Hari pertama di SMA menjadi langkah baru yang penuh semangat bagi Keisha, seorang siswi cerdas dan percaya diri. Dengan mudah ia menarik perhatian teman-teman barunya melalui prestasi akademik yang gemilang. Namun, kejutan terjadi ketika nilai sempurna yang ia raih ternyata juga dimiliki oleh Rama, seorang siswa pendiam yang lebih suka menyendiri di pojok kelas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moka Tora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Panggung penghakiman
Pekan Kreativitas Siswa akhirnya tiba. Hari pertama dimulai dengan penuh antusiasme dari seluruh siswa dan guru SMA Pelita Bangsa. Aula sekolah dihiasi dengan lampu warna-warni dan dekorasi yang megah, menambah suasana semarak. Lomba seni lukis, tari, dan debat sudah berlangsung sejak pagi, dan kini tiba giliran kategori musik untuk mengambil perhatian semua orang.
Di belakang panggung, Keisha berdiri bersama Rama yang tampak lebih tegang daripada biasanya. Jarinya bergerak gelisah di samping tubuhnya, sementara matanya terus menatap lantai. Keisha, yang berdiri di sebelahnya, mencoba memberikan semangat.
“Rama, kamu udah latihan keras. Ini waktunya kamu menunjukkan apa yang kamu bisa,” ujar Keisha lembut.
Rama mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya tidak menunjukkan kepercayaan diri. “Aku tahu, tapi aku nggak bisa berhenti mikir soal Adrian. Gimana kalau dia masih melihat aku sebagai anak yang gagal?”
Keisha menggenggam tangan Rama dengan erat, mencoba menyalurkan kekuatan. “Kamu nggak perlu buktiin apa-apa ke Adrian. Ini bukan tentang dia, Rama. Ini tentang kamu. Kamu yang sekarang bukan lagi anak SMP yang dulu. Kamu jauh lebih kuat.”
Rama menatap Keisha, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit ketenangan di dalam dirinya. “Terima kasih, Keisha. Kamu benar.”
~
Sementara itu, di barisan depan penonton, Adrian Pratama duduk bersama juri lainnya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi tatapannya tajam, mengamati setiap peserta yang tampil di atas panggung. Ketika nama Rama disebut oleh pembawa acara, Adrian tampak mengangkat alis, seolah mengingat sesuatu dari masa lalu.
“Berikutnya, penampilan dari Rama Wiratama, dengan komposisi piano berjudul Melodi Harapan,” kata pembawa acara. Tepuk tangan mengisi aula, meskipun sebagian besar terdengar biasa saja. Rama memang bukan siswa yang populer, dan hanya sedikit yang benar-benar mengenalnya.
Rama melangkah ke panggung dengan langkah ragu, tetapi begitu duduk di depan piano, ada perubahan yang langsung terasa. Tangan Rama, meski sempat gemetar, mulai menekan tuts piano dengan penuh perasaan.
Nada pertama meluncur, disusul oleh rangkaian melodi yang lembut namun penuh kekuatan. Keisha, yang berdiri di pinggir panggung, merasakan seluruh tubuhnya merinding. Melodi itu tidak hanya indah; ia seperti membawa pendengarnya masuk ke dalam perjalanan emosional yang mendalam.
Setiap nada berbicara—tentang keraguan, perjuangan, hingga harapan yang akhirnya tumbuh. Keisha tahu bahwa melodi ini adalah cerminan hati Rama, sebuah cerita yang ia sampaikan tanpa kata-kata.
Di kursinya, Adrian duduk membeku. Wajahnya yang awalnya netral kini berubah serius. Ia mengenali sentuhan khas Rama dalam komposisi ini, tetapi ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih matang, lebih penuh emosi.
Ketika melodi itu mencapai puncaknya, aula yang tadinya dipenuhi bisikan dan suara tepuk tangan pelan berubah menjadi sunyi. Semua orang terhipnotis oleh permainan Rama, bahkan siswa yang sebelumnya tidak peduli kini memandangnya dengan takjub.
~
Ketika nada terakhir menghilang di udara, aula meledak dengan tepuk tangan dan sorakan. Rama mengangkat pandangannya dari piano, menatap penonton yang berdiri memberikan penghormatan. Hatinya bergetar—ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di belakang panggung, Keisha hampir menangis karena haru. Ketika Rama berjalan kembali ke arahnya, ia langsung memeluknya tanpa ragu. “Rama, kamu luar biasa! Aku bangga banget sama kamu!”
Rama, yang biasanya canggung dengan kontak fisik, hanya berdiri kaku. Tetapi kali ini, ia tidak menolak. “Terima kasih, Keisha. Kalau bukan karena kamu, aku nggak akan bisa sampai di sini.”
Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, seorang pria tinggi mendekati mereka. Itu Adrian.
“Permisi,” ucap Adrian dengan suara dalam, membuat Keisha dan Rama sama-sama menoleh. Adrian menatap Rama dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Rama, boleh aku bicara sebentar?”
Rama terlihat tegang, tetapi ia mengangguk. Keisha meliriknya khawatir, tetapi Rama memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja.
Adrian membawa Rama ke sudut aula yang lebih sepi. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap Rama, seolah mencoba membaca pikirannya. “Permainanmu tadi... luar biasa,” kata Adrian akhirnya. “Aku bisa merasakan perubahan besar dalam dirimu.”
Rama menatap Adrian dengan ragu. “Terima kasih, Pak. Tapi... saya masih ingat apa yang Bapak katakan waktu itu. Tentang keraguan saya.”
Adrian mengangguk perlahan. “Dan aku tidak menyesal mengatakan itu. Keraguan adalah musuh terbesar seorang seniman. Tapi malam ini, aku melihat bahwa kamu sudah mengatasi itu.”
Rama terdiam, memproses kata-kata itu. Adrian melanjutkan, “Aku bangga padamu, Rama. Aku tahu kamu akan menjadi lebih hebat lagi kalau terus melangkah maju.”
~
Setelah percakapan itu, Rama kembali ke Keisha dengan senyuman kecil di wajahnya—senyuman yang penuh rasa lega. Keisha tidak bertanya apa-apa, tetapi ia tahu bahwa beban besar telah terangkat dari hati Rama.
Ketika hasil perlombaan diumumkan, Rama berhasil meraih juara pertama. Sorakan memenuhi aula, dan untuk pertama kalinya, Rama merasakan bagaimana rasanya menjadi pusat perhatian tanpa merasa tertekan.
Namun, bagi Rama, kemenangan itu bukanlah puncak dari perjalanannya. Itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan ia tahu, tanpa Keisha di sisinya, semua ini tidak akan mungkin terjadi.
~
Malam itu, Rama dan Keisha duduk di bangku taman belakang sekolah, tempat yang sudah menjadi tempat favorit mereka. Di atas mereka, langit dipenuhi bintang-bintang, seolah ikut merayakan keberhasilan mereka.
“Keisha,” ujar Rama pelan, memecah keheningan.
Keisha menoleh. “Ya?”
“Terima kasih. Bukan cuma karena kamu bantu aku untuk lomba ini, tapi juga karena kamu percaya sama aku saat aku nggak percaya sama diriku sendiri.”
Keisha tersenyum lembut. “Itu karena aku tahu kamu punya sesuatu yang spesial, Rama. Kamu cuma butuh waktu untuk menyadarinya.”
Rama mengangguk, lalu menatap langit. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi aku tahu satu hal. Aku mau terus main piano, bukan karena ingin membuktikan apa-apa ke orang lain, tapi karena aku suka.”
Keisha merasa dadanya menghangat mendengar itu. Ia tahu, perjalanan mereka belum selesai, tetapi malam itu, ia merasa semuanya sudah lebih dari cukup.
Di bawah langit malam yang penuh bintang, mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman, menikmati momen kecil yang penuh makna. Sebuah awal baru telah dimulai, tidak hanya untuk Rama, tetapi juga untuk hubungan mereka.