, terutama setelah insiden yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Selama tidak pergi ke sekolah karena harus menerima sanksi atas kesalahan yang tidak dia lakukan sama sekali, dia melakukan banyak pekerjaan rumah. Tak jarang, kesalahan kecil yang dia lakukan memancing kekesalan semua saudaranya.
"Apakah kau tidak bisa melakukannya dengan benar?" bentak Haesung, yang melihat Yoora menjatuhkan tumpukan kertas di atas meja.
"Maaf, oppa, aku tidak sengaja," ucap Yoora sambil membereskan semua kekacauan kecil itu, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Selalu maaf dan maaf, aku bosan mendengar itu," ujar Haesung sambil berlalu keluar dari kamarnya, meninggalkan Yoora yang sedang memunguti semua kertas di lantai dengan hati yang berat.
"Gambarnya bagus-bagus sekali. Haesung oppa sangat berbakat," tuturnya pelan sembari mengusap air matanya yang hampir turun, dia melihat beberapa sketsa pakaian yang tergeletak di lantai. Hatinya sedikit terhibur oleh karya kakaknya, tetapi ia tahu bahwa pujiannya tidak akan mengubah suasana hatinya yang sedang kelam.
Setelah selesai membersihkan kamar Haesung, Yoora segera keluar dan memastikan bahwa tidak ada kesalahan lain yang bisa membuat kakaknya itu marah padanya. Dia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.
Namun, langkahnya terhenti saat melihat Namjin yang baru pulang setelah sekian lama pergi. Dia terlihat sibuk membagikan hadiah yang dia bawa dari perjalanan kerjanya kepada adik-adiknya yang lain. Tatapan mata mereka sempat beradu, tetapi hanya sekilas Namjin langsung memalingkan wajahnya ke arah adik-adiknya, seolah mengabaikan keberadaan Yoora.
"Kenapa Namjin oppa seperti itu lagi?" gumam Yoora dalam hati, merasa ada sesuatu yang menyakitkan saat menyadari tatapan sinis dari Namjin.
Dia berusaha tidak memikirkan hal itu lebih lama lagi. Yoora memilih untuk pergi menuju kamar, menghiraukan keadaan yang terjadi di sekitarnya. Mungkin saja Namjin kecewa padanya karena dia yang dituduh mencuri dan membully oleh teman-temannya di sekolah. Tetapi jika itu benar, kenapa Namjin tidak berpamitan padanya saat dia akan pergi? Biasanya, semenjak kejadian itu, Namjin selalu mengabari tentang apa pun yang dia lakukan, tetapi kini semuanya terasa berbeda.
Begitu banyak pikiran dan pertanyaan yang menggelayuti benak Yoora, seolah seperti esai panjang yang tak kunjung menemukan jawabannya. Rasa cemas dan bingung menyelimutinya, membuatnya merasa terasing di rumah sendiri. Dia berharap bisa berbicara dengan Namjin, namun rasa takut akan penolakan membuatnya ragu. Dalam kegelapan kamarnya, Yoora meringkuk di sudut tempat tidur, berharap segala kesedihan ini segera berlalu dan hidupnya bisa kembali normal seperti sebelumnya.