Dinda tidak sadar sudah meninggal sampai dia berubah menjadi wanita tua dengan empat anak dan dua menantu perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Setelah kekurangan makanan , hal kedua yang paling tidak menyenangkan di sini adalah tidur.
Menurut ingatan, rumah ini memang sudah bobrok ketika mereka melakukan perpisahan dengan keluarga besar Ding. Hanya ada dua kamar di sini. Satu kamar dipakai oleh Nyonya rumah dan Ayu karena mereka adalah wanita.
Kamar kedua diisi oleh tiga putranya sekaligus.
Hanya setelah Arui bertunangan mereka menyiapkan satu kamar tambahan lagi. Tapi pada dasarnya Adinda masih harus tidur dengan anak perawannya satu satunya.
Tidak masalah karena ini sudah menyangkut sebuah kebiasaan lama. Tapi masalahnya meskipun anak perawan, Ayu tidak memiliki kebiasaan mandi ,sama seperti yang dilakukan oleh warga desa Dingzhau.
Kemarin Adinda sudah dipusingkan dengan bau tidak nyaman di udara ketika dia tertidur.
Setelah makan malam selesai Adinda ingin kembali ke kamar tidurnya. Tapi memikirkan masalah bau yang tidak menyenangkan dia melirik Ayu dan berkata ,"Ayu saat ini kau sudah besar dan akan mencari rumah berikutnya. Ibu minta kau membersihkan diri dan berganti pakaian sebelum masuk tidur,ya "
Ayu yang ditegur ibunya segera memerah. Meski usianya baru belasan tahun tapi pada dasarnya di usia ini mereka memang sudah mulai melirik pasangan pria.
Pernikahan diatur oleh orang tua dan Mak comblang. Ayu tidak bisa memilih pasangannya sendiri tapi itu bukan berarti dia tidak tertarik dengan rutinitas ini.
Teman-teman seusianya di desa juga sudah memiliki tunangan. Baru pada usia ke-15 mereka akan menikah secara resmi. Tapi di usianya yang sekarang belum ada pasangan atau keluarga yang datang melamar.
Mungkin reputasi keluarga termiskin di desa membuat beberapa keluarga tidak meliriknya sama sekali.
Ayu sedikit sedih dan sekarang ibu meminta dia mandi sebelum masuk ke kamar dengan membiasakan diri sebelum menikah.
Uh rupanya menikahi itu merepotkan sekali.
Ayu ingin membantah tapi dia tetap harus melakukan perintah ibu.
Adinda tidak peduli dengan urusan lain dia langsung masuk ke kamarnya dan melihat kantong uang.
Setelah melakukan banyak penjualan di sistem, dia sudah menghasilkan hampir tiga perak. Perlu dua perak lagi untuk membeli sebuah loker yang dia inginkan.
Jika dia terus naik ke gunung besok bukan tidak mungkin akan menemukan hal-hal bagus lagi.
"Tunas bambu masih cukup banyak di gunung, perlukah aku mengajak anak-anak pergi kembali lagi ke sana?"
Tapi tidak, hutan bambu bukan saja ada di gunung tapi juga ada di pinggiran desa. Bambu seringkali dibuat seni karya oleh warga desa seperti keranjang tapi bahkan alas tikar.
Hal-hal ini bisa dijual dengan harga murah di perkotaan. Namun begitu tidak semua penduduk desa yang bisa melakukan ini karena itu hutan bambu di pinggiran Desa masih cukup besar karena tidak tersentuh.
"Alangkah bagusnya jika aku masih bisa membeli beberapa barang kecil di desa. Semuanya masih alami dan tidak terkontaminasi dengan zat kimia. Hal ini masih dihargai sistem kok. Tapi sayang aku tidak bisa membelinya lagi"gumam Adinda dalam hati.
Setelah menghitung penghasilannya hari ini, Adinda langsung berbaring dan mencoba menutup mata. Dia pikir dirinya akan kesulitan untuk tidur karena tempat tidur yang keras dan juga lokasi yang asing. Tapi siapa sangka jika kurang dari lima menit dia sudah menutup mata dan tidak sadarkan diri setelah itu.
Dia bahkan tidak sadar kapan Ayu yang sudah membersihkan diri masuk dan tertidur di sampingnya.
Keesokan paginya, hal pertama yang dilakukan oleh Arui dan dua adiknya adalah melihat air perasan dari pohon sagu.
Benar saja, air yang semula keruh sudah terlihat jernih dan di bawah air jenuh itu ada sesuatu yang putih. Penampakan ini membuat tiga saudara itu saling pandang dan mereka benar-benar memiliki senyum yang bodoh.
Mereka tidak perlu bertanya tentang ibu hal baik apa yang ada di balik air ini. Tapi yang jelas hal yang baik ini kata ibu rasanya mirip seperti milet.
Jadi ini milet versi dua.
"Along Ayo buang air dan sisihkan milet, kata ibu mereka masih basah dan perlu dijemur dulu sebelum di gunakan" Arui sebagai kata tertua memerintahkan dua adiknya untuk bekerja sama membuang air sisa. Baru kemudian mereka mendapatkan banyak tepung di bawah air itu.
"Kakak,ini putih banget, halus lagi.Kak hahaha akhirnya kita punya makanan juga"kata Aan dengan senang.
Jika rumah punya makanan,dia tidak akan di jual kan.
Hebat.
Ketiganya tertawa gembira.
Meski tepungnya masih basah ketiganya sangat senang dan mengambil tampah buatan sendiri . Tepung basah itu diletakkan di atas tampah yang nantinya akan dijemur di bawah sinar matahari.
Ketiganya bekerja saat masih gelap tapi itu tidak menyurutkan niat semua orang untuk sangat bersemangat.
Ami bangkit seperti biasanya dan dia juga terkejut dengan penampakan itu.
"Suamiku Apakah ini milet?"tanyanya sambil memegang benda putih itu. Aromanya cukup aneh tapi kata suaminya rasanya hampir mirip milet.
Ami merasa aneh dengan itu tapi masih cukup senang karena ini adalah makanan.
Arui mengangguk kepala dia berkata,"ini bukan milet tapi sedikit mirip.Ami Ibu sangat bijaksana dan bisa menemukan milet, setelah ini kau bisa makan tanpa khawatir kekurangan. Ada satu pohon lagi di gunung. Setelah sarapan aku along akan naik ke gunung lagi.Tapi kami akan langsung menyelesaikan di gunung alih alih membawanya pulang"
Kemaren karena coba coba, mereka tidak mengambil keseluruhan Pohon sagu.Arui tidak tau berapa hasil persis sebatang sagu utuh.Tapi hasil yang di dapat kan pagi ini mungkin sekitar sepuluh kilogram.
Ini hanya sebagian kecil, bayangkan jika ini satu pohon utuh, apakah hasilnya bisa ratusan kilogram.
Mereka tidak perlu membayar pajak dengan hasil sagu , jadi ini adalah kesempatan keluarga untuk memiliki makanan lagi dalam beberapa musim.
Arui sangat bersemangat,dia menceritakan rencananya pada istri nya.
Karena ini adalah makanan yang istimewa dia tidak ingin penampakan Ini membuat penduduk desa penasaran. Karena itu mereka harus melakukannya secara diam-diam di gunung.
Air nira yang kemarin pasti sudah penuh dan dia akan membawa Aan ikut serta. Pria kecil itu bisa menunggu dan mengocok air nira yang dimasak, sementara mereka akan menyerut sagu lagi.
Ini membunuh dua burung dengan satu batu.
Tadi malam rasa gula merah membuat mereka langsung terpana.
Tapi sekali lagi mereka tidak ingin membagikan hal baik itu kepada warga desa yang lainnya. Aroma wangi dari air rebusan itu akan mengundang para tetangga untuk datang melihat-lihat. Daripada melakukan kesalahan yang tidak perlu lebih baik memasaknya langsung di gunung setelah air nira itu didapatkan.
Aan masih muda tapi dia masih bisa menunggu air nira di rebus.
Ami dan along juga setuju dengan ide ini.
Adinda yang tidak tahu dengan ide dari anak-anaknya sudah keluar . Dia melihat semua orang bengong menyaksikan gumpalan sagu yang memutih di atas tampah.
Sungguh konyol.
"Ami apa yang kau lakukan?"
Ami terkejut dan buru-buru menyapa Ibu mertuanya Dia berkata," ibu kami sedang menyaksikan tepung ini. baunya sedikit aneh tapi ini hebat"
Baru tau dia jika pohon yang diserut juga bisa menghasilkan tepung.
"Hahahaha tidak apa-apa setelah ini kita mungkin tidak lapar lagi.Ami pergi merebus air dalam panci dulu. Aduk sagu ini dalam baskom dengan air, Setelah air mendidih cukup tuangkan adukan sagu dan kita bisa makan dengan sisa sup semalam"
Ini adalah papeda pertama di zaman kuno.
Ami senang,dia langsung melakukan apa yang diperintahkan Ibu mertuanya tadi.
Membuat papeda semacam ini tidak sulit. Dalam sekejap semua orang sudah mendapatkannya satu mangkuk penuh. Hal lengket itu memang tidak ada rasanya tapi juga dipadukan dengan sup tulang, rasa nya cukup wah.
"Ibu aromanya aneh tapi ini milet, Bu .. kita bisa makan penuh sekarang"Kata Ayu yang memegang perutnya.
Papeda adalah makanan yang mengenyangkan. Jadi makanan ini cukup memuaskan semua orang.
Kenyang.
Keluarga di desa Dingzhau terbiasa mengirit makanan jadi mereka tak tahu apa itu kenyang.
Hanya sedikit makanan yang tersisa setelah membayar pajak.Dan makanan ini harus cukup untuk sepanjang tahun.Sekarang dengan adanya sagu, mereka masih bisa kenyang.
Dunia apakah ini.
Ini bukan bumi tapi ini adalah surga.
Adinda tidak tahu,gara gara papeda,anak anak merasa hidup dalam surga.Saat ini Adinda makan sedikit,dia terbiasa makan nasi putih.Tidak apa apa makan papeda sesekali tapi jika setiap hari, perutnya akan bermasalah.
"Kau harus mencari jalan agar bisa makan terang terangan, tapi bagaimana?"pikir Adinda.
Adinda berpikir keras ,sementara itu setelah menyelesaikan sarapan pagi, Arui berencana untuk memanggil adik-adiknya pergi ke atas gunung seperti yang sudah mereka rencanakan. Tapi siapa sangka belum lagi meminta pendapat ibu, tiba-tiba ada suara kentongan di pusat desa.
Suara kentongan ini memiliki artian berbeda-beda setiap kali mereka dipukul dengan jumlah hitungan yang berbeda.
Misalnya ada kematian kecelakaan bahkan bencana alam.
Tapi menurut hitungan kentongan, diketahui jika itu adalah panggilan untuk berkumpul.
Arui yang berencana untuk naik gunung harus memundurkan rencananya dan pergi bersama yang lain ke pusat desa.
Adinda sebagai kepala keluarga juga harus pergi.
"Anak anak seperti nya ada acara di desa, mari lihat dulu"kata Adinda.
"Hem setelah itu kami akan ke gunung terdalam lagi Bu, masih ada pohon sagu,sayang jika dilewatkan begitu saja "kata Along mengingat kan.
Adinda tidak menghalangi dia berkata,"Oke ibu akan ikut juga "
"Ibu kami tau apa yang harus di lakukan jadi ibu tetap saja di rumah"kata Arui.
Tubuh tua ibu nya sangat rapuh.Semalam saja dia melihat ibu sangat letih.Sekarang dia tau apa yang harus di lakukan jadi ibu tidak perlu ikut.
Hanya saja Adinda menolak,"Ada banyak hal baik di gunung.Kalian bahkan tidak mengenali pohon sagu kan semalam jika tidak ada ibu?"
Segera Along dan Arui tidak memiliki alasan lagi.Ibu benar,dia tahu segalanya.
Karena sudah ada kata putus, akhirnya ibu dan tiga putra berangkat ke alun alun Desa.
Ami dan Ayu tidak ikut tapi mereka perlu melakukan pekerjaan di rumah. Ada begitu banyak pekerjaan dan tidak pernah cukup tangan. Tapi hari ini Ami dan Ayu cukup senang.
Ada makanan di rumah siapa yang tidak bahagia.
Sementara itu Adinda bersama dengan tiga putranya datang ke tanah datar yang dikategorikan sebagai lapangan desa.
Begitu mereka datang sudah ada begitu banyak orang. Adinda belum pernah ketemu dengan penduduk desa sejauh ini. Tapi dia sudah mengetahui nama-nama mereka menurut memori tubuh asli.
Dia adalah wanita tua sekarang dan kebanyakan warga desa menyebutnya sebagai nyonya Ding.
"Nyonya Ding kemarin kau membeli ladang sayur nyonya wu, Apa kau masih menginginkannya lagi?" sapa seseorang yang tiba-tiba menyentil nya dengan nakal.
Hal pertama yang di ingin diketahui oleh penduduk desa sebenarnya apakah dia masih sebodoh kemarin. Semua orang menajam kan telinga. Adinda yang masih ingin membeli dan menjual sebenarnya sangat sedih ketika dia menjawab ,"Aku tidak ingin membeli lagi. Putra pertama pergi ke kota dan mendapatkan lima sen dengan bekerja di dermaga. Ini bisa bertahan lama di tambah dengan acar lobak yang kubuat"
Ada dermaga yang jauh dari kota. Kata orang ada pekerjaan memikul barang barang berat di sana. Memang lima sen bisa didapatkan jika bekerja keras di dermaga seperti yang dikatakan oleh Adinda. Tapi karena jarak yang jauh tidak semua orang ingin melakukan pekerjaan semacam itu.
Arui bingung,kapan aku pergi aku dermaga?
Kenapa ibu berbohong?
Penduduk desa terbiasa mengandalkan sawah dan ladang untuk hidup. katanya memang bisa menghasilkan lima sen jika anda bekerja keras di dermaga menjadi kuli angkut.Tapi pergi ke sana perlu biaya,jika berjalan kaki , anda akan tiba setelah empat jam .Saat itu sudah lama tidak ada pekerjaan lagi.
Lalu anda perlu makan siang dan makan malam.Semua adalah uang dan biaya terkadang tidak bisa menutupi pemasukan.
Jadi tidak ada yang iri dengan lima sen itu.
Tapi sayang sekali, Adinda tidak lagi membeli sayuran.
Heh mereka terlambat satu langkah.
Tidak lama kemudian, keluarga Ding juga tiba.Adinda sebagai menantu perempuan menyapa semua orang.
Tuan Tua Ding Kepala keluarga, ayah mertua dengan usia 66 tahun.
Nyonya Tua Ding ,Ibu mertuanya dengan usia 64 tahun.
Ngomong ngomong mereka memiliki tiga anak laki-laki
Ding Zhenhai ,dia almarhum suami Adinda yang di kirim menjadi prajurit beberapa tahun lalu.
Anak kedua adalah Ding Zhenkang ,38 tahun ini dan Nyonya Sun Istrinya, usia 3 4tahun.Mereka memiliki tiga anak,Yaitu Ding Wenhao, Anak pertama, laki-laki, 15 tahun.Ding Wenqing,Anak kedua, perempuan, 13 tahun.Ding Wenchao,Anak ketiga, laki-laki, 10 tahun.
Para sepupu Arui ini,di panggil dengan ahau ,aqing dan acu.
Sementara Keluarga Ding Zhenyuan.
Anak ketiga Tuan Tua Ding, usia 36 tahun, dengan istrinya Nyonya Zhao.
Mereka memiliki dua anak yaitu Ding Lianhua,Anak pertama, perempuan, 12 tahun.Alian panggilan nya.
Ding Liancheng atau Aceng Anak kedua, laki-laki, 8 tahun.
Yang lebih hebat, semuanya memanggil adinda sebagai Bibi pertama.
Sekali lagi , Adinda merasa sedih.Setua ini dia sekarang.
Huhuhu aku belum pernah pacaran tau, huhuhuhu.
Tidak ada yang memperhatikan kesedihan Adinda karena semua orang sedang berbicara dengan gembira.
Semua orang saling sapa dan bergosip tapi kemudian kepala desa datang dan menyapa semua orang lagi.
Matanya terlihat begitu lelah.Dia sedang memikirkan masalah besar.
terus lanjut update nya thorr
terus lanjut update nya thorr