Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Leri Merindukan Diaz
Bab 18
"Apa yang kau tahu tentang, Nona Lili?" tanya Diaz dingin.
"Dia siswa berprestasi. Dari sejak sekolah menengah sudah dipinta oleh tuan Asher, karena dia selalu lulus seleksi --"
"STOP!
"Caramu bercerita, kau seperti suka padanya. Tapi, kalau tentang itu aku udah tahu. Sudahi omong kosong mu."
Samir malah tertawa dan mengetuk-ngetuk meja Diaz dengan jarinya. Kemudian pergi dengan entengnya, padahal Diaz lagi kesal karena ledekannya
###
Di kediaman Tuan Asher
Setelah menikmati teh sore bersama Mami Meralda, Lili diajak menuju lantai atas untuk melihat kamar barunya. Kamar itu terletak di sisi timur rumah, dengan pemandangan taman belakang yang asri.
"Ini kamar kamu, sayang. Aku sudah minta staf rumah memastikan semuanya nyaman. Kalau ada yang kurang, jangan ragu bilang ke Mami, ya," kata Meralda sambil membuka pintu kamar.
Lili melangkah masuk, matanya membelalak melihat ruangan itu. Dindingnya didominasi warna putih gading dengan aksen emas. Sebuah tempat tidur king-size dengan sprei lembut berwarna krem berdiri megah di tengah ruangan. Ada meja kerja di pojok, lengkap dengan lampu baca, serta lemari besar yang tertanam di dinding.
"Ini... terlalu mewah, Mami," ujar Lili dengan nada ragu.
Meralda tersenyum. "Tidak ada yang terlalu mewah untuk anak Mami. Kamu sekarang bagian dari keluarga ini. Anggap saja ini sebagai rumahmu sendiri."
Lili hanya bisa mengangguk, masih merasa kagok dengan kebaikan yang terus mengalir sejak ia diterima di rumah ini.
"Oh, di sebelah sana kamar mandinya. Lengkap dengan bathtub dan shower. Kalau butuh sesuatu, bel saja lewat aplikasi, sudah ada akun khusus yang disiapkan untukmu," lanjut Meralda sambil menunjuk ke pintu di sisi kiri ruangan.
"Terima kasih, Mami. Aku... sangat menghargai ini," kata Lili tulus.
"Sudah, jangan terlalu sungkan. Sekarang bersih-bersih dulu, nanti kita makan malam bersama," ujar Meralda sebelum meninggalkan Lili di kamarnya.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Lili turun ke ruang makan. Meja panjang di tengah ruangan sudah dipenuhi berbagai hidangan. Tuan Asher dan Dion sudah duduk di sana, serta Meralda menyambut Lili dengan senyuman hangat.
"Ah, akhirnya lengkap keluarga kita malam ini," kata Tuan Asher sambil menuangkan wine ke gelasnya.
"Silakan duduk, Lili," ujar Dion, menunjuk kursi kosong di sebelahnya.
Lili duduk dengan canggung, tetapi suasana makan malam berjalan hangat.
"Maaf, Mas - em maksud saya, Dion, anda tinggal di sini juga?" Lili bertanya seperti itu hanya penasaran dan ingin tahu sebenarnya anggota rumah di sini ada berapa.
"Tidak, tidak. Aku hanya ke sini jika ada tugas lembur. Nanti jika kami pergi setelah makan malam."
"Kami?" tanya Lili memastikan. "Kamu dan Papi?"
Dion mengangguk.
Lili merasa kagum dengan kerja keras papinya. Ada rasa dorongan semangat, dia juga tidak boleh sampai menyerah dalam kondisi apa pun. Jangan sia-siakan kepercayaan tuan Asher.
Mereka berbicara tentang berbagai hal, mulai dari perkembangan perusahaan hingga cerita-cerita ringan yang membuat Lili sesekali tertawa.
"Kamu harus coba sup ini, Lili. Mami yang pilih resepnya sendiri," kata Meralda sambil menyendokkan semangkuk sup krim jamur ke piring Lili.
"Terima kasih, Mami," jawab Lili sambil tersenyum.
Setelah makan malam, Lili kembali ke kamarnya. Duduk di tepi tempat tidurnya, ia memandangi ruangan yang terasa terlalu sempurna untuk dirinya. Air matanya mengalir tanpa ia sadari.
Ia merindukan Ayahnya, Hanavi. Sosok sederhana yang telah berjuang keras untuk membesarkannya. Kenangan tentang tawa hangat Ayahnya, dan suara khas saat memanggil namanya, membuat hati wanita berpiama kain sutra ini terasa berat.
"Seandainya Ayah bisa melihat ini," gumam Lili pelan sambil mengusap air matanya.
Namun, lamunannya terhenti ketika suara notifikasi ponsel memecah keheningan. Ia meraih ponselnya, melihat nama yang tertera di layar: Tuan Diaz.
Lili membuka pesan itu dengan sedikit ragu.
"Nona Lili, kita perlu menjadwalkan pertemuan lagi untuk membahas proyek rumah sakit. Apakah besok sore di kantor saya bisa?"
Diaz, yang saat ini menjadi mitra bisnis, rupanya serius menangani proyek ini. Proyek yang melibatkan pembangunan rumah sakit modern dengan fasilitas kesehatan canggih, di mana Diaz adalah pemodal utama dan Lili bertanggung jawab menyediakan teknologi serta sistem yang akan digunakan.
Lili mengetik balasan dengan hati-hati, memastikan ia tetap profesional.
"Tentu, Tuan Diaz. Besok sore saya akan datang ke kantor Anda. Terima kasih atas undangannya."
Diaz membalas cepat, seolah sudah menunggu.
"Baik, sampai besok."
Setelah menutup ponselnya, Lili menghela napas. Ia tahu pertemuan ini bukan hanya soal bisnis, tetapi juga tentang masa lalu yang harus selesai.
Setelah percakapan singkat dengan Diaz, Lili merasa ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Rasa penasaran itu muncul begitu saja, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka. Diaz, teman kecil sekaligus tuan mudanya, membuat Lili penasaran, bagaimana fase demi fase perjalanan hidup dia.
Karena sebelumnya Lili diasuh oleh Pak Wahyu dari keluarga sederhana, dia tidak memiliki gadget. Makanya sekarang saat Lili memiliki segalanya, terutama mudah untuk mencari informasi, dimanfaatkan untuk mencari sesuatu yang tertunda ia ketahui.
Lili membuka laptopnya dan mulai mencari nama Diaz di media sosial. Namun, hasil pencariannya justru membuatnya semakin bingung.
"Banyak sekali akun atas nama Diaz Gunawan..." gumamnya. Sebagian besar akun itu terlihat palsu, penuh dengan foto-foto mewah yang diedit berlebihan atau mengunggah hal-hal yang tak masuk akal.
Lili tersenyum kecil. "Sepertinya banyak yang ingin menjadi dia."
Ia mencoba mengingat kembali masa kecil mereka. Saat itu, Diaz adalah anak yang ceria dan penuh semangat, sangat berbeda dari kesan dingin dan penuh wibawa yang ia tunjukkan sekarang. Waktu kecil, Diaz selalu menjadi pemimpin dalam permainan mereka, meskipun terkadang nakal. Tapi bagi Lili kecil, Diaz adalah teman yang selalu membuatnya merasa nyaman, meski status mereka berbeda jauh.
Lili menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap layar laptop yang masih penuh dengan hasil pencarian tentang Diaz. Dalam diam, pikirannya kembali ke masa lalu.
Dia tidak pernah menyangka akan bisa bertemu Diaz lagi dalam kapasitas seperti sekarang. Setelah ia diasuh oleh Pak Wahyu—seorang pria sederhana yang selalu mengajarkan rasa syukur—Lili menjalani hidup dengan penuh keterbatasan. .
Kembali ke layar laptop, Lili menutup semua tab pencarian. Sulit sekali menemukan akun Diaz yang asli di tengah lautan akun palsu.
Ia menghela napas panjang, menatap ke luar jendela kamar. Rasa rindu pada Diaz, teman kecil sekaligus tuannya, perlahan-lahan mulai terasa lebih dalam.
"Mungkin aku yang terlalu berharap," bisiknya pelan.
Namun, harapan kecil itu tetap ada. Sebuah harapan untuk mengenal kembali sosok yang dulu selalu ada di sisinya, meski kini dunia mereka tampak begitu berbeda.
Bersambung...